“Salah
satu indikator kemajuan suatu negara bisa dilihat dari sungainya. Jika sungainya bersih, maka negara itu bisa
dikatakan sebagai negara maju”.
Demikian
pendapat seorang kawan pada suatu waktu ketika bercakap-cakap dengan penulis. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa di
negara-negara maju, sungai-sungainya terpelihara dengan baik. Dan tahukah Anda bahwa tanggal 27 Juli
diperingati sebagai Hari Sungai Nasional, serta 28 Juli merupakan World
Nature Conservation Day atau Hari Konservasi Alam Sedunia? Sungguh suatu
peringatan yang berkaitan satu dengan yang lain.
Di
masa pandemi Covid-19 ini, penggunaan air semakin meningkat karena kita harus
sering mencuci tangan dan membersihkan tubuh dengan air dalam rangka mencegah
penularan virus penyebab penyakit Covid-19.
Demikian juga dengan sampah yang semakin banyak, terutama sisa
penggunaan masker sekali pakai dan limbah lainnya. Tulisan ini tentu saja tidak menganjurkan
untuk tidak melakukan upaya mencuci tangan dan membersihkan tubuh dengan baik
selama masa pandemi, namun penggunaan air harus dilakukan dengan bijak.
Berbicara
mengenai sungai dan konservasi alam tentu berkaitan erat juga dengan air. Sebagaimana dikutip dari https://www.friendsoftheriver.org,
hanya 3 persen air di bumi merupakan air
tawar dan dari 3 persen tersebut, 2/3-nya merupakan gletser (glacier) dan
lapisan es di kutub (polar ice caps). Ini berarti hanya 1 persen dari seluruh air
tawar di bumi yang langsung dapat digunakan atau dikonsumsi.
Sungai
merupakan sumber kehidupan. Namun
sayangnya, di Indonesia sudah banyak sungai yang tercemar dan mengalami
pendangkalan. Hal tersebut terjadi bukan
hanya pada sungai yang melewati wilayah perkotaan, pun sungai pada daerah
pedalaman juga mengalaminya. Berbagai tindakan
dan gerakan penyelamatan sungai telah dilakukan, baik berupa gerakan sungai
bersih dari masyarakat, maupun upaya penataan Daerah Aliran Sungai oleh
pemerintah. Sungai yang tercemar akan
mempengaruhi kehidupan di sekitarnya, bahkan dapat menimbulkan berbagai bencana
seperti banjir ketika musim hujan datang.
Akan
tetapi, kebersihan sungai sebagai hasil gerakan atau tindakan tersebut kadang
tidak berlangsung lama, lambat laun sungai kembali kotor. Oleh karena itu, perlu dipikirkan akar
permasalahan mengapa sungai yang sudah dibersihkan kembali kotor.
Apabila
ditelisik lebih lanjut, akar permasalahan terletak pada pola pikir atau mindset
yang berpengaruh pada kepedulian dan kesadaran manusia. Masih rendahnya
kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan sungai menjadi problematika utama
mengapa sungai selalu tercemar. Oleh
karena itu, dalam menangani permasalahan kebersihan sungai perlu dilakukan
edukasi kepada masyarakat dan menyentuh akar budaya atau kultural masyarakat, termasuk
religi disamping tentu saja penerapan aturan dan kebijakan yang tegas dan
mendukung penuh.
Upaya
edukasi perlu dilakukan kepada masyarakat dari sejak usia dini dengan
mengajarkan anak-anak agar menghemat penggunaan air. Sebagai contoh sederhana,
apabila mencuci tangan atau mencuci piring, maka matikan kran air sewaktu sedang
meratakan sabun di tangan atau di piring. Menurut laman idea.grid.id, satu tetes
air yang terbuang dapat mencapai 2.400 galon air per tahun. Oleh karena itu bayangkan air yang terbuang
apabila kita tidak menggunakan air dengan bijak saat mencuci tangan atau piring
dan melakukan kegiatan lainnya.
Kemudian
buanglah sampah pada tempatnya. Tentu
akan lebih baik lagi apabila dilakukan upaya pemilahan terhadap sampah yang
kita hasilkan. Hal ini seharusnya lebih didukung oleh pemerintah dengan
menyediakan sarana dan prasarana terkait pemilahan dan pengolahan sampah.
Secara
kultural, sebenarnya masyarakat Indonesia sudah memiliki budaya dan kearifan
lokal yang mendukung upaya konservasi tanah dan air. Hanya saja, hal tersebut
makin terlupakan seiring berjalannya waktu.
Oleh karena itu, perlu meningkatkan partisipasi masyarakat dengan
memberikan penyuluhan dan pelatihan guna membangun kesadaran atas pelestarian
sumber daya air dan tanah. Demikian juga
pendekatan melalui religi atau agama, tentunya agama-agama di Indonesia
mengajarkan agar manusia senantiasa menjaga alam dengan baik. Untuk itu, peran serta pemuka agama dan juga
pemuka adat sangat besar dalam menggugah kesadaran masyarakat dalam menjaga
lingkungan.
Upaya-upaya
tersebut apabila diterapkan secara konsisten tentu akan berdampak pada
kebersihan sungai dan konservasi alam di sekitar kita. Berita baiknya, air merupakan sumber daya
yang dapat diperbaharui, tentu saja dengan catatan apabila manusia melakukan
langkah-langkah yang tepat untuk melestarikannya. Oleh karena itu, upaya konservasi alam dapat
dimulai dari diri sendiri dan dimulai sedikit demi sedikit dari langkah kecil
terlebih dahulu untuk dapat menginspirasi orang lain. Ingatlah bahwa memberi contoh yang baik
adalah dengan melakukan aksi nyata.
Penulis
: Retno Nur Indah (Kasi HI KPKNL Singkawang)
Foto:
1. Danau
di Batu Bintang, copyright Velient Vinandha
2. Sungai
Eria di Bengkayang, copyright Arifatul Faizah.
Daftar
Pustaka:
1. https://www.friendsoftheriver.org/2016/01/28/551/
2. https://media.neliti.com/media/publications/175293-ID-mengangkat-budaya-dan-kearifan-lokal-dal.pdf
3. https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-01293698/menumbuhkan-kesadaran-menjaga-sungai-harus-menyentuh-edukasi-dan-kultural
4. https://idea.grid.id/read/091833148/jangan-biarkan-1-tetes-air-terbuang-percuma-di-rumah-begini-cara-hemat-air-saat-mencuci-tangan?page=all