Dalam melaksanakan hukum acara perdata,
para Tergugat diberikan kesempatan untuk menyampaikan Eksepsi atas Gugatan yang
diberikan oleh Penggugat, sesuai dengan pasal 125 ayat (2), pasal 133, pasal 134
dan pasal 136 Herzien InlandschReglement (HIR). Eksepsi dalam hukum acara
memiliki makna bantahan atau tangkisan dari pihak Tergugat atas gugatan
Penggugat yang tidak menyinggung gugatan terhadap pokok perkara (verweer ten
principale) tetapi ditujukan atas hal-hal yang menyangkut syarat-syarat
atau formalitas gugatan. Eksepsi diajukan agar pengadilan mengakhiri proses
pemeriksaan tanpa memeriksa materi pokok perkara, memotong waktu berperkara
yang terkesan lama, dan pengadilan dapat menjatuhkan putusan negative yang
menyatakan gugatan tidak dapat diterima(Niet Ontvankelijk/NO).
Maka untuk dinyatakan NO Tergugat dapat menggunakan salah satu maupun
beberapa eksepsi dari jenis-jenis eksepsi,meliputi:
a. Eksepsi Kompetensi Absolut : Eksepsi kompetensi absolut berhubungan
dengan pembagian kekuasaan badan-badan peradilan seperti peradilan umum,
peradilan agama,peradilan militer atau peradilan tata usaha negara untuk
memeriksa sebuah perkara. Berdasarkan pasal 134 HIR dan pasal 132 Rv, Tergugat
dapat mengajukan eksepsi absolut setiap saat, sejak proses pemeriksaan dimulai
sampai sebelum putusan hakim dijatuhkan. Hal ini tidak terbatas hanya pada
pengadilan tingkat pertama melainkan juga dapat diajukan pada tingkat banding
dan kasasi. Hakim secara ex officio wajib menyatakan tidak berwenang
mengadili secara absolut bilamana perkara yang diajukan memang secara absolut
berada di luar yuridiksinya atau termasuk lingkup kewenangan peradilan lain.
b. Eksepsi Kompetensi Relatif: sesuai pasal 118 HIR, eksepsi kompetensi relative
menjelaskan wewenang atas wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan
peradilan yang sama, dan dapat berubah berdasarkan domisili atau tempat tinggal
para pihak (disributie van rechtsmacht). Berbeda dengan eksepsi
kompetensi absolut yang dapat diajukan kapan saja, pada eksepsi kompetensi
relatif dan eksepsi lainnya pengajuannya harus disampaikan pada sidang pertama
dan diajukan bersama dengan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara.
Bilamana tergugat tidak mengajukan eksepsi tersebut pada saat penyerahan
jawaban, maka hilang hak tergugat untuk mengajukannya pada sidang dan jawaban
berikutnya. Adapun beberapa contoh mengenai Eksepsi Kompetensi Relatif:
· Actor sequitur forum rei (forum
domicile) : Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili sengketa
adalah Pengadilan
Negeri di daerah hukum tempat tergugat bertempat tinggal.
· Forum rei sitae : Jika objek
sengketa terdiri dari benda
tidak bergerak, sengketa jatuh menjadi kewenangan relatif Pengadilan Negeri
di tempat barang itu terletak.
· Domisili pilihan: Para pihak boleh
menyepakati salah satu Pengadilan Negeri yang diberi wewenang secara relatif
untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka. Dalam hal demikian,
terdapat dua kompetensi relatif yang dapat dimanfaatkan, yaitu: dapat berdasarkan
patokan actor sequitur forum rei, atau dapat diajukan ke Pengadilan
Negeri yang dipilih berdasarkan kesepakatan domisili pilihan.
a. Eksepsi ObscuurLibel
Eksepsi Obscuurlibel adalah
bantahan yang menyatakan gugatan yang diajukan penggugat merupakan gugatan
kabur. M.Yahya Harahap juga menjelaskan
pengertian obscuur libel memiliki makna surat gugatan penggugat isinya gelap (onduidelijk). Padahal agar
gugatan dianggap memenuhi
syarat formil, dalil gugatan harus terang dan jelas atautegas (duidelijk). Hal ini terjadi dikarenakan 4 hal, yaitu:
· salah satu maupun seluruh dasar hukum gugatan tidak jelas;
· objek sengketa gugatan tidak jelas;
· perincian petitum gugatan tidak
jelas;
· Posita dan petitum gugatan tidak relevan dan atau saling bertentangan.
Berikut merupakan contoh beberapa Putusan MA terkait eksepsi obscuur
libel:
· Putusan MA No. 582K/Sip/1973 tanggal 11 November 1975 yang
menyatakan:
“Petitum gugatan meminta: 1)
menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, 2) menghukum tergugat supaya
berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah tersebut. Namun hak apa yang
dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat ingin ditetapkan sebagai pemilik,
pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga petitum berikutnya, tidak jelas
tindakan apa yang dihentikan tergugat. MA berpendapat, oleh karena petitum
gugatan tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.”
· Putusan MA No. 1149K/SIP/1979 tanggal 17 April 1979 yang
menyatakan:
“Bila tidak jelas batas-batas
tanah sengketa, maka gugatan tidak dapat diterima.”
· Putusan Ma No. 81K/SIP/1971 tanggal 9 Juli 1973 yang menyatakan:
“Dipertimbangkan berdasarkan
pemeriksaan setempat oleh Pengadilan Negeri atas perintah Mahkamah Agung,
tanah yang dikuasai tergugat ternyata tidak sama batas-batas dan luasnya dengan yang
tercantum dalam gugatan, oleh karena itu gugatan tidak dapat diterima.”
b. Eksepsi NeBis In Idem / Rei Judicatie
Ne Bis In
Idem dalam Pasal 1917 KUH Perdata, apabila putusan
yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak untuk
mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap,maka
dalam putusan melekat ne bis in idem. Oleh karena itu,terhadap
kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya.
Bahwa dari uraian Pasal 1917 KUH Perdata dapat dilihat
syarat-syarat yang termuat didalamnya, yakni:
· apa yang digugat sudah pernah diperkarakan sebelumnya;
· terhadap perkara terdahulu, telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum
tetap;
· perkara yang disengketakan dalam putusan tersebut telah berakhir dengan tuntas;
· subjek atau pihak yang berperkara adalah sama; dan
· obyek yang digugat adalah sama.
Adapun syarat-syarat tersebut bersifat
kumulatif sehingga apabila salah satu diantaranya tidak terpenuhi
maka pada putusan tersebut tidak melekat asas ne bis inidem.
Adapun contoh yurisprudensi Putusan maupun Surat Edaran Mahkamah Agung
Republik Indonesia sebagai berikut:
· Yurisprudensi MA.RI tentang ne bis in idem, YMA No. 1226 K/Pdt/2001, Tanggal 20 Mei
2002. Kaidah Hukum dari yurisprudensi tersebut adalah meski kedudukan subyeknya
berbeda, tetapi obyek sama
dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka
gugatan dinyatakan Ne bis In Idem. Dalam setiap putusan,perlu memperhatikan
tiga hal yang sangat esensial yaitu unsur keadilan, unsur kemanfaatan dan
unsur kepastian hukum. Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang
diajukan kepadanya. Pada tahap pelaksanaan dari pada putusan ini, maka akan
diperoleh suatu putusan yang in kracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap).
Terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, terkadang seseorang yang
merasa haknya dilanggar akan menggugat kembali suatu perkara yang sebelumnya
sudah digugatnya, walaupun dengan subyek yang berbeda tetapi dengan obyek yang
sama. Dalam hal ini dibutuhkan ketelitian seorang hakim dalam menilai apakah
perkara yang diajukan tersebut masuk kategori Ne bis In Idem.
· Penerapan asas Ne bis in idem ini menjadi perhatian Mahkamah Agung dengan diterbitkannya
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang
berkaitan dengan Asas ne bis in idem, pada pokoknya kepada hakim-hakim agar
memperhatikan dan menerapkan asas nebis in idem dengan baik untuk menjaga
kepastian hukum bagi pencari keadilan, hal itu juga bertujuan agar tidak terjadi
putusan yang berbeda. Demikian pula terdapat beberapa yurisprudensi Mahkamah
Agung RI yang dapat dijadikan landasan menyatakan gugatan adalah ne bis in idem.
Mahkamah Agung melalui
Putusan pada tingkat kasasi No. 647/K/sip/1973 yang menyatakan :”Ada atau
tidaknya asas ne bis in idem tidak semata-mata ditentukan oleh para pihak saja, melainkan
terutama bahwa obyek dari sengketa sudah diberi status tertentu oleh
keputusan Pengadilan yang lebih dulu dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012, pada angka Romawi XVII.
Tentang Ne bis In Idem, diatur sebagai berikut menyimpangi ketentuan Pasal
1917 KUHPerd Majelis Kasasi dapat menganggap sebagai Nebis In Idem meskipun
pihaknya tidak sama persis dengan perkara terdahulu asalkan pada prinsipnya
pihaknya sama meskipun ada penambahan pihak. status objek perkara telah ditentukan
dalam putusan terdahulu.
· Putusan Mahkamah Agung RI No. 1456 K/Sip/1967, tanggal 6 Desember 1969 menyatakan
“Hakikat dari asas hukum ne bis in idem adalah bahwa baik para pihak yang berperkara
(subject) maupun barang yang disengketakan (object) dalam gugatan perdata
tersebut adalah sama.”
· Putusan Mahkamah Agung RI No. 1226 K/Sip/2001, tanggal 2002 menyatakan “Meski kedudukan
subjeknya berbeda tetapi objeknya sama dengan perkara yang telah diputus
terhahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan ne bis in idem.”
c. Eksepsi error in persona
Yahya Harahap dalam bukunya mengklasifikasikan error in persona sebagai berikut:
· Diskualifikasi in Person, yang terjadi apabila yang bertindak sebagai penggugat adalah
orang yang tidak
memenuhi syarat (diskualifikasi) karena penggugat dalam kondisi berikut:
a.Tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan Gugatan diajukan
oleh pihak yang tidak memiliki
hak, tidak punya syarat atau tidak berhak. Misal, orang yang tidak ikut dalam perjanjian namun bertindak sebagai
penggugat menuntut pembatalan perjanjian.
b.Tidak cakap melakukan tindakan hukum
Pihak yang masih dibawah umur
atau di bawah perwalian tidak cakap melakukan tindakan hukum. Oleh karena itu, mereka
tidak dapat bertindak sebagai penggugat tanpa bantuan orangtua atau wali.
· Keliru orang yang ditarik sebagai Tergugat
(gemis aanhoeda nigheid), akan muncul jika bahwa objek Penggugat keliru
dengan menarik Tergugat ke dalam gugatan.
· Gugatan Kurang Pihak (pluriumlitis consortium), jika masih terdapat pihak yang bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai
tergugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus bertindak sebagai penggugat
atau ditarik tergugat.
a. Eksepsi
dilatoir
yaitu eksepsi
yang terjadi dikeranakan gugatan yang diajukan oleh Penggugat masih prematur yang disebabkan
karena penundaan pembayaran oleh kreditur atau berdasarkan kesepakatan antara
kreditur dengan debitur.
b. Eksepsi
peremptoir
yaitu eksepsi
yang menghalangi dikabulkannya gugatan dikarenakan masalah yang tidak dapat
diperkirakan meliputi, gugatan telah diajukan lampau waktu, dengan perkataan lain
telah daluwarsa (exceptiotemporis), perjanjian yang dilakukan mengandung
unsur penipuan (exceptiodoli mali), maupun Si Penggugat
sendiri tidak melakukan prestasinya (exceptio non adimpleticontractus).
Putusan NO akan menyatakan bahwa gugatan
tidak dapat diterima karena gugatannya mengandung cacat formil atau tidak jelas.
Ini artinya, gugatan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh hakim untuk diperiksa
dan diadili. Atas putusan seperti ini, memang tidak ada yang bisa dieksekusi
karena pokok perkara tidak dapat diperiksa. Serta pada putusan yang dijatuhkan
harus dengan jelas dan tegas mencantumkan dalam amar putusan:
“Menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima (niet
ontvankelijke verklaard/NO)”
Dan
menyebabkan
jumlah perkara yang ditangani berkurang satu dan perkara pun dinyatakan selesai.
Sumber:
1.KUHPerdata
2.M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata:
tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”
3.Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.
“Hukum Acara Perdata Indonesia”
4.I Nyoman S.S. “Syarat Materil dan Formal
Gugatan Rekonvensi dalam PerkaraPerdata 1” Lex Privatum, Vol
III/No.2/Apr-Jun/2015
5. Biro
Advokasi Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, "Buku 3 Penanganan
Perkara Perdata Pada Tingkat Pertama"
6. www.hukumonline.com
7. www.hukumacaraperdata.com
8. Putusan Pengadilan
9. www.fjp-law.com
10.
www.irmangenotip.blogspot.com