Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Pontianak > Artikel
Mengulas Kekerasan Berbasis Gender: Perlu atau Tabu?
Siska Nadia
Selasa, 16 Agustus 2022   |   11454 kali

Dewasa ini, isu kesetaraan gender semakin marak dikampanyekan oleh berbagai pihak dari latar belakang yang berbeda. Mulai dari instansi pemerintahan hingga aktivis ataupun para penggiat gender berlomba-lomba membumikan keadilan gender, baik melalui media daring, maupun turun langsung di ruang-ruang publik. Pengarusutamaan Gender (PUG) menjadi tema yang popular atau bahkan sebagai program yang menjadi bagian dalam pelaksanaan tugas dan fungsi suatu instansi.  

Lebih luas lagi, komitmen dalam mewujudkan kesetaraan gender dibuktikan dengan adanya pembahasan isu keadilan gender secara intensif pada berbagai konferensi dunia, di antaranya Konferensi Dunia tentang perempuan di Meksiko, Kopenhagen, Nairobi, hingga Beijing. Konferensi Dunia pada 1995 di Beijing menjadi titik balik perjuangan dan keseriusan dunia dalam mencapai kesetaraan gender secara global. Pada Konferensi tersebut disepakati deklarasi dan kerangka aksi yang disebut Beijing Platform for Action (BPfA) yang kemudian diadopsi oleh 189 negara termasuk Indonesia. Implementasi BPfA oleh setiap negara hingga skala global rutin dilakukan review dan evaluasi setiap 5 tahun.

Lalu apakah dengan komitmen dan keseriusan tersebut kesetaraan gender benar-benar telah terwujud?. Secara sadar atau tidak, sebenarnya ketimpangan dan ketidakadilan gender masih cukup banyak terjadi, baik skala nasional maupun lingkup lingkungan kerja. Bentuk ketidakadilan gender cukup beragam, mulai dari adanya stereotype yang keliru, kekerasan, beban ganda (double burden), marjinalisasi, dan lain sebagainya. Namun, dalam pembahasan kali ini, Penulis akan menitikberatkan pada kekerasan berbasis gender.

United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mendefinisikan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) sebagai kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gendernya. Bentuk perilaku tersebut meliputi kekerasan fisik, seksual, mental, pemaksaan, ancaman, ataupun perbuatan yang membatasi kebebasan seseorang berkaitan dengan gendernya. Dari berbagai bentuk perilaku kekerasan berbasis gender tersebut dapat diuraikan lagi bentuk kejahatan yang mungkin terjadi. Misalnya kekerasan seksual yang dapat melahirkan kejahatan berupa pelecehan atau bahkan eksploitasi seksual. Atau contoh lain adalah kekerasan mental yang dapat menyebabkan kejahatan penyebaran berita hoax dan pencorengan nama baik yang memiliki motiv atau asumsi bias gender.

Seakan berbanding terbalik dengan kegigihan dunia internasional dalam memerangi ketidaksetaraan gender, kasus kekerasan berbasis gender di Indonesia tercatat meningkat di tahun 2021 dibanding dengan tahun sebelumnya. Data pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan−laporan berkala kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di tingkat nasional setiap tahunnnya−menyebutkan bahwa terjadi peningkatan KBG hampir 50% di tahun 2022. Terhimpun sebanyak 338.496 pengaduan kasus kekerasan berbasis gender pada tahun 2021, yang dikumpulkan melalui Badan Peradilan Agama, lembaga-lembaga layanan, dan Komnas Perempuan sendiri. Data tersebut mengindikasikan bahwa masih perlu perjuangan yang panjang dalam membangun lingkungan hidup ataupun institusi yang setara gender.

            Demi mencegah maraknya kekerasan berbasis gender, sudah menjadi beban dan tanggung jawab bersama untuk memahami penyebab yang mengakari terjadinya berbagai catatan kasus tersebut. Sebenarnya penyebab kekerasan berbasis gender cukup beragam. Akan tetapi, tidak semua kekerasan, baik fisik maupun mental, dapat diidentifikasi dengan mudah penyebabnya. Kadang perlu penelahaan yang mendalam serta observasi yang intensif terhadap korban ataupun pelaku yang berkaitan. Pada kesempatan kali ini Penulis akan menjabarkan beberapa faktor yang seringkali menjadi “biang kerok” ketidakadilan gender yang kemudian tidak jarang berujung pada terjadinya kekerasan berbasis gender.

Mansplaining

            Mansplaining merujuk pada situasi saat laki-laki berbicara seolah-olah mereka tahu segalanya melebihi perempuan. Mereka kerap memberikan komentar tanpa diminta lawan bicaranya dan meremehkan kemampuan juga pendapat perempuan. Bahkan pada berbagai kesempatan seseorang yang melakukan mansplaining bersikap seperti sedang menggurui dan menganggap perempuan yang menjadi lawan bicaranya tidak lebih pintar. Sikap inilah yang seringkali menimbulkan perdepatan yang berujung pada kekerasan mental secara online. Online harassment yang berawal dari perdebatan di media sosial dapat berlanjut kepada pelecehan secara berulang, ancaman langsung, ujaran kebencian, atau bahkan penghasutan terhadap kekerasan fisik.

 

Toxic Masculinity

Menurut Flood (2018), Toxic Masculinity merupakan konsep maskulinitas yang menekankan aspek kekuatan, dominasi, superioritas, penaklukan dan karakter lainnya yang diidentikan dengan laki-laki. Konsep yang keliru ini berkontribusi atas ketidaksetaraan gender yang merugikan, baik laki-laki maupun perempuan. Dampaknya bagi laki-laki adalah timbulnya paradigma yang mengharuskan seorang laki-laki untuk membuktikan kepada dunia bahwa dirinya tidak terlihat lemah lembut atau kurang jantan. Paradigma tersebut menjadi konsekuensi yang seakan harus ditanggung oleh semua laki-laki walaupun mereka tidak pernah sekalipun memiliki sikap toxic masculinity. Sedangkan bagi perempuan, dampaknya adalah pelecehan seksual baik secara fisik maupun mental. Hal ini disebabkan karena toxic masculinity cenderung menyebabkan laki-laki berperilaku seksis dan patriarkis.

 

Lean In

Jika toxic masculinity adalah penyebab yang muncul dari diri laki-laki, lain halnya dengan lean in. Lean in merupakan hambatan yang muncul dari diri perempuan dikarenakan budaya dan pengajaran yang dilakukan terus-menerus yang senantiasa membentuk pola piker mereka. Peran gender normatif yang kaku dan terus mendikte perempuan membuat mereka menginternalisasi pesan-pesan yang mengatakan dirinya tidak boleh terlalu ambisius, vokal, dan berani. Pola asuh terhadap anak perempuan memiliki dampak yang signifikan dalam membentuk pola pikirnya ketika dewasa. Lingkungan kerja yang masih memprioritaskan gender tertentu dalam peluang berkarir juga memiliki andil membentuk mindset perempuan yang pesimistis dalam mengejar karirnya pada berbagai bidang pekerjaan.

Selain beberapa penyebab yang telah disebutkan di atas, Penulis mengutip pendapat seorang psikolog yang juga merupakan Dosen Psikologi Unsiversitas Surabaya, Dr. N.K. Endah Triwijati. Pada salah satu webinar nya, beliau menyampaian bahwa biasanya pelaku kekerasan berbasis gender melakukan perbuatan tercelanya untuk membuktikan pada dirinya dan orang lain bahwa dia punya kuasa dan mampu mengendalikan serta mendapatkan apa yang dia mau. Beliau juga menyatakan bahwa tidak jarang para korban tidak merasa dirinya sebagai korban dari kekerasan berbasis gender. Maka menjadi tugas bersama untuk membangun kesadaran dan pemahaman yang merata mengendai bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender di berbagai bidang kehidupan. Meski terdengar cukup klasikal dan membosankan, tetapi nyatanya sosialisasi mengenai pengarusutamaan gender mesti kembali digalakkan.

 

Penulis: Fazlurrahman Farouqi (Pelaksana Seksi Kepatuhan Internal KPKNL Pontianak)

KPKNL Pontianak ISTIMEWA (Integritas, Sinergi, Tawakal, Inovatif, Melayani, Efisien, Waspada, Amanah)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini