Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Reposisi Piutang Negara Sebagai Kreditor Dalam Perkara Kepailitan
Hadyan Iman Prasetya
Selasa, 13 April 2021 pukul 10:29:13   |   2599 kali

Sebagai hubungan hukum hutang-piutang, Piutang Negara yang dimiliki oleh instansi pemerintah, pemerintah menduduki posisi sebagai kreditor. Adakalanya penyelesaian hutang-piutang tidak dapat dilakukan melalui jalur non-litigasi, sehingga harus dilakukan melalui lembaga peradilan. Sistem hukum Indonesia telah mengatur adanya pranata Kepailitan sebagai salah satu wadah untuk menyelesaikan perkara hutang-piutang antara kreditor dan debitor melalui lembaga peradilan, tepatnya Pengadilan Niaga. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) merupakan hukum positif yang mengatur hal tersebut.

Dalam UU Kepailitan dan PKPU, Kepailitan didefinisikan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan dan PKPU itu sendiri. Sedangkan syarat debitor untuk dinyatakan pailit, sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, yaitu debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Pasal a quo juga mengatur bahwa permohonan kepailitan dapat diajukan sendiri oleh debitor maupuan diajukan oleh satu atau lebih kreditornya.

Instansi pemerintah yang menyerahkan pengurusan Piutang Negara kepada PUPN c.q. KPKNL, selama ini dalam perkara kepailitan “hanya” berkedudukan sebagai kreditor konkuren saja. Sebagaimana diketahui, bahwa kedudukan kreditor berpengaruh kepada prioritas penyelesaian utang debitor. Kreditor separatis menduduki kedudukan tertinggi, setelah itu berturut-turut adalah kreditor preferen dan kreditor konkuren. Selain berdampak pada prioritas pelunasan utang, posisi Piutang Negara sebagai kreditor konkuren dapat mengakibatkan jumlah pembayaran utang yang lebih sedikit dari utang pokok yang tercatat sebagai Piutang Negara. Hal ini dikarenakan adanya Asas Pari Passu Pro Rata Parte yang terlembaga dalam ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata. Menurut Asas ini, penggolongan harta kekayaan debitur yang telah pailit dilakukan berdasarkan rentetan prioritas di mana kreditor yang kedudukannnya lebih rendah mendapatkan penggolongan lebih akhir lalu dibagi secara bersamaan dengan asas pro rata setelah kreditor yang memiliki kedudukan lebih unggul dari kreditor lain mendapatkan bagiannya (Sastrawidjaja, 2010).[1]

Kreditor yang keberatan dengan pembagian harta pailit dapat melakukan permohonan kepada Pengadilan Niaga agar menetapkan kembali pembagian harta pailit supaya kreditor tersebut mendapat tambahan dari pembagian harta pailit (Anisah, 2008).[2] Meskipun upaya tersebut dapat dilakukan, namun tetap tidak menjamin bahwa pembayaran terhadap Piutang Negara dari hasil harta pailit akan sama besar dengan besar utang yang tercatat sebagai Piutang Negara. Permasalahan ini semakin rumit jika didapati kasus bahwa KPKNL baru mengetahui bahwa debitor tersebut pailit setelah tenggat waktu mengajukan keberatan terhadap daftar harta pailit, sehingga peluang KPKNL untuk mendapat tambahan pembayaran telah tertutup.

Berdasarkan gambaran kondisi di atas kiranya perlu dipikirkan alternatif-alternatif kebijakan yang dapat menanggulanginya. Tulisan ini menjelaskan salah satu upaya untuk menanggulangi permasalahan tersebut, yaitu dengan melakukan perubahan pengaturan terhadap rezim hukum positif sehingga kedudukan Piutang Negara dalam perkara kepailitan lebih diprioritaskan dan dapat dilunasi sebesar jumlah utang yang tercatat sebagai Piutang Negara.

REVISI UNDANG-UNDANG KEPAILITAN

Salah satu upaya untuk mereposisi kedudukan Piutang Negara dalam perkara Kepailitan adalah dengan melakukan revisi UU Kepailitan dan PKPU. Hal ini akan membawa dampak signifikan untuk lebih memperkuat posisi Piutang Negara saat dihadapkan dengan kondisi kepailitan debitor. Pengaturan mengenai penyelesaian Piutang Negara yang debitornya mengalami kepailitan saat ini terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara (PMK 240/2016) dan aturan pelaksananya yaitu Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 6 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara (PerdirjenKN 6/2017).

Pasal 161 PMK 240/2016 menyatakan,”Dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah dinyatakan pailit, proses pengurusan Piutang Negara dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang Kepailitan.” Hal ini juga dipertegas dengan ketentuan Pasal 78 PerdirjenKN 6/2017 yang menyatakan bahwa,”Pengurusan Piutang Negara terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang dinyatakan pailit, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepailitan.”

Berdasarkan pengaturan yang demikian, sebagaimana juga telah dijelaskan sebelumnya, melahirkan praktik yang memposisikan Piutang Negara hanya sebagai kreditor konkuren saja. Hal ini tentu membawa dampak yang bersifat merugikan dalam upaya penyelesaian Piutang Negara, sehingaa regulasi tersebut kiranya perlu direvisi. Ketentuan di dalam PMK 240/2016 dan PerdirjenKN 6/2017 yang menundukkan proses penyelesaian Piutang Negara kepada UU Kepailitan dan PKPU menjadi dasar mengapa revisi UU Kepailitan dan PKPU dapat ditempuh sebagai salah satu upaya memperkuat posisi Piutang Negara. Jika posisi Piutang Negara telah diperkuat dalam UU Kepailitan dan PKPU maka tanpa dilakukan revisi terhadap PMK 240/2016 dan PerdirjenKN 6/2017, dengan sendirinya proses penyelesaian Piutang Negara akan tunduk pada regulasi yang kuat.

Revisi UU Kepailitan dan PKPU bukanlah wacana yang tidak popular, berbagai pihak yang berkepentingan telah mewacanakan untuk melakukan revisi terhadap UU Kepailitan dan PKPU ini[3]. Wacana ini juga dibarengi dengan adanya 16 (enam belas) poin rekomendasi dalam revisi UU Kepailitan[4], namun demikian dari ke-enam belas poin tersebut belum terdapat usulan yang berkaitan dengan hak negara yang dalam hal ini berbentuk Piutang Negara. Berkaitan dengan hal tersebut, sejatinya Direktorat Hukum dan Humas DJKN juga telah menyelenggarakan Focus Group Discussion pada bulan Desember 2020 guna mendiskusikan upaya memperkuat posisi negara dalam perkara kepailitan[5]. Namun demikian, nampaknya upaya revisi ini masih harus diperjuangkan mengingat revisi UU Kepailitan dan PKPU tidak masuk dalam Daftar Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2021[6].

DESAIN KEDUDUKAN PIUTANG NEGARA DALAM KEPAILITAN

Sebagaimana telah dipahami bahwa mereposisi Piutang Negara dalam kaitannya sebagai kreditor dalam perkara kepailitan adalah sesuatu yang urgen. Lantas bagaimanakah desain reposisi kedudukan Piutang Negara tersebut?

Sebagai dasar kita dapat menengok kembali ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Keuangan Negara tepatnya pada Pasal 2 huruf “g” mengatur bahwa piutang yang dimiliki oleh negara adalah termasuk dalam ruang lingkup Keuangan Negara. Berdasarkan pengaturan ini, posisi piutang disejajarkan dengan posisi hak-hak negara lainnya, salah satunya adalah hak untuk memungut pajak. Dalam titik ini, dapat ditemukan relevansi untuk menganalogikan kedudukan Piutang Negara dan Pajak dalam perkara kepailitan.

Rezim hukum perpajakan memposisikan Pajak sebagai kreditor yang diutamakan dalam perkara kepailitan. Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan dan Pasal 19 ayat (6) Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menentukan bahwa Hak Mendahulu untuk utang pajak ini melebihi segala hak mendahulu lainnya, selain:

  1. Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
  2. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
  3. Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

Berkaitan dengan Hak Mendahulu untuk pajak ini juga disebut sebagai salah satu piutang yang diistimewakan daripada piutang atas tagihan yang dijaminkan dengan hak jaminan (Sjahdeini 2009)[7], artinya lebih diistemawakan daripada Kreditor Separatis sekalipun. Selain itu pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 070 PK/Pdt. Sus/2009, kedudukan utang Pajak dalam perkara Kepailitan juga diperkuat.

Guna memperkuat posisi Piutang Negara sebagai kreditor dalam perkara kepailitan, pengaturan dan putusan Mahkamah Agung dalam bidang perpajakan tersebut dapat menjadi inspirasi. Desain posisi Piutang Negara dalam revisi UU Kepailitan dan PKPU dapat dipersamakan dengan kedudukan Pajak dalam perkara kepailitan. Piutang Negara dapat diposisikan sebagai kreditur yang memiliki kedudukan yang istimewa layaknya Pajak. Hal ini tentu memiliki dasar mengingat Piutang Negara dan Pajak dalam UU Keuangan Negara adalah sama termasuk dalam ruang lingkup Keuangan Negara. Apabila menganalogikan dalam ilmu taksonomi maka sejatinya Piutang Negara dan Pajak adalah species yang berbeda dalam satu genus yang sama, yaitu genus Keuangan Negara.

Pengaturan posisi Piutang Negara sebagai kreditor yang memiliki hak isitmewa selayaknya memang diatur dalam tataran undang-undang. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1137 KUHPerdata yang menyatakan bahwa,”Hak didahulukan milik negara, kantor lelang dan badan umum lain yang diadakan oleh penguasa, tata tertib pelaksanaannya, dan lama jangka waktunya, diatur dalam berbagai undang-undang khusus yang berhubungan dengan hal-hal itu. Hak didahulukan milik persekutuan atau badan kemasyarakatan yang berhak atau yang kemudian mendapat hak untuk memungut bea-bea, diatur dalam undang-undang yang telah ada mengenai hal itu atau yang akan diadakan.”

Akhirnya, upaya untuk mereposisi Piutang Negara dalam perkara kepailitan, dari yang semula kreditor konkuren menjadi kreditor yang memiliki hak istimewa, haruslah dipandang sebagai perlindungan terhadap hak negara. Selain karena setiap hak setiap subjek hukum itu harus dihormati dan dipenuhi, sebagai hak negara, Piutang Negara adalah wujud dari pengejewantahan usaha pemerintah untuk mencapau cita-cita negara yang dapat dinilai dengan uang. Dengan demikian, Piutang Negara haruslah diberikan posisi sekuat mungkin guna mendukung tercapainya cita-cita negara yaitu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh bangsa.

Oleh: Hadyan Iman Prasetya (Pelaksana KPKNL Bontang)

[1] Man S. Sastrawidjaja, 2010, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung; PT Alumni, hal., 127

[2] Siti Anisah, 2008, Perlindungan Kepentingan Kreditor Dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal. 302.

[3] https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f653de82a7b5/mendorong-revisi-uu-kepailitan-dan-pkpu-di-tengah-badai-pailit-industri-properti diakses pada 12 April 2021.

[4] https://www.cnbcindonesia.com/news/20200918164214-4-187842/demi-dunia-usaha-revisi-uu-kepailitan-mendesak/2 diakses pada 12 April 2021.

[5] https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/22655/Direktur-Hukum-dan-Humas-Kepentingan-Keuangan-Negara-Harus-Terlindungi.html diakses pada 12 April 2021.

[6] https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/32239/t/Paripurna+DPR+Sepakati+33+RUU+Prolegnas+Prioritas+2021 diakses pada 12 April 2021.

[7] Sutan Remy Sjahdeini, 2009, Hukum Kepailitan, Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Cetakan III, Edisi Baru, Januri 2009, hal.6-7.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini