BELAJAR DARI TIONGKOK, CARA MENINGKATKAN EKONOMI NEGARA
Wisnu Herjuna
Senin, 31 Januari 2022 |
58295 kali
Ada pepatah Arab mengatakan “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China.” Kini,
banyak ahli ekonomi mengatakan “Sekaranglah momentum yang tepat untuk
melaksanakannya.” Artikel ini coba mengulas bagaimana Tiongkok (China) dapat berkembang
pesat menjadi superpower, dan
bagaimana –sebenarnya- Indonesia dapat mencontoh mereka.
Tiongkok, setelah masa kemerdekaannya pada
tahun 1949 merupakan negara dengan sistem ekonomi sangat tertutup. Hal ini
disebabkan oleh kepemimpinan Presiden Mao Zedong yang sangat anti-kapitalisme
sehingga tidak ada aliran investasi dari negara lain. Terlebih ketika Uni
Soviet, negara komunis tetangga, mengandalkan perindustrian menjadi tumpuan
ekonomi, sementara Tiongkok mengandalkan pertanian. Hal tersebut memperparah
kemiskinan warga Tiongkok, kemudian merembet pada sulitnya akses pendidikan,
kriminalitas, angka harapan hidup yang pendek, dan langkanya teknologi untuk
mempermudah kehidupan masyarakat.
Namun,
gebrakan besar-besaran terjadi pada tahun 1980-an ketika Deng Xiaoping naik tahta
menggantikan Mao Zedong. Pertama, aspek ekonomi, Presiden Deng mengundang
ratusan pengusaha dan investor dari luar negeri (kebanyakan dari barat) untuk
berinvestasi di Tiongkok. Karena kebijakan tersebut, ekonomi Tiongkok tumbuh
rata-rata 10% per tahun. Kedua, aspek pendidikan, Tiongkok ingin mencerdaskan
anak-anak bangsanya agar dapat membangun negara dari ilmu yang didapat dari
negara-negara maju di dunia. Tiongkok mengirim ratusan ribu anak-anak mudanya
untuk belajar di negara lain, khususnya ke Amerika Serikat. Ketiga, aspek
politik, Tiongkok memperbaiki hubungan dengan negara lain alias sangat
menghindari konflik. Dengan pemikiran pragmatisme, strategi politik tersebut
sangat melancarkan strategi gebrakan ekonomi dan pendidikan Tiongkok. Presiden
Deng tidak lagi mementingkan kompetisi ideologi kapitalisme vs. komunisme,
namun justru saling berkolaborasi satu sama lain. Kutipan paling terkenal dari Presiden
Deng adalah “Tidak peduli apakah itu kucing putih atau kucing hitam, selama
bisa menangkap tikus, itu adalah kucing yang baik.”
Pada
masa kini, Tiongkok dapat dikatakan menjadi negara dengan masyarakat berteknologi
paling canggih di dunia. Ketika anda ke Tiongkok, jangan harap dapat menggunakan
uang kertas atau koin. Semua transaksi di kota-kota di Tiongkok hanya menerima
transaksi elektronik alias uang digital, bahkan di pasar tradisional sekalipun.
Banyak kegiatan dan transaksi yang sudah dilakukan semua serba ‘robot’
sekarang, seperti membeli barang di minimarket tanpa kasir, restoran tanpa
pelayan, dan banyak gebrakan teknologi lain yang dapat dengan mudah ditemukan
di Tiongkok.
Keajaiban
ekonomi Tiongkok inipun sangat dirasakan khususnya oleh para pejabat dari
beberapa negara yang pernah berkunjung ke Tiongkok sebelum ‘gebrakan ekonomi’
dan diakui sendiri oleh para petinggi Negara Tiongkok. Seorang delegasi
Indonesia untuk Tiongkok pada tahun 1970-an pernah berkata, “Saya tidak melihat
mobil-mobil canggih ataupun kendaraan-kendaraan mewah lainnya di Beijing. Di
ingatan saya hanyalah seonggok bus kota reyot yang masih dipakai dengan kepulan
asap kotor di mana-mana.” Beberapa pengamat dari Amerika Serikat juga pernah
menjadi saksi mata, “Di tahun 1970-an ketika saya ke Tiongkok, pedagang Tiongkok
di pasar sangat kagum dan heran dengan kalkulator yang saya tunjukkan pada
mereka yang dapat menghitung angka dengan cepat. Padahal saya membelinya di
Amerika hanya dengan US$2 saja.” Bahkan menurut para pengamat lain, mereka juga
berkomentar masalah perubahan kota di Tiongkok, “Shenzen dulunya (tahun 1970-an)
adalah desa. Bukan kota,
tapi desa, yang isinya hanyalah tukang pandai besi. Sekarang Shenzen adalah
salah satu pusat ekonomi dan pelabuhan di Tiongkok.” Dan dengan adanya revolusi
ekonomi ini, Presiden Tiongkok sekarang, Xi Jinping turut berkomentar,
“Sekarang, sudah berakhirlah masa pem-bully-an kepada bangsa Tiongkok.”
Indonesia dapat pula mencontoh Tiongkok dan
merasakan keajaiban ekonomi dengan gebrakan ekonomi dan pendidikan. Langkah pemerintah saat ini sangat
mengedepankan pragmatisme ekonomi untuk pembangunan. Misi pemerintah yang
sangat ingin mengundang investor untuk masuk ke Indonesia dengan cara membuat
undang-undang dan peraturan untuk memudahkan investor dapat dikatakan adalah langkah
yang tepat. Namun,
sebenarnya Indonesia juga dapat meluaskan pasar ekspor dan menggenjot UMKM agar
dapat bersaing dalam perdagangan global. Dari segi pendidikan, pemerintah telah
membuat keputusan yang sangat mempengaruhi peningkatan kualitas pendidikan dan
ekonomi Indonesia. Banyak program yang sebelumnya tidak ada, seperti pertukaran
pelajar ke luar negeri dan sesama kampus dalam negeri, magang, dan banyak
program lainnya. Namun, Indonesia seharusnya lebih menekankan lagi pada daya
saing pelajar dan mahasiswa. Indonesia harus lebih memperbanyak kesempatan pada
anak-anak didiknya agar dapat belajar di luar negeri dengan beasiswa dari
pemerintah. Ditambah lagi, Indonesia dapat mencontoh sistem pendidikan
negara-negara maju yang tidak kaku dan kolaboratif, seperti Finlandia, Jerman,
Jepang, Singapura, dan lain-lain.
Tiongkok
adalah negara yang dulunya dikategorikan sebagai negara miskin, tapi kini, mereka
telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi superpower
di dunia. Masyarakat yang berteknologi tinggi dan perkembangan kota-kotanya yang
pesat sangat dirasakan oleh para pengamat dari negara maju, dan juga dari
Indonesia. Hal ajaib dari Tiongkok tersebut dapat dicontoh oleh Indonesia
dengan melakukan gebrakan ekonomi dan pendidikan. Ini merupakan salah satu
pilihan langkah yang dapat ditempuh pemerintah Indonesia untuk berharap, Indonesia
dapat menjadi negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, yang
akan mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga negaranya. (Arfiah
Nurul Fajarini-Seksi HI KPKNL Surakarta)
Disclaimer |
---|
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja. |
Foto Terkait Artikel