Salah satu tahapan pada
proses pengurusan Piutang Negara adalah Pemberian Surat Paksa sekaligus
penagihan pelunasan utang kepada penanggung utang untuk melunasi seluruh utangnya dalam waktu 1x24 jam. Surat Paksa diterbitkan oleh Ketua
Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) sesuai amanat UU No.49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitya Urusan
Piutang Negara untuk kemudian diserahkan kepada penanggung utang oleh Juru
Sita Piutang Negara.
Dalam PMK 240
Tahun 2016 tentang Pengurusan Piutang Negara disebutkan bahwa Surat Paksa dapat
diterbitkan karena beberapa hal seperti penanggung hutang tidak memenuhi
kewajiban yang telah ditetapkan dalam Pernyataan Bersama setelah diberikan
surat peringatan, mengakui jumlah utang namun tidak sanggup melunasinya dalam
jangka waktu dua belas bulan sejak Pernyataan Bersama ditandatangani,
telah diterbitkan surat keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN).
Surat Paksa memiliki
irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mana
merupakan alas hak untuk melakukan tindakan pengurusan piutang secara eksekusi.
Sama halnya dengan Pernyataan Bersama, Surat Paksa memiliki kekuatan
eksekutorial seperti grosse akta dari putusan hakim dalam perkara
perdata, yang tidak dapat dimintakan banding lagi pada hakim atau putusan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Kekuatan eksekutorial
dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap artinya dengan kekuatan
itu maka hakim dapat melaksanakan (mengeksekusi) putusan, sedangkan dalam Surat
Paksa artinya ketika perintah dalam surat tersebut tidak diindahkan, maka juru
sita dapat melanjutkannya dengan tindakan eksekusi penyitaan dan pelelangan
barang jaminan atau harta kekayaan lain yang dimiliki penanggung utang untuk
melunasi utangnya, tentu dengan tetap memperhatikan aspek kemanusiaan dan
keadilan.
Kendati memiliki
kekuatan eksekutorial yang sangat berguna untuk percepatan penyelesaian piutang
negara, pemberian Surat Paksa kepada penanggung utang dapat membuahkan hasil
yang kurang optimal, dikarenakan berbagai faktor baik faktor teknis di lapangan
seperti penanggung utang tidak dapat ditemui keberadaanya, penanggung utang telah meninggal dunia, atau barang jaminan masih terkait dengan
permasalahan hukum, hingga ketiadaan barang jaminan itu sendiri.
Meskipun demikian, keberadaan Surat Paksa tersebut sangat berguna dalam mendorong itikad baik
penanggung utang untuk melunasi utangnya. Surat Paksa merupakan wujud dari tindakan hukum
yang sah, dan apabila tidak diindahkan, maka barang jaminan atau harta kekayaan
lain yang ditemukan pada proses pemeriksaan akan disita dan dilelang untuk
menutupi utangnya.
Umumnya, penanggung utang tidak dapat melunasi utangnya sekaligus melainkan mengangsur. Meskipun
tidak sepenuhnya sesuai dengan maksud awal yang tercantum dalam Surat Paksa, hal
ini tetap memiliki sisi positif yakni dapat mendorong pencapaian penerimaan
negara dari pelunasan piutang negara. Namun perlu juga diwaspadai terkait potensi
kemacetan baru yang dapat menghambat proses percepatan penyelesaian piutang
negara karena penanggung utang tidak dapat membayar angsuran utangnya secara tepat waktu,
terlebih penanggung utang yang tidak memiliki barang jaminan dan dengan
kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan saat ini.
Penulis : Zolanda Ayu
Ihdina Fauziah
Direviu oleh : Asto Budiman Santoso (Juru Sita Piutang Negara KPKNL Tegal)
Sumber :
Samosir, S. S. (2019). Penerapan Penggunaan
Irah-Irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam
Konteks Pencapaian Keadilan. Jurnal Supremasi, 1-16
Samsul, C., Boedirijanto, & Andy, P. (2005). Pengurusan Piutang Negara. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan RI.