Tegal - Timbulnya gugatan
atas pelaksanaan lelang eksekusi bukan berarti lelang dilaksanakan tidak sesuai
ketentuan. Sudah jamak dalam pelaksanaan eksekusi ada pihak yang merasa
dirugikan. Saat menjadi tereksekusi, dunia seolah tidak berpihak kepadanya.
Keadilan seperti pergi menjauh. Gugatan pun dinilai sebagai pintu paling
menjanjikan bagi debitor untuk keluar dari permasalahan utang piutang.
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), gugatan diartikan sebagai tuntutan/celaan/ kritikan/sanggahan.
Sementara itu, menurut beberapa literasi, pengertian gugatan adalah
permasalahan perdata yang mengandung sengketa antara dua belah pihak atau lebih
yang diajukan ke Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai
penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat.
Saat ini, lelang
eksekusi pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) menjadi pilihan cukup
rasional dalam penyelesaian kredit macet oleh perbankan, non perbankan bahkan
perorangan selaku kreditur/Pemegang Hak Tanggungan Peringkat Pertama (I).
Bagaimana tidak, prosesnya yang relatif lebih mudah dan cepat, menjadi daya
tarik bagi para kreditor. Mereka berlomba-lomba mengunakan mekanisme tersebut.
Sesuai ketentuan, begitu debitor wanprestasi, kreditor/pemegang Hak Tanggungan
Peringkat I dapat menjual obyek hak tanggungan secara lelang melalui KPKNL
tanpa harus mendapatkan fiat pengadilan terlebih dahulu.
Sebagai sebuah produk
yang timbul dari perjanjian aksesoris/tambahan, pelaksanaan ketentuan dalam Hak
Tanggungan justru kerap menjadi pemicu lahirnya gugatan baru. Sedikit sekali
gugatan diajukan saat utang piutang masih di tahap penagihan oleh kreditor.
Gugatan hadir tak lama setelah barang jaminan kredit hendak dieksekusi lelang
oleh kreditor. Atau setidaknya ada tanda-tanda ke arah itu.
Berdasarkan pasal 7
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,menyatakan bahwa semua orang sama di
hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi
apa pun. Ini lah yang mendasari asas persamaan di hadapan hukum atau dikenal
sengan istilah Equality Before The Law.
Senada dengan salah satu
pasal pada deklarasi tersebut, pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa
dan mengadilinya. Dengan demikian, setiap debitor memang diberi ruang yang
cukup luas oleh Undang-Undang untuk melakukan upaya hukum terhadap hal-hal yang
sekiranya dianggap merugikan dirinya.
Lalu
apa saja yang menjadi materi gugatan selama ini? Di KPKNL Tegal dari sekian
banyak gugatan yang masuk, mayoritas menyoal masalah prosedur perbankan yang
tidak dipahami oleh debitor sebelum penandatanganan akad perjanjian kredit,
barang jaminan dilelang padahal kredit masih dalam jangka waktu pembayaran dan
tidak adanya pemberitahuan lelang oleh kreditor. Materi lain yang sering dikeluhkan debitor
adalah harga limit lelang yang ditetapkan oleh penjual/kreditor. Sementara itu
posisi KPKNL Tegal dalam lingkaran litigasi kebanyakan sebagai
tergugat/terlawan. Pada posisi sebagai turut tergugat/turut terlawan relatif
sedikit.
Dari data yang dirilis
KPKNL Tegal, hingga September 2017, tercatat ada 72 (tujuh puluh dua) perkara
aktif yang ditangani kantor tersebut. Terbagi dalam dua kategori. Pertama,
perkara berasal dari lelang laku dan lelang tidak ada peminat serta ada unsur
Tuntutan Ganti Rugi (TGR), yaitu sebanyak 36 (tiga puluh enam) perkara. Kedua,
perkara yang berasal dari lelang tidak ada peminat dan tidak ada unsur Tuntutan
Ganti Rugi (Non TGR), yaitu sebanyak 36 perkara.
Adapun hasil penanganan
perkara yang dilakukan oleh KPKNL Tegal, sebanyak 46 (empat puluh enam) perkara
dimenangkan KPKNL ditingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung. Sisanya, sebanyak 26 (dua puluh enam) perkara masih dalam proses. Dengan
hasil ini setidaknya membuktikan bahwa lelang di KPKNL Tegal telah dilaksanakan
sesuai ketentuan.
(Eliarti_HI_KPKNL_Tegal)
@wD