Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Pontianak > Artikel
Memotong Akar Korupsi dengan Integritas
Siska Nadia
Selasa, 28 September 2021   |   534 kali

Sejak pemerintahan Soeharto lengser, pemberantasan korupsi menjadi prioritas pemerintahan yang menyusulnya. Meskipun selama Orde Baru kemajuan ekonomi Indonesia mengagumkan, nyatanya sistem Pemerintahan yang koruptif tidak dapat dipertahankan. Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai juga dikenang dengan kurang menggembirakan. Tidak sedikit yang menyebut saat itu adalah penguasaan rezim yang korup. Setelahnya, membangun sistem politik yang demoktratis dan memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi rallying call untuk mempersatukan bangsa.

Dalam literatur korupsi, ada berbagai ragam pengertian korupsi, tergantung pada titik tekan/sudut pandang. Diantaranya dari David M. Chalmers dalam Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, pengertian korupsi yang dikemukakannya lebih menekankan pada penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi bidang ekonomi dan kepentingan umum. David juga mengemukakan korupsi dengan istilah political corruption (korupsi politik). Pendapat ini sebenarnya ingin menegaskan bahwa korupsi merupakan upaya pemanfaatan (distorsi) kekuasaan yang dimiliki yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan pejabat atau politisi yang bersangkutan. Atau yang dikemukakan oleh Resy Canonica Walangitang dalam “The Tradition of Corruption and the Challenge of Establishing a Clean Political Environment in Indonesia”, that definition for corruption in general is the misuse of public office for private gain. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi ini sering kita jumpai pada kasus penyimpangan bujet (atau pemotongan dana?) yang digunakan untuk memperoleh keuntungan bagi para Pejabat Publik. Pada kenyataannya, praktik seperti ini terjadi di Indonesia dengan kadar yang masif sehingga telah menghasilkan praktik-praktik pemerintahan yang buruk (bad government practices) yang kontradiktif dengan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial.

Apa sebenarnya yang menyebabkan munculnya korupsi yang kemudian menjadi penghambat utama demokratisasi? Sering kali dinyatakan bahwa salah satu kelemahan masyarakat  adalah kurangnya kemampuan untuk bersahaja. Sikap bersahaja adalah suatu sikap dimana orang tidak pernah puas dengan kepemilikan yang sudah ada. Keserakahan ini semakin meningkat ketika didukung oleh kesempatan untuk melakukan praktik korupsi, dengan diiringi lemahnya pemahaman dan penghayatan pada dimensi etika dalam berorganisasi. Pengadaan barang dan jasa Pemerintah merupakan bagian yang paling banyak dijangkiti korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyakit ini sangat merugikan keuangan negara, sekaligus dapat berakibat menurunnya kualitas pelayanan publik dan berkurangnya jumlah pelayanan yang seharusnya diberikan pemerintah kepada masyarakat.

Pengamatan terhadap fakta dan kecenderungan, baik di negara yang sudah maju atau negara yang sedang berkembang, paling tidak, akar masalah kronisnya korupsi di Indonesia agaknya bukan terletak pada tidak adanya aturan, undang-undang, dan lemahnya struktur hukum. Pengakuan terhadap ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi dan proses pembuktian terbalik (terdakwa korupsi harus membuktikan sendiri bahwa hartanya bukan hasil korupsi) dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 menunjukan hal itu. Namun, korupsi tampaknya lebih disebabkan lemahnya integritas atau budaya hukum internal.

Integritas berarti bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan/atau kebijakan organisasi/kode etik profesi, atau nilai yang secara perennial dianut masyarakat seperti kejujuran. Integritas merupakan satu kata yang mencakup sejumlah nilai yang dipegang teguh oleh Kementerian Keuangan dan menjadi pedoman tindakan. Pengertian yang mewakili kisaran konsep integritas mengarah pada menjalankan tugas dan pekerjaan dengan selalu berpedoman pada kode etik dan prinsip-prinsip moral seperti bertindak jujur, menepati janji dan konsisten. Dalam konteks korupsi, berintegritas berarti juga menghindari dari melakukan korupsi yang secara bahasa maknanya adalah busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik dan menyogok. Ringkasnya, kita membutuhkan integritas antikorupsi.

Mengaktualisasikan nilai-nilai integritas diyakini dapat berperan dalam pembenahan karakter dan moral bangsa secara sistematis yang mendukung sikap antikorupsi di negeri ini. Integritas sebagai salah satu nilai-nilai dasar pribadi yang harus dimiliki masyarakat dengan bersikap, berperilaku dan bertindak jujur terhadap diri sendiri dan lingkungan, konsisten dalam bersikap dan bertindak, memiliki komitmen terhadap misi pemberantasan korupsi, objektif terhadap permasalahan, berani dan tegas dalam mengambil keputusan dan resiko kerja, disiplin dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas dan amanah. Nilai-nilai tersebut dapat berasal dari nilai kode etik di tempat kerja.

Harus diakui bahwa pemberantasan korupsi pada masa ini mengalami peningkatan. Indonesiapun ketimbang beberapa Negara di kawasan Asia Tenggara dalam upaya pemberantasan korupsi lebih progresif. Terjadinya peningkatan pemberantasan korupsi ini dipengaruhi paling tidak 3 (tiga) peran lembaga yang bisa kita sebut memiliki integritas antikorupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Civil Society Organization (CSO) dan juga Media Massa. Ketiganya melakukan peran-peran agar akuntabilitas sebagai yang paling inti dalam integritas ditegakkan, sebagaimana juga transparansi.

Peran KPK menunjukan bahwa leadership sangat berperan dalam menegakan integritas yang berakibat pada terjaganya hak-hak rakyat. Andaikan telah dirampok oleh koruptorpun, hak-hak kekayaan rakyat (Negara) itu bisa dikembalikan, paling tidak sebagiannya. Sebagai lembaga yang didirikan atas inisiatif Presiden, dalam hal ini, ada hubungannya dengan leadership yang memiliki integritas, meski kadang tidak tegas, paling tidak leadership KPK, memenuhi hak-hak mendasar rakyat (HAM). Kedua, hubungannya meningkatnya pemberantasan korupsi di Indonesia yang signifikan yang dipengaruhi sikap integritas semisal Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukan integritas menjamin dan mensyaratkan adanya akuntabilitas (pertanggungjawaban) lembaga Negara, sebagai unsur integritas paling inti. Lewat upayanya sebagai CSO yang paling getol memantau dan menyuarakan praktik-praktik korupsi, ICW dalam hal ini telah melakukan integritas dalam arti menegakan nilai (values) dengan mengambil tindakan atas perilaku orang yang mempunyai kekuasaan yang keliru, meski ada risiko yang harus dihadapinya. Ketiga, hubungannya dengan Media Massa, menunjukan adanya relasi integritas media massa dengan transparansi. Maksudnya, adanya proses kebijakan yang dilakukan secara terbuka sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Karaniya Dharmasaputra dalam Media dan Foklor Korupsi menyebutkan bahwa tingkat korupsi cenderung menurun di negara-negara yang memiliki tingkat transparansi (kebebasan pers) yang tinggi. Baginya, level kebebasan pers berbanding lurus secara sempurna dengan tingkat pengendalian korupsi.

Dalam konteks tersebut, integritas terutama integritas antikorupsi menjadi kontrol atas seluruh proses pelaksanaan pelayanan publik. Sebagai warga Negara (masyarakat), kita juga perlu memiliki komitmen dan keberanian dari dalam diri untuk secara jujur dan konsisten bertindak dengan bersih. Karena rendahnya komitmen pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas dan rentan terhadap tindakan korupsi, akan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada negara. Dikalangan birokrasi sendiri sudah mendarah daging berbagai macam perilaku yang menjadi benih dari tindak pidana korupsi yang besar, sehingga jika sedari dini kita mulai mengawal pelaksanaan pelayanan publik ataupun melepaskan diri dari keinginan untuk menyelewengkan posisi serta kekuasaan apapun yang dimiliki demi memperoleh keuntungan sendiri maupun orang lain, maka setidaknya kita dapat memotong akar dari korupsi.

 

Oleh: Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Pontianak

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini