Tahun Anggaran 2020 Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat (LKPP) kembali mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini adalah kelima kali secara beruntun LKPP
memperoleh opini WTP. Itu artinya pengelolaan keuangan negara kita sudah berada pada koridor yang benar. Wajar Tanpa Pengecualian dalam bahasa
yang lebih mudah dipahami yakni laporan keuangan yang disajikan pemerintah pusat
dianggap telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan baik dan
bebas dari salah saji material. Prinsip akuntansi dimaksud mengacu pada standar akuntansi pemerintah yang di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat terdiri
dari tujuh laporan yakni Laporan Realisasi APBN, Laporan Perubahan Saldo
Anggaran Lebih, Neraca, Laporan Operasional, Laporan Arus Kas, Laporan
Perubahan Ekuitas dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Dari tujuh laporan
tersebut, neraca dapat dikatakan sebagai wajah kondisi keuangan suatu entitas. Banyak rasio keuangan yang menggambarkan
kondisi keuangan suatu entitas dihitung berdasarkan data akun-akun di Neraca. Puluhan
akun di dalam neraca dibagi menjadi 3 kelompok besar yakni aset, kewajiban dan
ekuitas.
Berbicara lebih jauh terkait neraca, apakah
teman-teman pernah mendengar atau melihat satu akun di dalam neraca yang
dinamakan Akumulasi Penyusutan Aset Tetap? Letaknya berada paling bawah di
deretan aset tetap, seperti ilustrasiberikut:
Sesuai ilustrasi/gambar di atas, nilai akumuasi penyusutan
aset pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat nilainya cukup besar yakni
sekitar Rp824 Trilyun. Lantas apakah akun akumulasi penyusutan aset tetap itu? Akun
akumulasi penyusutan aset tetap merupakan akun yang muncul akibat dari
pencatatan penyusutan aset pada akhir periode pelaporan. Penyusutan aset merupakan
satu dari beberapa transaksi penyesuaian pada akhir periode pelaporan yang tidak
berkaitan dengan arus kas masuk ataupun keluar.
Penyusutan aset dapat diartikan sebagai alokasi
yang sistematis atas nilai suatu aset tetap yang dapat disusutkan selama masa
manfaat aset yang bersangkutan. Aset pemerintah yang tercatat dalam neraca (kecuali
tanah dan konstruksi dalam pengerjaan), secara umum nilai dan fungsinya akan
terus menurun sejalan dengan pemanfaatan aset tersebut. Agar nilai aset dapat disajikan sesuai dengan
nilainya terkini maka dilakukan penyusutan aset. Selain itu, penyusutan aset adalah
bentuk prinsip akuntansi yakni pengakuan biaya (expense recognition), biaya harus diakui pada periode yang sama
dengan pendapatan terkait. Karena pemanfaatan aset tetap lebih dari satu
periode pelaporan, maka biaya perolehan aset secara bertahap harus dipindahkan
ke laporan operasional/laba-rugi sejalan dengan manfaat yang diperoleh dari
penggunaan aset setiap periodenya.
Metode penyusutan aset yang diakui dalam Standar Akuntansi Pemerintahan terbagi menjadi 3, yakni metode garis lurus (straightline method), metode saldo menurun ganda (double declining method), dan metode unit produksi (unit of production method). Dalam penyusunan LKPP, metode penyusutan yang digunakan adalah metode penyusutan garis lurus. Metode penyusutan garis lurus merupakan metode penyusutan paling simpel diantara ketiganya. Beban penyusutan setiap periode dicatat dalam transaksi penyesuaian, besarannya selalu sama. Rumus perhitungan metode penyusutan garis lurus adalah sebagai berikut:
PENYUSUTAN = (Nilai Aset - Nilai Sisa Aset) / Masa Manfaat Aset
Dari penjelasan di atas, ada tiga
faktor yang menentukan besaran penyusutan yang harus dicatat tiap periodenya,
yakni nilai aset tetap, nilai sisa aset dan masa manfaat aset. Nilai aset tetap
didapat dari biaya perolehan aset tetap sampai dapat digunakan/dimanfaatkan. Apabila
nilai perolehan suatu aset tidak dapat diketahui maka nilai aset dalam neraca
dicatat berdasarkan nilai wajarnya.
Sedangkan Nilai sisa adalah jumlah
neto yang diperkirakan dapat diperoleh pada akhir masa manfaat aset setelah
dikurangi taksiran biaya pelepasan. Di dalam LKPP,
nilai sisa tidak diakui karena penggunaan aset semata-mata hanya untuk
melaksanakan tugas dan fungsi pemerintah sampai akhir masa manfaat, tidak ada
tujuan untuk dilakukan penjualan.
Untuk masa manfaat aset sendiri merupakan
perkiraan jangka waktu aset dipergunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi
pemerintah. Masa manfaat aset tetap pemerintah pusat secara detail diatur
dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 295/KM.06/2017 tentang Tabel Masa
Manfaat dalam Rangka Penyusutan Barang Milik Negara Berupa Aset Tetap pada
Entitas Pemerintah Pusat.
Pada transaksi penyesuaian penyusutan aset, akan terbentuk dua akun yakni beban penyusutan dan akumulasi penyusutan aset. Beban penyusutan berada di bagian debit sedangkan akumulasi penyusutan aset berada di sisi kredit. Beban penyusutan aset akan diposting dalam laporan operasional bersama beban lainnya dan disandingkan dengan penerimaan. Sedangkan akumulasi penyusutan akan diposting pada neraca, gunanya untuk mengurangi nilai aset tetap agar aset dalam neraca terlihat nilai bukunya. Nilai akumulasi aset tetap pada neraca bersifat gabungan dari seluruh aset tetap. Untuk mengetahui akumulasi penyusutan aset tetap masing-masing kelompok dapat dilihat pada catatan atas laporan keuangan.
Tanah dan konstruksi dalam
pengerjaan tidak dilakukan penyusutan aset karena dipersepsikan nilainya akan
selalu naik, sehingga tidak relevan apabila dilakukan penyusutan aset setiap
periode. Perhitungan penyusutan aset berjalan akan mengalami perubahan apabila
ada penambahan nilai aset hasil dari renovasi/perbaikan yang menambah masa
manfaat atau kapasitas aset serta nilainya di atas nilai kapitalisasi yang
ditentukan.
Penyusutan aset tetap dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan keputusan pengelolaan aset, baik dari sisi pengadaan ataupun pemindahtanganan/penghapusan. Apabila ada aset yang nilai bukunya sudah mendekati 0 (nol) maka itu merupakan sinyal bagi pengguna barang untuk mempertimbangkan pengadaan aset yang baru dan kemudian melakukan pemindahtangan/penghapusan pada aset yang lama. Namun dalam mengambil keputusan harus lebih cermat, karena nilai buku tidaklah selalu mencerminkan kondisi sebenarnya aset di lapangan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya perhitungan penyusutan aset didasarkan pada perkiraan masa manfaat aset tersebut. Sangat dimungkinan saat nilai buku aset sudah nol, namun fisik aset masih bagus dan masih layak untuk menunjang tugas dan fungsi pemerintah, begitu juga dapat berlaku sebaliknya. (Wisnu Herjuna-KPKNL Surakarta)