Sejak
pemerintahan Soeharto lengser, pemberantasan korupsi menjadi prioritas
pemerintahan yang menyusulnya. Meskipun selama Orde Baru kemajuan ekonomi
Indonesia mengagumkan, nyatanya sistem Pemerintahan yang koruptif tidak dapat
dipertahankan. Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai juga dikenang dengan kurang
menggembirakan. Tidak sedikit yang menyebut saat itu adalah penguasaan rezim
yang korup. Setelahnya, membangun sistem politik yang demoktratis dan memberantas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi rallying
call untuk mempersatukan bangsa.
Dalam
literatur korupsi, ada berbagai ragam pengertian korupsi, tergantung pada titik
tekan/sudut pandang. Diantaranya dari David M. Chalmers dalam Kejahatan Korupsi
dan Penegakan Hukum, pengertian korupsi yang dikemukakannya lebih menekankan
pada penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi bidang ekonomi dan
kepentingan umum. David juga mengemukakan korupsi dengan istilah political corruption (korupsi politik).
Pendapat ini sebenarnya ingin menegaskan bahwa korupsi merupakan upaya
pemanfaatan (distorsi) kekuasaan yang dimiliki yang bertujuan untuk memenuhi
kepentingan pejabat atau politisi yang bersangkutan. Atau yang dikemukakan oleh
Resy Canonica Walangitang dalam “The
Tradition of Corruption and the Challenge of Establishing a Clean Political
Environment in Indonesia”, that definition for corruption in general is the
misuse of public office for private gain. Penyalahgunaan kekuasaan untuk
memperoleh keuntungan pribadi ini sering kita jumpai pada kasus penyimpangan
bujet (atau pemotongan dana?) yang digunakan untuk memperoleh keuntungan bagi
para Pejabat Publik. Pada kenyataannya, praktik seperti ini terjadi di
Indonesia dengan kadar yang masif sehingga telah menghasilkan praktik-praktik
pemerintahan yang buruk (bad government
practices) yang kontradiktif dengan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial.
Apa
sebenarnya yang menyebabkan munculnya korupsi yang kemudian menjadi penghambat
utama demokratisasi? Sering kali dinyatakan bahwa salah satu kelemahan
masyarakat adalah kurangnya kemampuan untuk bersahaja. Sikap
bersahaja adalah suatu sikap dimana orang tidak pernah puas dengan kepemilikan
yang sudah ada. Keserakahan ini semakin meningkat ketika didukung oleh
kesempatan untuk melakukan praktik korupsi, dengan diiringi lemahnya pemahaman
dan penghayatan pada dimensi etika dalam berorganisasi. Pengadaan barang dan
jasa Pemerintah merupakan bagian yang paling banyak dijangkiti korupsi, kolusi
dan nepotisme. Penyakit ini sangat merugikan keuangan negara, sekaligus dapat
berakibat menurunnya kualitas pelayanan publik dan berkurangnya jumlah
pelayanan yang seharusnya diberikan pemerintah kepada masyarakat.
Pengamatan
terhadap fakta dan kecenderungan, baik di negara yang sudah maju atau negara
yang sedang berkembang, paling tidak, akar masalah kronisnya korupsi di Indonesia
agaknya bukan terletak pada tidak adanya aturan, undang-undang, dan lemahnya
struktur hukum. Pengakuan terhadap ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi dan
proses pembuktian terbalik (terdakwa korupsi harus membuktikan sendiri bahwa
hartanya bukan hasil korupsi) dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 menunjukan hal itu.
Namun, korupsi tampaknya lebih disebabkan lemahnya integritas atau budaya hukum
internal.
Integritas
berarti bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan/atau kebijakan
organisasi/kode etik profesi, atau nilai yang secara perennial dianut
masyarakat seperti kejujuran. Integritas merupakan satu kata yang mencakup
sejumlah nilai yang dipegang teguh oleh Kementerian Keuangan dan menjadi
pedoman tindakan. Pengertian yang mewakili kisaran konsep integritas mengarah
pada menjalankan tugas dan pekerjaan dengan selalu berpedoman pada kode etik
dan prinsip-prinsip moral seperti bertindak jujur, menepati janji dan
konsisten. Dalam konteks korupsi, berintegritas berarti juga menghindari dari
melakukan korupsi yang secara bahasa maknanya adalah busuk, rusak,
menggoyahkan, memutar balik dan menyogok. Ringkasnya, kita membutuhkan integritas
antikorupsi.
Mengaktualisasikan
nilai-nilai integritas diyakini dapat berperan dalam pembenahan karakter dan
moral bangsa secara sistematis yang mendukung sikap antikorupsi di negeri ini. Integritas
sebagai salah satu nilai-nilai dasar pribadi yang harus dimiliki masyarakat dengan
bersikap, berperilaku dan bertindak jujur terhadap diri sendiri dan lingkungan,
konsisten dalam bersikap dan bertindak, memiliki komitmen terhadap misi
pemberantasan korupsi, objektif terhadap permasalahan, berani dan tegas dalam
mengambil keputusan dan resiko kerja, disiplin dan bertanggung jawab dalam
menjalankan tugas dan amanah. Nilai-nilai tersebut dapat berasal dari nilai
kode etik di tempat kerja.
Harus
diakui bahwa pemberantasan korupsi pada masa ini mengalami peningkatan.
Indonesiapun ketimbang beberapa Negara di kawasan Asia Tenggara dalam upaya
pemberantasan korupsi lebih progresif. Terjadinya peningkatan pemberantasan
korupsi ini dipengaruhi paling tidak 3 (tiga) peran lembaga yang bisa kita
sebut memiliki integritas antikorupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Civil Society Organization (CSO) dan
juga Media Massa. Ketiganya melakukan peran-peran agar akuntabilitas sebagai
yang paling inti dalam integritas ditegakkan, sebagaimana juga transparansi.
Peran
KPK menunjukan bahwa leadership sangat
berperan dalam menegakan integritas yang berakibat pada terjaganya hak-hak
rakyat. Andaikan telah dirampok oleh koruptorpun, hak-hak kekayaan rakyat
(Negara) itu bisa dikembalikan, paling tidak sebagiannya. Sebagai lembaga yang
didirikan atas inisiatif Presiden, dalam hal ini, ada hubungannya dengan leadership yang memiliki integritas,
meski kadang tidak tegas, paling tidak leadership
KPK, memenuhi hak-hak mendasar rakyat (HAM). Kedua, hubungannya
meningkatnya pemberantasan korupsi di Indonesia yang signifikan yang
dipengaruhi sikap integritas semisal Indonesia
Corruption Watch (ICW) menunjukan integritas menjamin dan mensyaratkan
adanya akuntabilitas (pertanggungjawaban) lembaga Negara, sebagai unsur
integritas paling inti. Lewat upayanya sebagai CSO yang paling getol memantau
dan menyuarakan praktik-praktik korupsi, ICW dalam hal ini telah melakukan
integritas dalam arti menegakan nilai (values)
dengan mengambil tindakan atas perilaku orang yang mempunyai kekuasaan yang
keliru, meski ada risiko yang harus dihadapinya. Ketiga, hubungannya dengan
Media Massa, menunjukan adanya relasi integritas media massa dengan
transparansi. Maksudnya, adanya proses kebijakan yang dilakukan secara terbuka
sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Karaniya
Dharmasaputra dalam Media dan Foklor Korupsi menyebutkan bahwa tingkat korupsi
cenderung menurun di negara-negara yang memiliki tingkat transparansi
(kebebasan pers) yang tinggi. Baginya, level kebebasan pers berbanding lurus
secara sempurna dengan tingkat pengendalian korupsi.
Dalam
konteks tersebut, integritas terutama integritas antikorupsi menjadi kontrol
atas seluruh proses pelaksanaan pelayanan publik. Sebagai warga Negara
(masyarakat), kita juga perlu memiliki komitmen dan keberanian dari dalam diri
untuk secara jujur dan konsisten bertindak dengan bersih. Karena rendahnya
komitmen pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas dan
rentan terhadap tindakan korupsi, akan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada
negara. Dikalangan birokrasi sendiri sudah mendarah daging berbagai macam
perilaku yang menjadi benih dari tindak pidana korupsi yang besar, sehingga
jika sedari dini kita mulai mengawal pelaksanaan pelayanan publik ataupun
melepaskan diri dari keinginan untuk menyelewengkan posisi serta kekuasaan
apapun yang dimiliki demi memperoleh keuntungan sendiri maupun orang lain, maka
setidaknya kita dapat memotong akar dari korupsi.
Oleh: Seksi Hukum dan
Informasi KPKNL Pontianak