Sebenarnya, Indonesia bukanlah negara yang
kekurangan motivasi untuk belajar. Mulai dari pahlawan bangsa yang berasal dari
Sabang hingga Merauke, semuanya memiliki semangat tinggi dalam meraih dan
mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Banyak kata mutiara tentang
pendidikan, contohnya adalah; “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam
kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan” dari Tan Malaka,
"Belajar tanpa berpikir itu tidaklah berguna, tapi berpikir tanpa belajar
itu sangatlah berbahaya!” dari Bung Karno, presiden pertama kita, hingga “Tut
Wuri Handayani”nya Ki Hajar Dewantara yang kita sampai hafal pun, telah
tertulis pada buku-buku sejarah kita.
Namun, mengapa peringkat pendidikan (dan hal-hal
yang berkaitan dengan itu) kita berada dalam kondisi yang memprihatinkan dan
menyedihkan? Mengapa peringkat rata-rata IQ Indonesia hanya menempati peringkat
130 dari 199 negara di dunia? Bukankah kita sedih ketika melihat fakta bahwa
peringkat sistem pendidikan kita hanya menempati peringkat 54 dari total 77
negara di dunia? Apa sebabnya Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 di dunia
sebagai negara paling terliterasi (melek baca)? Mengapa pula universitas
peringkat 6-nya Malaysia lebih baik daripada universitas peringkat 1-nya
Indonesia, padahal peringkat 6-nya Malaysia tersebut adalah universitas swasta?
Hal-hal tersebut tentunya sangat berefek
pada kehidupan masyarakat Indonesia. Negara yang paling tidak terliterasi contohnya, yang
paling parah di antara semua itu. Bukan hanya berdampak negatif pada sesama
masyarakat kita, tapi juga mendapat pendangan yang negatif dari dunia
internasional. Secara mengejutkan, Indonesia ditempatkan pada peringkat pertama
sebagai negara dengan netizen paling tidak sopan se-Asia. Bahkan, negara kita
tercinta dinobatkan sebagai peringkat 4 di dunia. Bukankah kita sangat miris
dengan fakta ini ketika kita dalam waktu yang berbarengan membangga-banggakan
negara kita sebagai negara paling ramah dan sopan santun di dunia? Hal
menyedihkan tersebut terjadi karena netizen lokal kita sangat mudah terbakar
emosi, terpancing berita bohong dan misinformasi, dan tidak atau belum mengerti
bagaimana adab dalam berkomunikasi secara maya. Dapat kita setujui, penyebabnya
adalah, tidak lain dan tidak bukan, ya faktor pendidikan.
Menurut saya, hal yang paling menyakitkan
dan nyesek sampai ke hati adalah fakta terakhir. Fakta dimana kita
dikejutkan oleh kenyataan betapa sudah berkembang dan bertumbuhnya pendidikan
negara tetangga kita, Malaysia. Bukankah kita kaget, saat kita bernostalgia 40-50
tahun yang lalu, betapa banyaknya mahasiswa dari Malaysia yang datang jauh-jauh
ke Indonesia untuk belajar? Dan berapa banyak guru yang kita kirim kesana untuk mengajar? Namun, bukankah
kondisi sekarang berbalik 180 derajat, dimana banyak mahasiswa kita yang pergi
jauh-jauh ke negeri Jiran dikarenakan kualitas pendidikan mereka jauh lebih
baik?
Dalam
beberapa sumber yang saya temui, hal-hal tersebut terjadi karena beberapa hal. Pertama,
kompetensi guru di Indonesia masih berada di tingkat yang sangat rendah. Padahal,
kualitas murid atau siswa yang belajar dari pendidikan di Indonesia nyatanya
dipengaruhi oleh tenaga pengajar yang kompeten. Belum lagi, permasalahan tidak
kalah penting dari tenaga pengajar di Indonesia adalah permasalahan mengenai
guru honorer yang terkadang mendapat perhatian dan apresiasi kurang layak. Bukan
hanya dari segi materi, melainkan juga apresiasi moral yang belakangan ini tak
dimungkiri kerap menimbulkan permasalahan serius. Kedua, (inilah yang saya
sangat ingin tekankan kepada para pembaca) yaitu kaku dan membelenggunya
kurikulum, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal tersebut
tentunya mengurangi, atau bahkan membunuh, kreatifitas siswa dan juga mahasiswa.
Di samping itu, setiap orang memiliki talenta dan minat yang berbeda-beda,
sehingga tidaklah adil apabila semuanya harus dipukul rata dengan sistem yang
sama.
Memang,
jika harus ditelisik lebih dalam lagi, permasalahan yang sangat kompleks ini membutuhkan
solusi yang sangat kompleks pula. Sehingga, saya sebagai penulis merasa bahwa memberi
informasi terkait fakta lapangan tentang pendidikan sudahlah cukup. Saya
berharap, kita semua dapat mengerti kondisi pendidikan di negeri tercinta kita
ini. Sehingga kita dapat lebih berintrospeksi diri sembari melakukan yang lebih
baik untuk pendidikan kita, khususnya kepada anak kita yang masih mengenyam
pendidikan formal, ataupun kita yang sedang melakukan studi lanjut. (Arfiah
Nurul Fajarini, KPKNL Surakarta)
Sumber: