Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Keringanan Utang Sebagai Kebijakan Yang Empatik
Hadyan Iman Prasetya
Rabu, 18 Mei 2022 pukul 10:29:27   |   570 kali

Pada tahun 2022, Pemerintah kembali menghadirkan kebijakan Crash Program untuk penyelesaian Piutang Negara berupa Keringanan Utang. Kebijakan ini diberlakukan sejak terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.06/2022 tentang Penyelesaian Piutang Instansi Pemerintah Yang Diurus/Dikelola Oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Dengan Mekanisme Crash Program Tahun Anggaran 2022 (PMK 11/2022). Sebelumnya, kebijakan serupa juga telah diterapkan Pemerintah pada tahun 2021 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.06/2021 tentang Peraturan Kementerian Keuangan tentang Penyelesaian Piutang Instansi Pemerintah yang Diurus/Dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dengan Mekanisme Crash Program Tahun Anggaran 2021 (PMK 15/2021).

Terdapat beberapa perbedaan diantara kebijakan Keringanan Utang tahun 2021 dengan tahun 2022, seperti bentuk Crash Program yang ditawarkan dan besaran keringanan yang diberikan. Pada tahun 2021, bentuk Crash Program mencakup pemberian keringanan utang dan moratorium tindakan hukum pengurusan Piutang Negara, sedangkan tahun 2022 hanya berupa pemberian keringanan utang saja[1]. Selanjutnya, pada tahun 2021, besaran keringanan utang yang diberikan kepada Penanggung Hutang tanpa barang jaminan apabila melakukan pelunasan sampai dengan bulan Juni adalah sebesar 60 persen diitambah 50 persen dari hutang pokok, sedangkan pada tahun 2022 besarannya adalah 60 persen ditambah 40 persen dari hutang pokok[2].

Selain perbedaan, terdapat pengaturan yang baru dalam pemberian Keringanan Utang tahun 2022, yang sebelumnya tidak diatur dalam kebijakan Keringanan Utang tahun 2021. Pasal 12 ayat (2) PMK 11/2022 mengatur bahwa terhadap Penanggung Hutang (1) piutang rumah sakit/ fasilitas kesehatan tingkat pertama, (2) piutang biaya perkuliahan/ sekolah, atau (3) piutang dengan sisa kewajiban paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah), yang tidak dilengkapi barang jaminan dapat diberikan keringanan utang sebesar 80 persen dari sisa kewajiban.

Kebijakan Keringanan Utang yang diberikan Pemerintah sebagaimana secara garis besar dijelaskan seperti di atas, apabila dikaitkan dengan waktu dan kondisi pada saat dirumuskan dan diberlakukannya kebijakan tersebut, merupakan kebijakan publik yang menarik. Tulisan singkat ini akan menjelaskan makna Keringanan Utang sebagai sebuah kebijakan publik yang dirumuskan dan diberlakukan pada masa pandemi Covid 19, serta menjelaskan bahwa kebijakan publik yang demikian telah sesuai dengan perkembangan diskursus kebijakan publik yang dituntut untuk semakin peka dalam merespon kondisi publik sebagai pihak yang akan terdampak langsung dari pemberlakuan kebijakan tersebut.

KEBIJAKAN PUBLIK YANG EMPATIK

Pembahasan mengenai empati telah menjadi topik sentral dalam diskursus etis dan politis, di mana sebuah proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan publik dituntut untuk dipandu oleh rasa empati sehingga keadilan sosial sebagai keluaran dari kebijakan tersebut dapat tercapai[3]. Selain sebagai sebuah unsur yang diharapkan dapat terinkorporasi dalam perumusan kebijakan publik, empati juga dianggap sebagai salah satu indikator untuk menilai kualitas baik atau buruknya kebijakan publik. Kebijakan publik yang efektif adalah kebijakan yang mendukung terwujudnya proses dan kelembagaan yang demokratis, menghadirkan keadilan, memacu warga negara untuk bersikap aktif dan empati, serta menyelesaikan masalah secara efektif dan efisien tanpa menyebabkan kerenggangan secara politis[4].

Kebijakan publik yang empatik (empathetic publik policy) merupakan antitesa dari gambaran kebijakan publik yang saat ini jamak dipahami masyarakat, yaitu kebijakan publik yang dirumuskan dari “menara gading” tanpa adanya keterlibatan dan pendapat dari masyarakat[5] itu sendiri. Berbeda dengan gambaran tersebut, pengaplikasian rasa empati dalam proses perumusan kebijakan publik dapat memastikan bahwa (1) proses perumusan kebijakan menjadi lebih kolaboratif dengan adanya keterkaitan antara perumus kebijakan dengan masyarakat dan (2) kebijakan yang dihasilkan bersifat inklusif serta terjalin dengan konteks lokal di mana kebijakan tersebut dirumuskan[6].

Empati dianggap merupakan komposisi krusial untuk sebuah kebijakan publik yang sukses. Membangun dan menghargai empati sebagai sebuah kapasitas yang harus dimiliki perumus kebijakan dapat meningkatkan cara mereka mendesain kebijakan serta mengkomunikasikannya[7]. Rasa empati dalam perumusan kebijakan publik disinyalir dapat mewujudkan kebijakan yang lebih baik, yang pada gilirannya juga akan mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik, efisiensi dan penghematan, serta menghindarkan adanya ketidaksinkronan antara kebijakan yang dirumuskan dengan dampak yang timbul dari implementasi kebijakan tersebut bagi masyarakat[8].

Meskipun banyak yang mendukung bahwa empati membawa dampak positif dalam proses maupun output perumusan kebijakan publik, terdapat pula pendapat yang bertolak belakang. Menurut pendapat ini, empati membawa dampak buruk dalam proses perumusan kebijakan publik. Empati dianggap menimbulkan bias, karena rasa empati dari perumus kebijakan akan lebih condong kepada sekelompok orang yang memiliki kesamaan dengan para perumus kebijakan. Selanjutnya, pendapat ini lebih menyarankan untuk menggunakan perasaan compassionate disbanding dengan empati. Compassionate atau perasaan welas asih dianggap dapat menjaga para perumus kebijakan dalam jarak tertentu untuk tidak larut terlalu dalam sebagaimana perasaan empati, sehingga kebijakan publik yang dihasilkan olehnya akan lebih adil dan tidak bias[9].

Terlepas dari adanya perbedaan pendapat di atas, dalam tulisan ini Penulis menggunakan istilah kebijakan publik yang empatik untuk menggambarkan sebuah kebijakan publik yang mampu menangkap sinyal-sinyal kondisi “penderitaan” yang tengah dialami oleh masyarakat. Selain itu, kebijakan publik yang empatik dalam tulisan ini juga digunakan untuk menggambarkan sebuah kebijakan publik yang dirumuskan dan diimplementasikan untuk menanggulangi berbagai “penderitaan” yang tengah dihadapi oleh masyarakat. Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini akan dijelaskan dalam bagian selanjutnya.

KERINGANAN UTANG: KEBIJAKAN EMPATIK

Sebagaimana terdapat dalam penjelasan sebelumnya, kebijakan publik yang empatik adalah kebijakan yang dirumuskan dengan menginkorporasikan rasa empati baik dalam proses maupun keluarannya. Kebijakan Keringanan Utang yang dihadirkan Pemerintah, baik yang dihadirkan pada tahun 2021 maupun tahun 2022, menurut Penulis merupakan salah satu manifestasi dari kebijakan publik yang empatik.

Bagian “Menimbang” huruf b PMK 11/2022 berbunyi, “bahwa untuk mempercepat penyelesaian piutang negara pada instansi pemerintah dan untuk memberikan keringanan kepada penanggung utang di masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang dimuat dalam tata cara penyelesaian piutang sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu diatur kembali penyelesaian piutang negara dengan mekanisme crash program tahun anggaran 2022;”. Redaksi bagian tersebut cukup menggambarkan motivasi Pemerintah dalam merumuskan kebijakan Keringanan Utang tahun ini. Adanya kesadaran Pemerintah bahwa terdapat Penanggung Hutang yang merasakan “penderitaan” sebagai akibat dari pandemi Covid 19 sehingga perlu diberikan keringanan, menggambarkan bahwa rasa empati telah menjadi unsur intrinsik dalam perumusan kebijakan Keringanan Utang.

Selanjutnya, klasifikasi Penanggung Hutang yang dapat menerima fasilitas Keringanan Utang juga cukup merepresentasikan pihak-pihak yang terdampak pandemi Covid 19. Penanggung Hutang yang berupa pelaku Usaha Mikro, Kecil, atau Menengah (UMKM), perorangan penerima kredit pemilikan rumah sederhana/rumah sangat sederhana (KPR RS/RSS), pasien rumah sakit/faskes tingkat pertama, biaya perkuliahan/sekolah, serta piutang dengan sisa kewajiban Rp8.000.000,00 dapat dikatakan sebagai pihak-pihak yang mengalami kesulitan karena dampak pandemi Covid 19.

Respon Pemerintah untuk merumuskan kebijakan Keringanan Utang merupakan wujud empati Pemerintah untuk membantu para Penanggung Hutang yang dianggap mengalami kesulitan dalam menyelesaikan kewajibannya kepada Negara. Tanpa empati, Pemerintah mungkin saja tidak akan memberikan keringanan utang kepada Penanggung Hutang meskipun secara nyata para Penanggung Hutang tersebut mengalami kesulitan karena terdampak pandemi Covid 19. Senyatanya Pemerintah telah memanifestasikan perasaan empati dalam merumuskan kebijakan Keringanan Utang, sehingga Pemerintah memberikan keringanan-keringanan bagi Penanggung Hutang untuk memudahkan mereka dalam penyelesaian kewajiban mereka. Bahkan, pada tahun 2022 Pemerintah semakin menyederhanakan persyaratan untuk permohonan keringanan utang[10].

Penutup

Sebagaimana menjadi diskursus yang tengah berkembang, perumusan maupun kelu sebuah kebijakan publik dituntut untuk mempertimbangkan rasa empati. Kebijakan Keringanan Utang yang dihadirkan Pemerintah cukup menjadi bukti dan contoh adanya kebijakan publik yang empatik di Indonesia. Sesuai dengan konteks hadirnya kebijakan Keringanan Utang yaitu untuk meng-address dampak pandemi Covid 19, kebijakan Keringanan Utang sebagai kebijakan publik yang empatik diharapkan, sesuai pendapat yang ada, dapat memacu ketahanan dan pemulihan kondisi masyarakat pasca pandemi[11].

Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)

[1] Bandingkan Pasal 1 angka 2 PMK 15/2021 dengan Pasal 1 angka 2 PMK 11/2022.

[2] Lihat Pasal 10 PMK 15/2021 dan Pasal 12 PMK 11/2022.

[3] Diakses dari https://keywords.pitt.edu/keywords_defined/empathy.html .

[4] Anonim, 2020, What is Good Public Policy, diakses dari https://publicpolicy.pepperdine.edu/blog/posts/what-is-good-public-policy.htm .

[5] Emmanuel Lee, 2017, Policymaking must become more empathetic rather than continuing its current overreliance on economic measures, diakses dari https://blogs.lse.ac.uk/impactofsocialsciences/2017/07/26/policymaking-must-become-more-empathetic-rather-than-continuing-its-current-overreliance-on-economic-measures/

[6] Anonim, 2014, Empathy in Policymaking, diakses dari https://www.reboot.org/2014/01/30/empathy-in-policymaking/

[7] Helen Sullivan, 2017, What public servants need in today's crazy world: empathy and integrity, diakses dari https://www.smh.com.au/public-service/what-public-servants-need-in-todays-crazy-world-empathy-and-integrity-20170204-gu5lor.html

[8] Kit Collingwood-Richardson, 2018, Empathy and the Future of Policy Making, diakses dari https://medium.com/foreword/empathy-and-the-future-of-policy-making-7d0bf38abc2d

[9] Paul Bloom, 2014, Against Empathy, diakses dari https://bostonreview.net/forum/paul-bloom-against-empathy/

[10] Diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/27524/Sukses-di-2021-Aturan-dan-Syarat-Program-Keringanan-Utang-2022-Lebih-Disederhanakan.html

[11] Annabel Brown, 2022, Empathy, resilience, and recovery, diakses dari https://www.themandarin.com.au/179513-empathy-resilience-and-recovery/

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini