Dewasa ini, isu
kesetaraan gender semakin marak dikampanyekan oleh berbagai pihak dari latar
belakang yang berbeda. Mulai dari instansi pemerintahan hingga aktivis ataupun
para penggiat gender berlomba-lomba membumikan keadilan gender, baik melalui
media daring, maupun turun langsung di ruang-ruang publik. Pengarusutamaan
Gender (PUG) menjadi tema yang popular atau bahkan sebagai program yang menjadi
bagian dalam pelaksanaan tugas dan fungsi suatu instansi.
Lebih luas
lagi, komitmen dalam mewujudkan kesetaraan gender dibuktikan dengan adanya
pembahasan isu keadilan gender secara intensif pada berbagai konferensi dunia,
di antaranya Konferensi Dunia tentang perempuan di Meksiko, Kopenhagen, Nairobi,
hingga Beijing. Konferensi Dunia pada 1995 di Beijing menjadi titik balik
perjuangan dan keseriusan dunia dalam mencapai kesetaraan gender secara global.
Pada Konferensi tersebut disepakati deklarasi dan kerangka aksi yang disebut Beijing
Platform for Action (BPfA) yang kemudian diadopsi oleh 189 negara termasuk
Indonesia. Implementasi BPfA oleh setiap negara hingga skala global rutin
dilakukan review dan evaluasi setiap 5 tahun.
Lalu apakah
dengan komitmen dan keseriusan tersebut kesetaraan gender benar-benar telah
terwujud?. Secara sadar atau tidak, sebenarnya ketimpangan dan ketidakadilan
gender masih cukup banyak terjadi, baik skala nasional maupun lingkup
lingkungan kerja. Bentuk ketidakadilan gender cukup beragam, mulai dari adanya
stereotype yang keliru, kekerasan, beban ganda (double burden),
marjinalisasi, dan lain sebagainya. Namun, dalam pembahasan kali ini, Penulis akan
menitikberatkan pada kekerasan berbasis gender.
United
Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mendefinisikan Kekerasan
Berbasis Gender (KBG) sebagai kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan
atas seks atau gendernya. Bentuk perilaku tersebut meliputi kekerasan fisik,
seksual, mental, pemaksaan, ancaman, ataupun perbuatan yang membatasi kebebasan
seseorang berkaitan dengan gendernya. Dari berbagai bentuk perilaku kekerasan
berbasis gender tersebut dapat diuraikan lagi bentuk kejahatan yang mungkin
terjadi. Misalnya kekerasan seksual yang dapat melahirkan kejahatan berupa
pelecehan atau bahkan eksploitasi seksual. Atau contoh lain adalah kekerasan
mental yang dapat menyebabkan kejahatan penyebaran berita hoax dan
pencorengan nama baik yang memiliki motiv atau asumsi bias gender.
Seakan
berbanding terbalik dengan kegigihan dunia internasional dalam memerangi
ketidaksetaraan gender, kasus kekerasan berbasis gender di Indonesia tercatat
meningkat di tahun 2021 dibanding dengan tahun sebelumnya. Data pada Catatan
Tahunan Komnas Perempuan−laporan berkala kasus kekerasan berbasis gender
terhadap perempuan di tingkat nasional setiap tahunnnya−menyebutkan bahwa terjadi
peningkatan KBG hampir 50% di tahun 2022. Terhimpun sebanyak 338.496 pengaduan
kasus kekerasan berbasis gender pada tahun 2021, yang dikumpulkan melalui Badan
Peradilan Agama, lembaga-lembaga layanan, dan Komnas Perempuan sendiri. Data
tersebut mengindikasikan bahwa masih perlu perjuangan yang panjang dalam
membangun lingkungan hidup ataupun institusi yang setara gender.
Demi mencegah maraknya kekerasan berbasis gender, sudah
menjadi beban dan tanggung jawab bersama untuk memahami penyebab yang mengakari
terjadinya berbagai catatan kasus tersebut. Sebenarnya penyebab kekerasan
berbasis gender cukup beragam. Akan tetapi, tidak semua kekerasan, baik fisik
maupun mental, dapat diidentifikasi dengan mudah penyebabnya. Kadang perlu
penelahaan yang mendalam serta observasi yang intensif terhadap korban ataupun
pelaku yang berkaitan. Pada kesempatan kali ini Penulis akan menjabarkan
beberapa faktor yang seringkali menjadi “biang kerok” ketidakadilan gender yang
kemudian tidak jarang berujung pada terjadinya kekerasan berbasis gender.
Mansplaining
Mansplaining merujuk pada situasi
saat laki-laki berbicara seolah-olah mereka tahu segalanya melebihi perempuan.
Mereka kerap memberikan komentar tanpa diminta lawan bicaranya dan meremehkan
kemampuan juga pendapat perempuan. Bahkan pada berbagai kesempatan seseorang
yang melakukan mansplaining bersikap seperti sedang menggurui dan
menganggap perempuan yang menjadi lawan bicaranya tidak lebih pintar. Sikap
inilah yang seringkali menimbulkan perdepatan yang berujung pada kekerasan
mental secara online. Online harassment yang berawal dari
perdebatan di media sosial dapat berlanjut kepada pelecehan secara berulang,
ancaman langsung, ujaran kebencian, atau bahkan penghasutan terhadap kekerasan
fisik.
Toxic
Masculinity
Menurut Flood (2018), Toxic Masculinity merupakan
konsep maskulinitas yang menekankan aspek kekuatan, dominasi, superioritas,
penaklukan dan karakter lainnya yang diidentikan dengan laki-laki. Konsep yang
keliru ini berkontribusi atas ketidaksetaraan gender yang merugikan, baik
laki-laki maupun perempuan. Dampaknya bagi laki-laki adalah timbulnya paradigma
yang mengharuskan seorang laki-laki untuk membuktikan kepada dunia bahwa
dirinya tidak terlihat lemah lembut atau kurang jantan. Paradigma tersebut
menjadi konsekuensi yang seakan harus ditanggung oleh semua laki-laki walaupun
mereka tidak pernah sekalipun memiliki sikap toxic masculinity.
Sedangkan bagi perempuan, dampaknya adalah pelecehan seksual baik secara fisik
maupun mental. Hal ini disebabkan karena toxic masculinity cenderung
menyebabkan laki-laki berperilaku seksis dan patriarkis.
Lean
In
Jika toxic masculinity adalah penyebab yang muncul
dari diri laki-laki, lain halnya dengan lean in. Lean in
merupakan hambatan yang muncul dari diri perempuan dikarenakan budaya dan
pengajaran yang dilakukan terus-menerus yang senantiasa membentuk pola piker
mereka. Peran gender normatif yang kaku dan terus mendikte perempuan membuat
mereka menginternalisasi pesan-pesan yang mengatakan dirinya tidak boleh
terlalu ambisius, vokal, dan berani. Pola asuh terhadap anak perempuan memiliki
dampak yang signifikan dalam membentuk pola pikirnya ketika dewasa. Lingkungan
kerja yang masih memprioritaskan gender tertentu dalam peluang berkarir juga
memiliki andil membentuk mindset perempuan yang pesimistis dalam
mengejar karirnya pada berbagai bidang pekerjaan.
Selain beberapa
penyebab yang telah disebutkan di atas, Penulis mengutip pendapat seorang
psikolog yang juga merupakan Dosen Psikologi Unsiversitas Surabaya, Dr. N.K.
Endah Triwijati. Pada salah satu webinar nya, beliau menyampaian bahwa biasanya
pelaku kekerasan berbasis gender melakukan perbuatan tercelanya untuk
membuktikan pada dirinya dan orang lain bahwa dia punya kuasa dan mampu
mengendalikan serta mendapatkan apa yang dia mau. Beliau juga menyatakan bahwa
tidak jarang para korban tidak merasa dirinya sebagai korban dari kekerasan
berbasis gender. Maka menjadi tugas bersama untuk membangun kesadaran dan
pemahaman yang merata mengendai bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender di
berbagai bidang kehidupan. Meski terdengar cukup klasikal dan membosankan,
tetapi nyatanya sosialisasi mengenai pengarusutamaan gender mesti kembali
digalakkan.
Penulis: Fazlurrahman
Farouqi (Pelaksana Seksi Kepatuhan Internal KPKNL Pontianak)
KPKNL
Pontianak ISTIMEWA (Integritas, Sinergi,
Tawakal, Inovatif, Melayani, Efisien, Waspada, Amanah)