Kutipan
Risalah Lelang memiliki
peranan yang strategis
untuk menjamin kepastian hukum bagi pembeli karena dokumen Kutipan
Risalah Lelang sebagai turunan Risalah Lelang, sebagaimana diatur di Pasal 1
ayat (35) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang yang ditegaskan kembali pada Pasal 1 ayat (3) Peraturan
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 5/KN/2017 Tentang Risalah Lelang, bahwa
Kutipan Risalah Lelang adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa
bagian Risalah Lelang, yang merupakan berita acara
pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang dan merupakan akta autentik
serta mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Hal ini juga mendepankan
asas-asas dalam pelaksanaan lelang yang disebutkan pada asas kepastian hukum,
bahwa: “dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggara negara (vide: Penjelasan Pasal 3 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999). Dalam
setiap pelaksanaan lelang dibuat Risalah Lelang oleh Pejabat
Lelang yang merupakan akta otentik peralihan hak (acta van transport) atas barang sekaligus sebagai alas hak
penyerahan barang. Tanpa Risalah Lelang, pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh
Pejabat Lelang tidak sah (invalid). Pelaksanaan lelang yang demikian tidak
memberi kepastian hukum tentang hal-hal yang terjadi, karena apa yang terjadi
tidak tercatat secara jelas sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian. Oleh
karena itu, Risalah Lelang sebagai figur hukum yang mengandung kepastian hukum
harus diaktualisasikan dengan tegas dalam undang-undang yang mengatur tentang
lelang”.
Pada
awal lelang diperkenalkan
oleh Pemerintah Hindia
Belanda di wilayah Republik
Indonesia, Kutipan Risalah
Lelang dikenal dengan
sebutan Kutipan Berita Acara
yang mana dokumen
tersebut diatur melalui
Peraturan Penjualan di
Muka Umum di Indonesia
atau dikenal dengan
sebutan Vendu Reglement -
Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189
sebagaimana telah beberapa
kali mengalami perubahan, terakhir
dengan Staatsblad 1941:3. Pada
saat diberlakukannya peraturan tersebut pada
tanggal 1 April
1908, Kutipan Berita
Acara didefinisikan secara
implisit pada Pasal 42
alinea pertama Vendu Reglement. Dokumen
Kutipan dikenal sebagai sebuah dokumen
yang diautentikan berkaitan
dengan penjualan terhadap
objek lelang dan diterbitkan
hanya kepada pihak
yang berkepentingan oleh
Juru Lelang. Penerbitan dokumen tersebut
juga bukan merupakan
suatu kewajiban bagi
Juru Lelang, melainkan didasarkan pada permintaan
pihak-pihak tertentu.
Apabila dilihat
dari Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI),
kutipan sebagai nomina/kata benda
diartikan ke dalam
4 (empat) kata
yaitu “(1) pungutan;
(2) petikan; (3) nukilan;
dan (4) sitat”.
Selanjutnya, KBBI juga
menjelaskan pengertian kutipan sebagai berikut:
“pengambilalihan suatu kalimat
atau lebih dari karya
tulisan lain untuk
tujuan ilustrasi atau
memperkokoh argumen dalam
tulisan sendiri”. Sedangkan bentuk
verba/kata kerja dari
kutipan yaitu mengutip
diartikan dalam berbagai definisi, yang salah satunya adalah: “mengambil
perkataan atau kalimat dari buku dan
sebagainya; memetik karangan
dan sebagainya; menukil...”.5. Dari keseluruhan definisi
yang diberikan oleh
KBBI tersebut menunjukkan
bahwa mengutip ditujukan sebagai
suatu kegiatan pengambilalihan terhadap
sebagian dari karya
tulisan dengan tujuan untuk memberikan gambaran atas tulisan yang dibuat
oleh seseorang dan kutipan sebagai hasil
dari kegiatan mengutip
tersebut merupakan suatu
ringkasan atas informasi dari
suatu dokumen tertentu
dikarenakan dokumen yang
dikutip tersebut memiliki isi
atau konten yang
terlalu banyak dan
rumit apabila seseorang
ingin membacanya, sehingga pembuat
dokumen tersebut berinisiatif
untuk membuat suatu ringkasannya melalui sebuah kutipan.
Pengertian yang diberikan oleh KBBI
tersebut di atas juga sejalan dengan definisi Kutipan Risalah
Lelang yang diatur
dalam Pasal 1 angka
35 PMK No.
213/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang dan Pasal
1 angka 3
Perdirjen KN No.
5/2017 yang menyatakan bahwa:
“Kutipan Risalah Lelang
adalah kutipan kata
demi kata dari
satu atau beberapa bagian
Risalah Lelang”.
Akta
Risalah Lelang berikut turunannya sebagai Akta Otentik yang memberi Kepastian
Hukum
Akta
Risalah Lelang termasuk Akta Otentik, karena dibuat berdasarkan ketentuan
yaitu; Dibuat menurut Undang-undang (Pasal 37-39 Vendu Reglement), Dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Lelang (Pasal
1a dan Pasal 35 Vendu Reglement),
Wilayah kerja Pejabat Lelang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Keotentikan
Risalah Lelang sesuai dengan Pasal 1868 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata suatu
akta otentik ialah akta yang didalam
bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. Karena keberadaan Risalah
Lelang berikut turunannya secara fisik mutlak adanya.
Pasal
93 ayat (2) a dan b menyebutkan, Pembeli
memperoleh Kutipan Risalah
Lelang sebagai Akta Jual Beli atau Grosse Risalah Lelang sesuai
kebutuhan dan Penjual. Selain berfungsi sebagai akta jual beli, Kutipan Risalah
Lelang dapat digunakan oleh Pembeli sebagai kekuatan pembuktian akta otentik
dalam perkara perdata. Berdasarkan Pasal 164
HIR yang disebut
bukti adalah: surat, keterangan saksi, persangkaan, pengakuan dan
sumpah. Selain itu yang termasuk
alat bukti berdasarkan Pasal 5 UU No.
11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum
yang sah.
Kutipan
Risalah Lelang merupakan akta otentik sebagai turunan dari Risalah Lelang
sesuai ketentuan pada Pasal 21 ayat (1) Perdirjen KN No. 5/2017 yang menyebutkan
bahwa: “Kutipan merupakan turunan
dari Risalah Lelang
yang mengutip kata
demi kata dari
satu atau beberapa bagian
Risalah Lelang” sehingga
dokumen tersebut diakui
sebagai turunan dari Risalah
Lelang yang mengutip
kata demi kata
dari satu atau beberapa bagian dari Risalah Lelang. Karena
merupakan turunan dari Risalah Lelang, maka Kutipan Risalah Lelang dapat
dipersamakan seperti Akta otentik yang dibuat oleh Notaris. Menurut pasal 1
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, menyatakan secara
tegas bahwa notaris adalah satu-satunya pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berwenang untuk membuat akta otentik,
kecuali jika undang-undang menentukan lain. Intisari dari tugas dan wewenang
notaris bila dilihat dari Peraturan Jabatan Notaris hanyalah membuat akta,
melegalisasi akta di bawah tangan dan membuat grosse akta
serta berhak mengeluarkan
salinan atau
turunan akta kepada
pihak yang berkepentingan.
Kutipan
Risalah Lelang memenuhi sebagai akta sebagai bukti tertulis diatur dalam Pasal
1867 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yang bunyinya sebagai
berikut: “Pembuktian dengan tulisan
dilakukan dengan tulisan authentik maupun dengan tulisan
dibawah tangan”. Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata menyatakan bahwa ”Suatu
akta authentik memberikan diantara para pihak beserta ahli
warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya”. Sebagai contoh, bila akta tersebut
merupakan perjanjian yang
mengikat para pihak yang
sepakat membuat perjanjian
itu, bila terjadi sengketa hukum
di kemudian hari,
maka yang tersebut dalam akta
otentik itu merupakan
bukti yang sempurna, tidak perlu
dibuktikan dengan alat-alat
bukti yang lain. Disinilah arti
penting suatu akta
otentik dalam sengketa hukum memudahkan pembuktian dan
memberikan kepastian.
Sesuai dengan asas-asas dalam pelaksanaan
lelang yang efisien, adil, terbuka, dan akuntabel. Kutipan Risalah
Lelang yang minta oleh pihak
pembeli berdasarkan Perdirjen KN No.
5/KN/2017 adalah suatu
hal yang sangat penting dikarenakan
kondisi tersebut berkaitan
erat dengan penggunaan
dokumen tersebut oleh pihak Pembeli dalam melakukan pemindahan hak
(balik nama) atas Objek Lelang yang telah
selesai. Sebagaimana diketahui
dalam pengalihan hak
atas barang- barang, baik
bergerak maupun tidak
bergerak sebagai akibat
pelaksanaan lelang, salah satu
dokumen yang diberikan
kepada pihak Pembeli
adalah Kutipan Risalah
Lelang sebagaimana
disebutkan dalam Pasal
93 ayat (2)
a PMK No.
213/2020. Melihat posisi sebuah
Kutipan Risalah Lelang
memiliki peranan yang
strategis untuk menjamin kepastian hukum
bagi dalam pelaksanaan
lelang, khususnya pihak
Pembeli, maka dokumen Kutipan
harus memenuhi syarat-syarat autentisitas suatu akta.
Pada saat Risalah Lelang telah selesai
dibuat dan ditandatangani oleh Penjual, Pembeli, saksi-saksi
dan Pejabat Lelang,
maka pihak Pembeli
mendapatkan Kutipan Risalah Lelang.
Walaupun Pembeli hanya
memperoleh dokumen Kutipan
Risalah Lelang atau dokumen
tersebut berbeda dari
Risalah Lelang yang
telah pembeli tanda tangani,
namun dokumen Kutipan
memiliki sifat otentisitas
yang sama dengan Risalah
Lelang itu sendiri.
Dengan
demikian Kutipan Risalah Lelang memberikan kepastian hukum bagi pihak
Pembeli bahwa walaupun
dokumen yang ditandatangani pada
saat lelang telah
selesai dilaksanakan di
hadapan Pejabat Lelang adalah
Risalah Lelang namun
sifat autentisitas tetap
melekat pada dokumen Kutipan tersebut, yang berarti menyatakan
bahwa kekuatan pembuktian
antara Kutipan Risalah
Lelang dan Risalah
Lelang adalah sama, seperti pada pelaksanaan lelang hak tanggungan,
pembeli yang ditunjuk tersebut akan mendapat Kutipan Risalah Lelang setelah
melakukan kewajiban sebagai pembeli (penerima peralihan hak) antara lain
membayar BPHTB yang dibuktikan dengan dokumen berupa SSPD-BPHTB yang telah
divalidasi oleh unit kerja pemungut BPHTB pada Pemda setempat.
Jangka
Waktu Minuta Risalah Lelang
Perlu
diketahui jauh sebelum unit lelang di DJKN, pada tahun 1960 pembentukan
Direktorat Jenderal di lingkungan Departemen Keuangan, ketentuan mengatur tiap
departemen maksimum mempunyai 5 (lima) Direktorat Jenderal. Unit Lelang
digabung dan berada dalam naungan Direktorat Jenderal Pajak. Selanjutnya pada
tahun 1991 terjadi pengembangan dan pengukuhan organisasi unit lelang.
Berdasarkan Keppres No.21 Tahun 1991 tanggal 1 Juni 1991, BUPN berganti menjadi
BUPLN (Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara). Lalu perubahan nomenklatur
BUPLN menjadi DJPLN (Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara) berdasarkan
Keppres No.177, dan kemudian berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
445/PMK.01/2006 tentang nomenklatur DJPLN berganti menjadi Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara (DJKN) dan kantor operasionalnya Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang (KPKNL).
Akibat perubahan nomenklatur
tentunya berdampak pada sistem dokumentasi produk hukum oleh DJKN. Termasuk
dokumentasi produk hukum dari pelaksanaan lelang berupa Risalah Lelang, diatur
pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020, Peraturan Direktur
Jenderal Kekayaan Negara Nomor 5/KN/2017 tentang Risalah Lelang dan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan
Negara Nomor 3/KN/2017 tentang Administrasi dan Pelaporan Lelang. Dokumentasi
produk hukum sesuai prinsip pengarsipan yang tertuang pada UU No. 43 tahun 2009
tentang Kearsipan yang mengatur arsip disusun untuk menjamin ketersediaan arsip
yang autentik dan terpercaya, menjamin pelindungan kepentingan negara dan
hak-hak keperdataan rakyat, serta mendinamiskan sistem kearsipan, diperlukan
penyelenggaraan kearsipan yang sesuai dengan prinsip, kaidah, dan standar
kearsipan sebagaimana dibutuhkan oleh suatu sistem penyelenggaraan kearsipan
nasional yang andal.
Penertiban dokumentasi dilakukan
dalam rangka untuk memberikan layanan bagi pihak-pihak yang membutuhkan produk
hukum hasil pelaksanaan lelang. Untuk
Kutipan Risalah Lelang diatur pada PMK
213/2020, Pasal
92 ayat (2) menyebutkan Minuta Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang Kelas I disimpan pada KPKNL,
dan pasal 93 ayat (1) bahwa Pihak yang berkepetingan dapat memperoleh
kutipan/Salinan/groose yang autentik dari Minuta Risalah Lelang, dilanjutkan di
ayat (2) huruf a menyebutkan Pembeli diberikan Kutipan Risalah Lelang untuk
keperluan balik nama. Pemberian Kutipan Risalah Lelang yang merupakan turunan
dari Risalah Lelang ditentukan dari masa simpan Minuta Risalah Lelang
sebagaimana diatur pada pasal 92 ayat (6) PMK 213/2020 bahwa Jangka waktu
simpan Minuta Risalah Lelang selama 30 (tiga puluh) tahun sejak pelaksanaan
lelang, dan dilanjutkan di ayat (7) menyebutkan, Dalam hal
jangka waktu simpan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
telah lampau, pihak-pihak yang berkepentingan tidak
dapat menuntut haknya mendapatkan turunan dari Risalah
Lelang, termasuk permintaan Kutipan Risalah Lelang
oleh Pembeli yang ditunjuk dimana pelaksanaan lelang di era DJP, yang dalam hal
ini adalah pihak yang tidak dapat dipenuhi permintaannya karena keberadaan unit
lelang dan pelaksanaan lelang diera itu sudah melewati masa 30 tahun.
Referensi Tulisan:
Reglement
op de Burgelijk Rechtsvordering (RBG) Herziene Indlandsch Reglement (HIR) Burgerlijk Wetboek
(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
Undang
- Undang Lelang (Vendu Reglement Staatblad 1908: 189 sebagaimana telah diubah
dengan Staatblad 1940:56)
Instruksi
Lelang (Vendu Instructie Staatblad 1908: 190 sebagaimana telah diubah dengan
Staatblad 1930:85)
Undang
Undang Nomor 43 tahun 2009 tentang Kearsipan
Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
Peraturan
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 5/KN/2017 tentang Risalah Lelang
Peraturan
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 3/KN/2017 tentang Administrasi dan Pelaporan
Lelang
Daniel
Alusinsing, Aloysius Yanis Dhaniarto dan Widodo Suryandono, 2019, Sinkronisasi
Aturan Kutipan Risalah Lelang Berdasarkan Peraturan Dirjen Kekayaan Negara
Nomor 5/Kn/2017 Tentang Risalah Lelang Dengan Vendu Reglement Dan PMK NOMOR
27/PMK.06/2016
Vara Gusty Yon Surya, Iswi Hariyani, Firman
Floranta Adonara, 2014, Kajian Hukum Kekuatan Akta Risalah Lelang Dalam Perkara
Perdata, Hukum Perdata Ekonomi, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Universitas Jember (UNEJ)
Penulis: Mohammad Iqbal
Firzada (Kasubag Umum KPKNL Pontianak)
KPKNL Pontianak ISTIMEWA (Integritas, Sinergi, Tawakkal, Inovasi, Melayani, Efisien, Waspada, Amanah)