Pada zaman dahulu, masyarakat
Desa Tegalwangi, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, menganggap batik tulis
Tegalwangi merupakan barang berharga yang setara dengan emas. Memiliki
batik tulis dengan nilai seni tinggi akan menunjukan status sosial sang
pemilik. Pun di saat ada kebutuhan mendesak, batik tulis dapat digadaikan
dengan nilai tinggi.
Batik
tulis Tegalwangi merupakan warisan leluhur yang dilestarikan secara turun
temurun. Keberadaan batik tulis berasal dari Kerajaan Mataram, yang
merupakan muasal pengikut Ki Gede Sebayu, pendiri dan pembangun
Tlatah Tegal. Batik tulis Tegalwangi makin dikenal sejak pelarian Raja
Amangkurat I, raja Mataram.
Awalnya batik tulis klasik memang hanya berwarna natural, dengan latar putih, latar hitam/ireng dan sogan. Kedatangan RA Kardinah (adik RA Kartini yang juga merupakan perintis berdirinya rumah sakit di Tegal) membuat batik tulis Tegalwangi semakin semarak, kaya akan ragam/corak dan warna. Tak sampai disitu, kecintaan RA Kardinah akan batik membuatnya mendirikan sekolah batik di Tegal. Batik tulis pun berkembang pesat, tidak hanya di Tegalwangi, tapi juga di daerah sekitarnya, seperti Bengle,Lasem, Dukuhsalam, Pagianten dan lainnya.
Pembuatan batik tulis membutuhkan usaha yang keras. Proses pewarnaan dan pelukisan yang
penuh ketelitian, ketelatenan, dan kecermatan akan menghasilkan karya
seni bernilai tinggi. Wajar bila harganya relatif mahal. Batik
tulis Tegalwangi dibandrol dengan harga antara Rp900.000,00 (Sembilan ratus
ribu rupiah) hingga Rp5.000.000,00, (lima juta rupiah).
Bagi masyarakat Tegalwangi, memiliki
batik tulis merupakan suatu kebanggan sekaligus kebutuhan. Tak jarang masyarakat Tegalwangi melukis
sendiri batik tulis mereka untuk koleksi pribadi yang digunakan pada saat resepsi pernikahan ataupun acara penting lainnya. Apapun kebaya yang
digunakan tidaklah masalah, yang penting kain batik tulis yang mereka
gunakan elegan.
Masa
pandemi seperti ini sangat berpengaruh terhadap penjualan batik tulis, mengingat
batik tulis bukan sebuah kebutuhan pokok. Orang akan berpikir dua kali untuk
mengeluarkan uang untuk keperluan nonpokok.
Kenyataan
tersebut menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh para perajin batik tulis
Tegalwangi. Bagaimana mencari solusi agar batik tulis bisa dijangkau oleh
masyarakat luas tak hanya kolektor atau pecinta batik tulis saja. Entah itu
melalui produksinya yang makin efisien dan kreatif atau melalui branding/pemasaran.
Pemerintah sebenarnya tidak
tinggal diam dalam pelestarian batik. Guna menjaga eksistensi batik tulis asli
Tegal di kalangan masyarakat, Pemerintah Daerah Kabupaten Tegal telah
menggelar berbagai pameran batik secara langsung maupun virtual. Namun demikian,
kelestarian batik tulis merupakan tanggung jawab kita bersama. Sebagai individu,
organisasi atau institusi baik swasta maupun pemerintah, kita harus berkontribusi
agar batik khususnya batik tulis dapat lestari dan menjadi kebanggaan kita semua.
Sebagai pengingat, sejak 2 Oktober 2009, Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan (UNESCO) telah mengakui/menetapkan batik sebagai warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity) dari Indonesia. Mari cintai produk dalam negeri. Mari cintai batik tulis Indonesia.
Penulis : Ratna Astuti edit @wD
Diolah dari : Wawancara eksklusif Penulis dengan Ade Warastuti istri dari salah satu pewaris pengrajin batik tulis Tegalwangi dan sumber daring lainnya.