Skema Ponzi adalah modus investasi palsu yang membayarkan keuntungan
kepada investor bukan berasal dari keuntungan yang diperoleh dari kegiatan
operasi perusahaan, namun berasal dari investor selanjutnya yang dilakukan
dengan cara merekrut anggota baru. Bisnis dengan Skema Ponzi akan kolaps ketika
tidak ada lagi anggota baru yang bisa direkrut karena aliran dana akan terhenti
sehingga mengakibatkan ketidakmampuan perusahaan dalam membayar keuntungan
kepada investor. Skema ini dicetuskan oleh Charles Ponzi pada tahun 1920 di
Amerika Serikat. Ponzi ditangkap dan dipenjara setelah menyebabkan kerugian
senilai sekitar $20 juta dollar bagi para “penanam modalnya”.
Investasi merupakan hal yang penting untuk mempersiapkan keuangan di
masa depan. Investasi mulai populer saat ini dengan semakin bertambahnya media
investasi yang dapat kita pilih. Banyak perusahaan baru bermunculan dengan
menawarkan berbagai jenis produk investasi kepada masyarakat. Sayangnya, kesadaran
masyarakat untuk berinvestasi tidak dibarengi dengan ketelitian dan kecermatan
dalam memilih produk investasi.
Penipuan berkedok investasi yang menjanjikan penghasilan besar masih
saja mencuri hati masyarakat Indonesia. Pasalnya mereka selalu berubah dan
berinovasi dalam membungkus dan mengemas bisnis yang pada umumnya menggunakan
skema Ponzi. Mereka selalu berhasil meyakinkan masyarakat dengan menjanjikan
keutungan yang besar dalam waktu yang relatif singkat. Alih-alih mendapat
keuntungan, mereka malah terjebak dan menjadi korban penipuan.
Saat ini terdapat beberapa bisnis yang dicurigai menggunakan skema ponzi
dan money game dengan berbasis media sosial atau media sejenisnya. Peserta
diwajibkan membayar biaya kepesertaan awal dan mengerjakan tugas dengan
menonton video dan menekan tombol suka pada setiap video. Aplikasi ini akan
membayar keuntungan setelah peserta selesai mengerjakan tugasnya dengan
mengirimkan bukti tangkapan layar (screen shoot) kepada pihak aplikasi.
Terdapat beberapa level untuk menentukan besaran keuntungan yang diperoleh.
Kenaikan level tersebut diperoleh dengan cara membayar (top up) sejumlah
uang kepada pihak aplikasi maupun kepada anggota lain.
Dengan skema tersebut, banyak orang tertarik untuk mendaftar dan menjadi
anggota dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang besar. Namun, hal ini
perlu diwaspadai karena proses bisnis yang dijalankan tidaklah jelas. Tidak ada
produk yang dijual untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan utama melainkan
hanya mengandalkan uang berputar antar anggota saja.
Berbeda dengan MLM (Multi Level Marketing), mereka memiliki
produk yang jelas untuk dijual. Bonus bagi anggota juga bisa diperoleh dari
penjualan produk tersebut. Bonus lainnya juga dapat diperoleh dari
penjualan/pembelian produk yang berasal dari grup atau jaringan. Namun,
masyarakat juga patut mencermati model bisnis MLM tersebut, karena bisa saja
bisnis tersebut menggunakan skema ponzi sebagai pendapatan utama. Bisnis MLM
yang legal harus memiliki Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) yang
diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Pada skema ponzi, keuntungan hanya akan dirasakan pada peserta yang ikut
di awal dan di tengah saja. Peserta yang baru saja mendaftar ketika jumlah anggota
sudah jenuh lah yang akan menanggung kerugian. Apabila semua peserta sudah
mencapai level tertinggi dan tidak ada lagi anggota baru yang dapat direkrut,
maka dengan sendirinya bisnis ini akan runtuh.
Dengan demikian, masyarakat diharapkan lebih cermat dalam memilih media untuk berinvestasi. Masyarakat dapat mengecek legalitas suatu perusahaan yang menjalankan bisnis di bidang keuangan khususnya investasi yaitu pada laman sikapiuangmu.ojk.go.id. Di sana terdapat data perusahaan yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar untuk bisa dijadikan acuan dalam berinvestasi.
Sumber gambar : https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt57eb3c7080e65/larangan-skema-ponzi-dan-skema-piramida-menurut-hukum-positif/
(Bagus Hadi Prawibowo - Pegawai KPKNL Pontianak)