Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Singaraja > Artikel
Eksepsi, Alat Bantu Penanganan Perkara Dalam Menangkis Gugatan Cacat Formil
Muhammad Ary Hendrawan
Senin, 03 Oktober 2022   |   23938 kali

Dalam melaksanakan hukum acara perdata, para Tergugat diberikan kesempatan untuk menyampaikan Eksepsi atas Gugatan yang diberikan oleh Penggugat, sesuai dengan pasal 125 ayat (2), pasal 133, pasal 134 dan pasal 136 Herzien InlandschReglement (HIR). Eksepsi dalam hukum acara memiliki makna bantahan atau tangkisan dari pihak Tergugat atas gugatan Penggugat yang tidak menyinggung gugatan terhadap pokok perkara (verweer ten principale) tetapi ditujukan atas hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan. Eksepsi diajukan agar pengadilan mengakhiri proses pemeriksaan tanpa memeriksa materi pokok perkara, memotong waktu berperkara yang terkesan lama, dan pengadilan dapat menjatuhkan putusan negative yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima(Niet Ontvankelijk/NO).  Maka untuk dinyatakan NO Tergugat dapat menggunakan salah satu maupun beberapa eksepsi dari jenis-jenis eksepsi,meliputi:

1.    Eksepsi Formal / Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie) adalah jenis eksepsi yang berkaitan dengan syarat formil gugatan dan dibagi menjadi dua jenis, yakni eksepsi kompetensi absolut dan eksepsi kompetensi relatif,

 

a.    Eksepsi Kompetensi Absolut : Eksepsi kompetensi absolut berhubungan dengan pembagian kekuasaan badan-badan peradilan seperti peradilan umum, peradilan agama,peradilan militer atau peradilan tata usaha negara untuk memeriksa sebuah perkara. Berdasarkan pasal 134 HIR dan pasal 132 Rv, Tergugat dapat mengajukan eksepsi absolut setiap saat, sejak proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan hakim dijatuhkan. Hal ini tidak terbatas hanya pada pengadilan tingkat pertama melainkan juga dapat diajukan pada tingkat banding dan kasasi. Hakim secara ex officio wajib menyatakan tidak berwenang mengadili secara absolut bilamana perkara yang diajukan memang secara absolut berada di luar yuridiksinya atau termasuk lingkup kewenangan peradilan lain.

 

b.    Eksepsi Kompetensi Relatif: sesuai pasal 118 HIR, eksepsi kompetensi relative menjelaskan wewenang atas wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama, dan dapat berubah berdasarkan domisili atau tempat tinggal para pihak (disributie van rechtsmacht). Berbeda dengan eksepsi kompetensi absolut yang dapat diajukan kapan saja, pada eksepsi kompetensi relatif dan eksepsi lainnya pengajuannya harus disampaikan pada sidang pertama dan diajukan bersama dengan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Bilamana tergugat tidak mengajukan eksepsi tersebut pada saat penyerahan jawaban, maka hilang hak tergugat untuk mengajukannya pada sidang dan jawaban berikutnya. Adapun beberapa contoh mengenai Eksepsi Kompetensi Relatif:

 

·       Actor sequitur forum rei (forum domicile) : Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili sengketa adalah Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat tergugat bertempat tinggal.

·       Forum rei sitae : Jika objek sengketa terdiri dari benda tidak bergerak, sengketa jatuh menjadi kewenangan relatif Pengadilan Negeri di tempat barang itu terletak.

·       Domisili pilihan: Para pihak boleh menyepakati salah satu Pengadilan Negeri yang diberi wewenang secara relatif untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka. Dalam hal demikian, terdapat dua kompetensi relatif yang dapat dimanfaatkan, yaitu: dapat berdasarkan patokan actor sequitur forum rei, atau dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang dipilih berdasarkan kesepakatan domisili pilihan.

 

2.    Eksepsi Formal/ Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie) di Luar Eksepsi Kompetensi: dalam Eksepsi formal terdapat Eksepsi di luar Eksepsi Kompetensi dan paling sering diajukan dalam praktiknya, meliputi:

 

a.   Eksepsi ObscuurLibel

 

Eksepsi Obscuurlibel adalah bantahan yang menyatakan gugatan yang diajukan penggugat merupakan gugatan kabur. M.Yahya Harahap juga menjelaskan pengertian obscuur libel memiliki makna surat gugatan penggugat isinya gelap (onduidelijk). Padahal agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil, dalil gugatan harus terang dan jelas atautegas (duidelijk). Hal ini terjadi dikarenakan 4 hal, yaitu:

·       salah satu maupun seluruh dasar hukum gugatan tidak jelas;

·       objek sengketa gugatan tidak jelas;

·       perincian petitum gugatan tidak jelas;

·       Posita dan petitum gugatan tidak relevan dan atau saling bertentangan.

 

Berikut merupakan contoh beberapa Putusan MA terkait eksepsi obscuur libel:

·       Putusan MA No. 582K/Sip/1973 tanggal 11 November 1975 yang menyatakan:

“Petitum gugatan meminta: 1) menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, 2) menghukum tergugat supaya berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah tersebut. Namun hak apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat ingin ditetapkan sebagai pemilik, pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga petitum berikutnya, tidak jelas tindakan apa yang dihentikan tergugat. MA berpendapat, oleh karena petitum gugatan tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.”

·       Putusan MA No. 1149K/SIP/1979 tanggal 17 April 1979 yang menyatakan:

“Bila tidak jelas batas-batas tanah sengketa, maka gugatan tidak dapat diterima.”

·       Putusan Ma No. 81K/SIP/1971 tanggal 9 Juli 1973 yang menyatakan:

“Dipertimbangkan berdasarkan pemeriksaan setempat oleh Pengadilan Negeri atas perintah Mahkamah Agung, tanah yang dikuasai tergugat ternyata tidak sama batas-batas dan luasnya dengan yang tercantum dalam gugatan, oleh karena itu gugatan tidak dapat diterima.”

 b.  Eksepsi NeBis In Idem / Rei Judicatie

Ne Bis In Idem dalam Pasal 1917 KUH Perdata, apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap,maka dalam putusan melekat ne bis in idem. Oleh karena itu,terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya.

 Bahwa dari uraian Pasal 1917 KUH Perdata dapat dilihat syarat-syarat yang termuat didalamnya, yakni:

·       apa yang digugat sudah pernah diperkarakan sebelumnya;

·       terhadap perkara terdahulu, telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap;

·       perkara yang disengketakan dalam putusan tersebut telah berakhir dengan tuntas;

·       subjek atau pihak yang berperkara adalah sama; dan

·       obyek yang digugat adalah sama.

Adapun syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu diantaranya tidak terpenuhi maka pada putusan tersebut tidak melekat asas ne bis inidem.

Adapun contoh yurisprudensi Putusan maupun Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai berikut:

·       Yurisprudensi MA.RI tentang ne bis in idem, YMA No. 1226 K/Pdt/2001, Tanggal 20 Mei 2002. Kaidah Hukum dari yurisprudensi tersebut adalah meski kedudukan subyeknya berbeda, tetapi obyek sama dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan Ne bis In Idem. Dalam setiap putusan,perlu memperhatikan tiga hal yang sangat esensial yaitu unsur keadilan, unsur kemanfaatan dan unsur kepastian hukum. Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya. Pada tahap pelaksanaan dari pada putusan ini, maka akan diperoleh suatu putusan yang in kracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap). Terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, terkadang seseorang yang merasa haknya dilanggar akan menggugat kembali suatu perkara yang sebelumnya sudah digugatnya, walaupun dengan subyek yang berbeda tetapi dengan obyek yang sama. Dalam hal ini dibutuhkan ketelitian seorang hakim dalam menilai apakah perkara yang diajukan tersebut masuk kategori Ne bis In Idem.

 

·       Penerapan asas Ne bis in idem ini menjadi perhatian Mahkamah Agung dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang berkaitan dengan Asas ne bis in idem, pada pokoknya kepada hakim-hakim agar memperhatikan dan menerapkan asas nebis in idem dengan baik untuk menjaga kepastian hukum bagi pencari keadilan, hal itu juga bertujuan agar tidak terjadi putusan yang berbeda. Demikian pula terdapat beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang dapat dijadikan landasan menyatakan gugatan adalah ne bis in idem. Mahkamah Agung melalui Putusan pada tingkat kasasi No. 647/K/sip/1973 yang menyatakan :”Ada atau tidaknya asas ne bis in idem tidak semata-mata ditentukan oleh para pihak saja, melainkan terutama bahwa obyek dari sengketa sudah diberi status tertentu oleh keputusan Pengadilan yang lebih dulu dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012, pada angka Romawi XVII. Tentang Ne bis In Idem, diatur sebagai berikut menyimpangi ketentuan Pasal 1917 KUHPerd Majelis Kasasi dapat menganggap sebagai Nebis In Idem meskipun pihaknya tidak sama persis dengan perkara terdahulu asalkan pada prinsipnya pihaknya sama meskipun ada penambahan pihak. status objek perkara telah ditentukan dalam putusan terdahulu.

 

·       Putusan Mahkamah Agung RI No. 1456 K/Sip/1967, tanggal 6 Desember 1969 menyatakan “Hakikat dari asas hukum ne bis in idem adalah bahwa baik para pihak yang berperkara (subject) maupun barang yang disengketakan (object) dalam gugatan perdata tersebut adalah sama.”

 

·       Putusan Mahkamah Agung RI No. 1226 K/Sip/2001, tanggal 2002 menyatakan “Meski kedudukan subjeknya berbeda tetapi objeknya sama dengan perkara yang telah diputus terhahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan ne bis in idem.”

 

c.      Eksepsi error in persona 

 

Yahya Harahap dalam bukunya mengklasifikasikan error in persona sebagai berikut:

·       Diskualifikasi in Person, yang terjadi apabila yang bertindak sebagai penggugat adalah orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi) karena penggugat dalam kondisi berikut:

 

a.Tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan Gugatan diajukan oleh pihak yang tidak memiliki hak, tidak punya syarat atau tidak berhak. Misal, orang yang tidak ikut dalam perjanjian namun bertindak sebagai penggugat menuntut pembatalan perjanjian.

 

b.Tidak cakap melakukan tindakan hukum

Pihak yang masih dibawah umur atau di bawah perwalian tidak cakap melakukan tindakan hukum. Oleh karena itu, mereka tidak dapat bertindak sebagai penggugat tanpa bantuan orangtua atau wali.

·       Keliru orang yang ditarik sebagai Tergugat (gemis aanhoeda nigheid), akan muncul jika bahwa objek Penggugat keliru dengan menarik Tergugat ke dalam gugatan.

 

·       Gugatan Kurang Pihak (pluriumlitis consortium), jika masih terdapat pihak yang bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus bertindak sebagai penggugat atau ditarik tergugat.

3.    Eksepsi Materiil : dalam mengajukan bantahan kepada gugatan penggugat, Tergugat dapat mengajukan bantahan yang berkaitan dengan ketentuan hukum materiilnya, Adapun jenis eksepsi material dibagi menjadi 2 yakni :

a.   Eksepsi dilatoir

yaitu eksepsi yang terjadi dikeranakan gugatan yang diajukan oleh Penggugat masih prematur yang disebabkan karena penundaan pembayaran oleh kreditur atau berdasarkan kesepakatan antara kreditur dengan debitur.

b.   Eksepsi peremptoir

yaitu eksepsi yang menghalangi dikabulkannya gugatan dikarenakan masalah yang tidak dapat diperkirakan meliputi, gugatan telah diajukan lampau waktu, dengan perkataan lain telah daluwarsa (exceptiotemporis), perjanjian yang dilakukan mengandung unsur penipuan (exceptiodoli mali), maupun Si Penggugat sendiri tidak melakukan prestasinya (exceptio non adimpleticontractus).

Putusan NO akan menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena gugatannya mengandung cacat formil atau tidak jelas. Ini artinya, gugatan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh hakim untuk diperiksa dan diadili. Atas putusan seperti ini, memang tidak ada yang bisa dieksekusi karena pokok perkara tidak dapat diperiksa. Serta pada putusan yang dijatuhkan harus dengan jelas dan tegas mencantumkan dalam amar putusan:

“Menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima (niet ontvankelijke verklaard/NO)”

Dan menyebabkan jumlah perkara yang ditangani berkurang satu dan perkara pun dinyatakan selesai.

Sumber:

1.KUHPerdata

2.M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”

3.Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata Indonesia”

4.I Nyoman S.S. “Syarat Materil dan Formal Gugatan Rekonvensi dalam PerkaraPerdata 1” Lex Privatum, Vol III/No.2/Apr-Jun/2015

5. Biro Advokasi Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, "Buku 3 Penanganan Perkara Perdata Pada Tingkat Pertama"

6. www.hukumonline.com

7. www.hukumacaraperdata.com

8. Putusan Pengadilan

9. www.fjp-law.com

10. www.irmangenotip.blogspot.com

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Foto Terkait Artikel
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini