Jika ditanya
mengenai apa saja kebutuhan pokok manusia, tentu kita akan menjawab bahwa
terdapat 3 (tiga) kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan, dan papan. Sandang
merupakan kebutuhan pokok manusia berupa pakaian, pangan merupakan kebutuhan
pokok manusia yang berkaitan dengan makanan dan minuman, dan papan merupakan
kebutuhan pokok manusia yang berkaitan dengan tempat tinggal. Kita semua bisa
sepakat bahwa untuk menjalani sebuah kehidupan yang aman dan nyaman, manusia
perlu memenuhi ketiga kebutuhan pokok tersebut.
Kebutuhan pokok
berupa sandang dan pangan relatif mudah didapatkan dan terpenuhi, namun berbeda
halnya dengan kebutuhan pokok berupa papan. Survei yang dilakukan PT Bank
Tabungan Negara (BTN) pada
tahun 2021 mendapati alasan milenial belum membeli rumah
pertama mereka karena terhalang oleh kondisi finansial sebesar 63,1 persen.
Padahal, hasil sensus penduduk tahun 2020 menunjukkan bahwa generasi milenial
menempati 25,87 persen dari populasi penduduk Indonesia, terbesar kedua setelah dominasi
Generasi Z dengan proporsi 27,94 persen dari total populasi. Generasi milenial
sendiri merupakan generasi kelahiran 1981 sampai dengan 1996 yang saat ini
sudah memasuki usia produktif. Hal ini menunjukkan fenomena tingginya harga
properti berupa tanah dan rumah tinggal yang tidak sebanding dengan rata-rata penghasilan
yang didapatkan oleh generasi milenial.
Tingginya harga
tanah dan rumah tinggal mungkin tidak terlepas dari kebiasaan generasi
sebelumnya yang menimbun kepemilikan tanah dan/atau bangunan dengan mindset untuk investasi. Alhasil,
tingginya permintaan dan kebutuhan akan tanah dan rumah tinggal tidak diimbangi
dengan penawaran dan ketersediaan yang mencukupi sehingga secara prinsip ekonomi
akan menaikkan harga tanah dan bangunan tersebut. Padahal, menimbun kebutuhan
pokok lain seperti bahan pangan merupakan tindakan melawan hukum dan larangan
serta sanksinya telah diatur dengan tegas di dalam undang-undang, namun tidak
demikian halnya dengan kebutuhan pokok berupa papan. Didasari atas fenomena
ini, timbul pemikiran perlukah membatasi kepemilikan tanah/bangunan untuk
mengontrol harga dan mendorong distribusi kepemilikan properti yang lebih
merata?
Pembatasan yang
berlaku saat ini terhadap kepemilikan rumah tinggal sebenarnya sudah diatur
dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6
Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal.
Keputusan Menteri tersebut mengatur bahwa setiap orang hanya boleh memiliki Hak Milik
atas tanah untuk rumah tinggal tidak lebih dari 5 (lima) bidang tanah yang seluruhnya
meliputi luas tidak lebih dari 5.000m2 (lima ribu meter persegi).
Pembatasan ini menurut penulis masih terlalu longgar mengingat ketersediaan
tanah yang terbatas dan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Belum lagi,
jika satu orang sudah memiliki lima bidang Hak Milik, maka tetap dapat
mengajukan Hak Milik lain dengan nama istri, anak, atau keluarga lainnya.
Padahal, satu rumah tinggal saja sudah cukup untuk ditempati satu keluarga yang
terdiri dari beberapa orang. Oleh karena itu, menurut penulis akan lebih masuk
akal dan fair jika kepemilikan tanah
untuk rumah tinggal dibatasi per keluarga yang dapat diidentifikasi dengan nomor
kartu keluarga (KK).
Berkaca dari
permasalahan yang sudah penulis jabarkan di atas, kiranya perlu ditinjau
kembali apakah aturan pembatasan kepemilikan tanah untuk rumah tinggal tersebut
masih relevan dengan kondisi saat ini. Menimbang bahwa aturan yang berlaku saat
ini adalah produk hukum yang sudah berusia 24 tahun, maka sudah selayaknya
dirumuskan peraturan baru yang lebih adil dan relevan dengan kondisi saat ini
serta berkesinambungan untuk generasi berikutnya. Hal ini pun menjadi penting
dan urgen mengingat rumah tinggal merupakan kebutuhan manusia yang paling mendasar
untuk dapat menjalani kehidupan dengan layak, dan pemerintah bertanggung jawab
untuk menjamin penghidupan yang layak tersebut sesuai amanat Pasal 27 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945.
Penulis : Arlie Irham Yusdika (Pegawai KPKNL Singkawang)