Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Arti Penting Prinsip Mengenal Pengguna Jasa Dalam Pemberian Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Lelang
Hadyan Iman Prasetya
Senin, 19 Oktober 2020 pukul 07:28:30   |   12691 kali


Selama ini, baik KPKNL maupun Balai Lelang sebagai penyelenggara lelang, sering mengkampanyekan bahwa jual beli melalui lelang memiliki beberapa kelebihan, di antaranya adalah aman[1] dan memberi kepastian hukum[2]. Aman karena lelang dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang dan memberi kepastian hukum karena pembeli akan mendapatkan Risalah Lelang yang berstatus sebagai akta otentik. Dengan kelebihan-kelebihan yang disebutkan tersebut tentu pihak penyelenggara lelang menjamin adanya perlindungan hukum bagi pembeli lelang. Namun dalam proses bisnis lelang ternyata ditemukan adanya potensi penyalahgunaan lelang sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana. Tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana pencucian uang atau money laundering.

Sesuai dengan rumusan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), salah satu bentuk kegiatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang adalah orang yang membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, macam tindak pidana asal diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU TPPU, dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan tersebut. Dalam konteks kegiatan “membelanjakan” harta hasil tindak pidana asal inilah tidak menutup kemungkinan dilakukan melalui lelang.

Pelaku pencucian uang secara umum melakukan tahapan-tahapan tertentu yaitu placement yang kemudian diikuti dengan tahapan layering dan integration (Garnasih, 2007).[3] Kegiatan placement adalah langkah untuk mengubah uang hasil kejahatan ke dalam bentuk yang kurang menimbulkan kecurigaan dan akhirnya masuk ke dalam jaringan sistem keuangan, seperti menyimpan tunai di bank, asuransi, atau membeli rumah, kapal, dan perhiasan. Kedua, tahapan layering, yaitu pelaku membuat transaksi-transaksi dari dana ilegal ke dalam transaksi yang lebih rumit dan berlapis serta berangkai dengan bentuk anonimitas untuk menyembunyikan sumber dari uang ilegal tersebut. Terakhir, tahapan integration, yaitu pelaku memasukkan kembali dana hasil layering ke dalam transaksi yang sah dan telah tidak terdapat hubungan dengan kejahatan asal dana illegal. Mengacu pada ketiga tahapan tersebut, kegiatan pelaku pencucian uang untuk mengikuti lelang dapat dikelompokkan ke dalam kegiatan placement.

Menyadari potensi penyalahgunaan lelang menjadi sarana melakukan tindak pidana ini, Kementerian Keuangan sebagai instansi yang menyediakan jasa lelang sekaligus sebagai regulatornya, telah menerbitkan peraturan-peraturan dalam rangka mencegah terjadinya pencucian uang melalui lelang. Dalam catatan Penulis, peraturan-peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.06/2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Balai Lelang, Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 2/KN/2016 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang, Surat Edaran Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor SE-3/KN/2016 tentang Pedoman Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa, dan Surat Edaran Direktur Lelang DJKN Nomor SE-1/KN.7/2019 tentang Pedoman Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) Bagi Balai Lelang.

Prinsip Mengenali Pengguna Jasa diatur sebagai salah satu prinsip untuk mencegah terjadinya pencucian uang menurut Pasal 18 UU TPPU. Inti dari Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dalam UU TPPU diimplementasikan meliputi tiga kegiatan, yaitu (a) Identifikasi Pengguna Jasa, (b) Verifikasi Pengguna Jasa, dan (c) Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa (Lisanawati, 2019).[4] Dalam pendapat yang lain dirumuskan sebagai customer identification, record keeping, dan suspicious transaction reporting (Amrani, 2014).[5] Arti penting Prinsip Mengenali Pengguna Jasa yang terwujud dalam kegiatan-kegiatan tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan pelaporan kepada Financial Intelligence Unit (dalam konteks Indonesia terlembaga dalam PPATK) dan dapat dipergunakan untuk menelusuri proses terjadinya pencucian uang sehingga memudahkan penegak hukum untuk melakukan investigasi lebih lanjut (Husein, 2004).[6] Kewajiban pelaporan kepada PPATK ini juga telah diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU TPPU dan Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27 Tahun 2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Mengingat bahwa di antara kelebihan lelang adalah menjamin adanya perlindungan hukum bagi pembelinya, namun di sisi yang lain lelang juga dapat disalahgunakan oleh pembelinya untuk melakukan pencucian uang. Maka, bagaimanakah keterkaitan implementasi Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dengan jaminan perlindungan hukum yang ditawarkan oleh penyelenggara lelang bagi pembeli lelang? Apakah pembeli yang menyalahgunakan lelang sebagai sarana pencucian uang tetap berhak mendapatkan perlindungan hukum? Hal inilah yang akan dijelaskan dalam tulisan ini.

DASAR PEMBERIAN PERLINDUNGAN HUKUM

Selama ini telah berkembang postulat dalam hukum perdata baik berdasar putusan pengadilan maupun teori dari para pakar yang menyatakan bahwa pembeli yang beritikad baik harus dilindungi hak-haknya secara hukum. Meskipun tidak ditemukan definisi secara otentik dalam peraturan perundang-undangan, para ahli telah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Pembeli Beritikad Baik. Berbagai definisi dari para ahli tersebut, apabila objek jual belinya tanah, dapat dirangkum sebagai berikut, Pembeli yang beritikad baik adalah pembeli yang tidak mengetahui dan tidak dapat dianggap sepatutnya telah mengetahui adanya cacat cela dalam proses peralihan hak atas tanah yang dibelinya (Putro, et.al., 2016).[7]

Definisi tersebut telah memuat pula cakupan pengertian itikad baik yang dibagi ke dalam dua dimensi, yaitu dimensi subyektif dan obyektif. Dimensi subyektif berkaitan dengan kejujuran sedangkan dimensi obyektif berkaitan dengan kerasionalan, kepatutan, atau keadilan (Sianturi, 2013).[8] Itikad baik juga merupakah salah satu asas hukum dalam lapangan hukum perjanjian bersama dengan asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, dan asas kepribadian (Rahman, et.al., 2011).[9] Asas itikad baik secara eksplisit disebutkan dalam rumusan Pasal 1338 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi,” Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Berdasarkan makna itikad baik tersebut, maka sudah seharusnya bahwa Pembeli lelang yang beritikad baik harus dilindungi secara hukum. Perlindungan hukum bagi pembeli lelang ini dapat dilakukan oleh KPKNL atau Balai Lelang sebagai penyelenggara lelang atau oleh lembaga peradilan jika terjadi sengketa atas objek lelang. Pasal 4 PMK 27/2016 mengatur bahwa lelang yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tidak dapat dibatalkan. Ketentuan Pasal tersebut merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi pembeli lelang, dengan syarat lelang tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Rumusan “dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku” tersebut mengandung makna salah satunya adalah lelang yang dilaksanakan dengan pembeli yang beritikad baik.

Sedangkan dalam putusan pengadilan, perlindungan hukum bagi pembeli lelang yang beritikad baik dapat ditemui dalam Putusan Mahkamah Agung No. 821 K/Sip/1974, No. 3604 K/Pdt/1985, No. 1091 K/Pdt/2009, No. 174 PK/Pdt/2012, No. 411 K/Pdt/2013 (Putro, et.al., 2016). Sebaliknya, terhadap lelang yang pembeli lelangnya terbukti tidak memiliki itikad baik, pengadilan dapat membatalkan lelang tersebut. Putusan-putusan yang membatalkan lelang tersebut diantaranya adalah Putusan Mahkamah Agung No. 300 PK/Pdt/2009 dan No. 252 K/Pdt/2002.

Dalam konteks pemberian perlindungan hukum bagi pembeli lelang yang beritikad baik ini, implementasi Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dapat memiliki peran penting. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dilakukan dalam rangka untuk mencegah dan mengidentifikasi dilakukannya tindak pidana pencucian uang melalui lelang. Sedangkan dalam hukum pidana dikenal adanya dua konsep kunci untuk menentukan kesalahan seseorang yang pada gilirannya menjadi dasar untuk memidana orang itu. Kedua konsep tersebut adalah actus reus dan mens rea, yang pertama menunjukkan perbuatan jahat sedangkan yang kedua adalah berkaitan dengan pikirannya yang salah atau jahat (Candra, 2013).[10] Dengan demikian, implementasi Prinsip Mengenali Pengguna Jasa memungkinkan untuk dapat mendeteksi pada tahap awal bagaimana itikad dari pembeli lelang, jika beritikad baik maka timbul kewajiban untuk melindungi hak-haknya, jika tidak baik maka sebaliknya.

Pengaturan di dalam UU TPPU pada Pasal 20 ayat (3) sejatinya mewajibkan bagi pihak yang bertransaksi dengan Pengguna Jasa, termasuk penyelenggara lelang, untuk menolak transaksi tersebut jika Pengguna Jasa tidak patuh untuk menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa. Namun menurut Penulis, tetap tidak menutup kemungkinan bahwa modus yang dilakukan Pengguna Jasa sedemikian rupa sehingga dapat mengelabuhi pihak penyelenggara lelang dan transaksi tetap berjalan.

Mens Rea atau guilty mind yang dikenal dalam hukum pidana menurut Penulis, secara konvergen, amat terkait dengan itikad peserta lelang dalam ranah keperdataan, terlepas apakah dia akan ditetapkan sebagai pembeli atau tidak. Jika peserta lelang yang kemudian ditetapkan sebagai pembeli lelang memang sejak awal berniat mengikuti lelang untuk melakukan pencucian uang maka pembeli lelang tersebut tidak memiliki itikad baik. Setidaknya, pembeli lelang tersebut tidak memiliki kejujuran yang masuk dalam dimensi subyektif dari makna itikad baik. Pembeli lelang tersebut tidak secara jujur melakukan perjanjian jual beli dalam bentuk lelang bahwa dia membeli objek lelang dengan uang hasil tindak pidana. Selanjutnya, ketidakjujuran pembeli lelang itu juga tergambar dari tujuan melakukan lelang untuk pencucian uang. Sesuai dengan rumusan tindak pidana pencucian uang, lelang yang dilakukan untuk “tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana” tentu dilakukan secara tidak jujur dan mengelabuhi pihak penjual maupun penyelenggara lelang.

Secara lebih mendasar, pembeli lelang yang memanfaatkan lelang sebagai sarana untuk melakukan pencucian uang sejatinya telah beritikad tidak baik juga dengan mencoba melakukan perikatan jual beli yang tidak memenuhi syarat sah perjanjian. Sesuai Pasal 1320 KUHPerdata telah diatur bahwa syarat sah perjanjian adalah meliputi kesepakatan, kecakapan, obyek tertentu dan sebab yang halal. Keempat syarat tersebut dikelompokkan ke dalam dua bagian, kesepakatan dan kecakapan adalah syarat subyektif yang apabila tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan syarat obyek tertentu dan sebab yang halal adalah syarat obyektif yang apabila tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum. Khusus berkaitan dengan syarat “sebab yang halal” dapat dibuktikan jika perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Lelang yang dilakukan oleh pembeli sebagai sarana pencucian uang adalah tidak memenuhi syarat “sebab yang halal” karena telah jelas bertentangan dengan perundang-undangan dan melanggar ketentuan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan begitu telah jelas bahwa “sebab yang halal” sebagai syarat obyektif sahnya perjanjian tidak terpenuhi, sehingga seharusnya lelang yang dilakukan itu batal demi hukum. Batalnya lelang demi hukum tersebut tentu tidak memberikan hak kepada pembeli untuk mendapat perlindungan hukum. Selain itu, jika merujuk pada Pasal 4 PMK 27/2016, maka lelang juga dapat dibatalkan karena tidak dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapatlah dipahami bahwa Prinsip Mengenali Pengguna Jasa memiliki arti penting sebagai dasar dalam timbulnya perlindungan hukum bagi pembeli lelang. Selama ini pembeli lelang yang beritikad baik, berdasar doktrin maupun yurisprudensi, haruslah dilindungi secara hukum dan perlindungan tersebut diberikan baik oleh KPKNL atau Balai Lelang sebagai penyelenggara lelang maupun Pengadilan dengan tidak membatalkan lelang yang telah dilakukan.

Berbeda dengan perlindungan hukum yang diberikan bagi pembeli lelang beritikad baik, jika dalam penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa didapati pembeli lelang beritikad tidak baik dengan memanfaatkan lelang sebagai sarana pencucian uang, maka pembeli tersebut tidak berhak untuk dilindungi. Bahkan secara teorits, lelang yang dilakukannya batal secara hukum karena tidak memenuhi salah satu syarat obyektif sahnya perjanjian yaitu sebab yang halal.

MENJAGA REPUTASI LELANG

Setelah diketahui bahwa dengan menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa, pihak penyelenggara lelang dapat mengidentifikasi itikad pembeli lelang apakah memang beritikad baik atau tidak. Selanjutnya diketahui pula bahwa lelang yang dilakukan oleh pembeli dengan niat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang adalah pembeli yang memiliki niat jahat atau mens rea sehingga berakibat tidak terpenuhinya syarat obyektif perjanjian yaitu “sebab yang halal”, maka lelang tersebut haruslah dianggap batal demi hukum.

Segala perjanjian yang dianggap batal demi hukum membawa akibat hukum bahwa semua pihak harus meletakkan segala sesuatu seperti semula sebelum kontrak (Astuti, 2016).[11] Lebih lanjut bahwa konsekuensi tersebut menjadikan posisi hukum para pihak harus dikembalikan kepada keadaan semula, seolah-olah perjanjian tersebut tidak pernah ada. Doktrin yang mengajarkan bahwa apabila suatu perjanjian batal demi hukum maka konsekuensi logisnya adalah tidak boleh ada pihak yang dirugikan, karena keadaan semua kembali kepada keadaan semula (Pramono, 2010).[12] Dengan demikian sejatinya pihak penyelenggara lelang berusaha melindungi kepentingan hukumnya sendiri dengan tidak memberikan perlindungan hukum bagi pembelinya yang memiliki itikad tidak baik. Salah satu kepentingan yang harus dilindungi penyelenggara lelang adalah reputasi lelang sebagai lembaga jual beli yang menawarkan perlindungan hukum bagi pembeli yang beritikad baik.

Sehubungan dengan melindungi reputasi ini, menurut PPATK[13], penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa merupakah bagian penting bagi manajemen risiko yang baik. Macam resiko yang dapat dimitigasi dengan diterapkannya Prinsip Mengenali Pengguna Jasa adalah risiko reputasi, operasi, hukum, dan konsentrasi yang keempatnya saling berhubungan. Risiko reputasi berkaitan dengan sifat dari bisnis suatu industri, yang membutuhkan kepercayaan dari Pengguna Jasa atau nasabah. Publikasi negatif, entah akurat ataupun tidak, akan menyebabkan kehilangan kepercayaan atas integritas industri yang bersangkutan.

Mengingat bahwa selama ini lelang telah dikenal memiliki reputasi yang baik dalam memberikan perlindungan hukum bagi pembeli lelang yang beritikad baik. Maka dalam rangka memitigasi risiko yang ditimbulkan dari tindak pidana pencucian uang (TPPU atau money laundering), Prinsip Mengenali Pengguna Jasa memiliki arti yang amat penting bagi proses bisnis lelang. Dengan makin efektifnya penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dalam proses bisnis lelang, maka lelang akan makin memiliki reputasi yang baik dan dapat menjadi pilihan utama masyarakat untuk melakukan proses jual beli karena memberikan perlindungan hukum bagi pembelinya.

Oleh: Hadyan Iman Prasetya (Pelaksana pada KPKNL Bontang)


[1] Diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/8767/Lelang-Mudah-dan-Aman.html

[2] Diakses dari https://www.balailelang.co.id/index.php/home/kelebihan-penjualan-melalui-lelang

[3] Yenti Garnasih, 2007, Kebijakan Kriminalisasi dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 19, Nomor 2, Juni 2007, hal. 167-181.

[4] Go Lisanawati, 2019, Memahami Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dalam Hukum Anti Pencucian Uang dan Kewajiban Pelaporan, dalam Perspektif Hukum Bisnis di Indonesia Kumpulan Catatan Kritis, Genta Publishing: Yogyakarta, hal. 23-38.

[5] Hanafi Amrani, 2014, Rezim Anti-Money Laundering: Perkembangan Ke Arah Internasionalisasi Dan Implikasinya Terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan Negara, Jurnal Negara Hukum, Vol. 5, No. 1, Juni 2014, hal. 19-29.

[6] Yunus Husein, 2004, Arti Penting Pelaksanaan Undang-Undang Anti Money Laundering dan Prinsip Mengenali Nasabah bagi Bank dan Nasabah, Makalah diunduh dari https://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/30_urgensi-pelaksanaan-uu-tppu_x.pdf

[7] Widodo Dwi Putro, et.al., 2016, Penjelasan Hukum Pembeli Beritikad Baik : Perlindungan Hukum bagi Pembeli yang Beritikad Baik dalam Sengketa Perdata Berobyek Tanah, diunduh dari https://leip.or.id/wp-content/uploads/2016/05/Penjelasan-Hukum-Pembeli-Beritikad-Baik-Hukum-Perdata.pdf

[8] Purnama Tioria Sianturi, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, Mandar Maju: Bandung.

[9] Taufiq El Rahman, et.al., 2011, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Asas Kepribadian Dalam Kontrak-Kontrak Outsourcing, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 23, Nomor 3, Oktober 2011, hal. 583-596.

[10] Septa Candra, 2013, Pembaharuan Hukum Pidana; Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Nasional Yang Akan Datang, Jurnal Cita Hukum, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-56.

[11] Nanin Koeswidi Astuti, 2016, Analisa Yuridis Tentang Perjanjian Dinyatakan Batal Demi Hukum, Jurnal Hukum to-ra, Vol. 2, No. 1, April 2016, hal. 279-286.

[12] Nindyo Pramono, Problematika Putusan Hakim Dalam Perkara Pembatalan Perjanjian, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 2, Juni 2010, hal. 224-233.

[13] PPATK, t.t., Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Dan Pelaporan Bagi Pihak Pelapor Dan Pihak Lainnya, diunduh dari https://elearning.ppatk.go.id/pluginfile.php/269/mod_page/content/5/Modul 2 - Bagian 2.pdf

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini