Jakarta – Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) membuka kesempatan kepada Kementerian
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) untuk menegaskan kembali kedudukan
hak negara sebagai hak preferens dalam kepailitan dan PKPU. “Perlu kiranya kita
memperhatikan bagaimana kita menyikapi adanya perubahan atas UU Kepailitan ini.
Kita tetap ingin bahwa kepentingan keuangan negara harus terlindungi,” ujar Direktur Hukum dan Hubungan Masyarakat Tri Wahyuningsih
Retno Mulyani saat membuka Forum Group
Discussion (FGD) yang melibatkan ahli hukum keuangan negara dan dosen hukum
kepailitan dengan mengambil tema “Kedudukan Hak Negara dalam Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU” pada Kamis (10/12) secara daring.
Direktur Hukum dan Hubungan Masyarakat menyampaikan
bahwa dalam kepailitan sering berimplikasi kepada kepentingan keuangan negara.
“Faktanya, kepentingan negara atau kepentingan keuangan negara tidak begitu
terlindungi dengan adanya UU kepailitan yang ada ini,” tambahnya.
Ia meminta kepada para peserta yang
secara langsung menghadapi kasus-kasus di lapangan untuk memanfaatkan FGD ini
sebagai wadah diskusi untuk mendapatkan kajian komprehensif yang dapat
dijadikan bahan masukan dalam RUU perubahan dimaksud.
Ahli Keuangan Negara Siswo Sujanto
menjelaskan bahwa dalam praktiknya, kedudukan hak negara seringkali
dipersamakan dengan kreditur konkuren sehingga banyak dari hak negara tidak
dapat dicatat dalam daftar kreditur, seperti piutang lembaga sui generis. “Penanganan piutang negara ini
haruslah dimulai berdasarkan hirarki pemikiran yaitu dari filosofi atau konsep hukum
keuangan negara,” ungkapnya.
Dalam kepailitan, lanjutnya, kedudukan
negara harus dilihat dari hubungan antara pemerintah dan rakyat. Sebagaimana dijabarkan
dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kewajiban negara adalah
memenuhi kebutuhan rakyatnya. “Kewajiban negara itu mengakibatkan pengeluaran
negara dan selanjutnya melahirkan hak negara,” jelasnya. Menggunakan kacamata hukum
keuangan negara tersebut, hak negara perlu mendapat kedudukan preferens karena
nantinya akan digunakan kembali untuk kepentingan masyarakat banyak.
Pada kesempatan yang sama, akademisi
sekaligus dosen di Universitas Indonesia Parulian Paidi Aritonang menyampaikan
bahwa menurut pasal 60 UU Nomor 37 tahun 2004, negara adalah kreditur preferens
dan memiliki hak istimewa. Namun, kelemahan hak negara dalam UU tersebut selama
ini adalah aturan terkait hal itu masih multi tafsir karena belum tertulis
secara eksplisit. “Dari forum kita bisa mendengar bagaimana tafsir atau usulan publik
yang baik yang diharapkan masuk dalam pembuat kajian akademik sebagai bahan
revisi kedudukan negara,” ujarnya menutup paparan.
Kegiatan FGD yang dilaksanakan secara
daring zoom.us ini dihadiri oleh 482 orang yang terdiri dari perwakilan Biro
Advokasi Sekretariat Jenderal Kemenkeu, perwakilan dari unit eselon I di
lingkungan Kemenkeu, perwakilan dari Lembaga Sui Generis (Special Mission Vehicles) di bawah Kemenkeu, serta para pegawai di
lingkungan DJKN dan Lembaga Manajemen Aset Negara. (lia-humasDJKN)