Latar Belakang
Pasar properti merupakan pasar yang cukup kompleks dan melibatkan banyak pihak mulai dari developer, pemilik, agen, pembeli, notaris, penilai, dll. Semakin besar skala propertinya semakin banyak pihak yang terlibat.
Berbeda dengan profesi penilai yang sudah cukup dikenal orang, terdapat salah satu pelaku bisnis properti yang mungkin masih asing di telinga kita yaitu flipper. Istilah flipper berasal dari bahasa Inggris flip yang artinya membalikkan. Istilah ini kemudian diserap ke dalam dunia properti menjadi sebuah jenis pekerjaan bernama flipper properti. Secara sederhana, flipper properti berarti seseorang yang pekerjaannya membalik transaksi dari yang tadinya pembeli menjadi penjual dalam waktu singkat. Orang yang berkecimpung di bidang ini disebut flipper dan pekerjaan yang dijalaninya disebut flipping. Tujuan utama seorang flipper mencari capital gain yang didapatkan dari properti sebagai objek transaksinya.
Tulisan ini bertujuan untuk mengulas
prinsip penilaian dari sisi seorang flipper berdasarkan pengalaman penulis
sebagai seorang penilai dan seorang flipper properti di Kota Depok, Jawa Barat.
Highest
& Best Use (Pemanfatan Tertinggi dan Terbaik)
Pada daerah berkembang seperti Kota Depok, seringkali ditemui properti yang underimprovement. Salah satu contoh, akibat adanya pelebaran jalan, menyebabkan adanya peningkatan jumlah lalu lintas dan rumah-rumah yang berada di sekitar perlahan berubah menjadi properti komersil. Seorang fliper yang jeli melihat hal ini sebagai peluang besar untuk meraup keuntungan karena bisa membeli calon properti komersial dengan harga residensial.
Hal yang berbeda terjadi di salah satu kompleks ruko di perumahan XX Tangerang. Harga ruko yang ditawarkan tidak mengalami kenaikan sejak di-launching pada tahun 2014, bahkan harga ruko second yang dijual lebih murah apabila dibandingkan dengan harga rumah di kompleks perumahan yang sama. Berdasarkan pantauan, sejak di-launching, tidak banyak usaha yang dibuka di kompleks ruko tersebut. Banyaknya ruko yang masih kosong dan banyak ruko yang dijual kembali oleh pembeli pertama menunjukkan banyak flipper yang ”zonk”.
Berdasarkan analisis penulis, kompleks ruko tersebut
tidak memenuhi aspek fisik pada analisis HBU untuk dikembangkan sebagai
kompleks ruko. Faktor lokasi ruko yang berada pada jalan buntu menjadikan tidak
banyak dilalui oleh pengunjung di luar perumahan tersebut. Selain itu, tidak
ada bisnis/jenis usaha anchor yang
mampu sebagai penarik calon pengunjung. Praktis calon pengunjung ruko hanya
berasal dari perumahan setempat dengan jumlah KK yang tidak terlalu banyak.
Suplay
& Demand (Penawaran & Permintaan)
Imbas dari covid- 19 menyebabkan banyaknya PHK karyawan ataupun pemotongan gaji karyawan yang menyebabkan daya beli menurun drastis sehingga properti bukan lagi kebutuhan mendesak saat ini. Lebih parah lagi, Bank-bank memperketat pengucuran kredit pemilikan rumah hanya terbatas pada PNS, pengawai BUMN atau perusahaan mutinasional yang performanya dipandang tetap stabil walaupun dilanda Covid 19. Kombinasi yang dasyat yang menyebabkan anjloknya permintaan.
Penawaran properti sendiri bersifat inelastic. Setelah booming properti pada beberapa tahun sebelumnya, developer besar dan kecil berlomba-lomba menambah stok dengan tujuan meraup keuntungan lebih besar, yang menyebabkan penawaran di Kota Depok pada tahun 2020 cukup melimpah dan cenderung oversupply.
Melihat ketidakpastian pasar belakangan ini, sebagian flipper memilih untuk banting harga untuk mengurangi pembengkakan cost of capital. Penulis sendiri pun memilih membanting harga dengan tujuan mengurangi stok rumah yang dijual. Berdasarkan pengalaman tahun lalu, rumah di lokasi perumahan Griya XX rata-rata laku terjual dengan harga Rp600 jutaan, saat ini terpaksa dibanderol turun Rp50 juta agar cepat laku. Jumlah pembeli cash yang sangat terbatas di masa pandemi seperti ini merupakan raja.
Sebagian
flipper lainnya memilih untuk menahan dengan harapan setelah adanya vaksinasi,
segera ada pemulihan ekonomi yang berdampak pulihnya permintaan.
Pengganti
(Substitution)
Bagi flipper, estimasi harga akusisi dan harga jual suatu properti merupakan proses yang sangat penting dan dibutuhkan keakuratan, karena konsekuensi langsung berupa keuntungan maupun kerugian di depan mata.
Seperti
seorang penilai, seorang flipper melakukan proses valuasi (walaupun mungkin
lebih sederhana) untuk menentukan apakah harga akusisi dari suatu properti yang
ditawarkan termasuk undervalue maupun
overvalue.
Setelah itu, flipper juga harus mempu mengestimasi harga properti setelah dijual nanti. Harga yang harus mencover pengembalian modal, biaya-biaya legalitas, biaya renovasi termasuk margin keuntungan. Dalam estimasi harga jual, flipper juga menganalisis faktor-faktor yang menjadi kelebihan dan kekurangan dari rumah tersebut, faktor-faktor yang bisa menjadi nilai tambah dalam mendongkrak harga jual.
Flipper
paham betul bahwa pembeli tidak akan membayar lebih terhadap properti yang sama
selama masih ada properti pengganti. Terlebih lagi dengan adanya perkembangan
internet yang luar biasa dimana tersedia banyak platform khusus jual beli
properti menyebabkan keterbukaan arus informasi terkait harga properti di
sekitar properti yang dijual sehingga harga dari suatu properti akan terkoreksi
oleh harga properti lainnya.
Penentuan harga jual oleh flipper dilakukan bersamaan dengan estimasi harga akusisi bahan baku. Dalam hal harga jual properti tidak mampu menutupi biaya akusisi bahan baku, renovasi, biaya legalitas, margin keuntungan dll, artinya properti tidak menguntungkan untuk diakusisi.
Pengalaman
yang cukup menarik di tahun 2014. Terdapat sebuah rumah second type 55/72 di
suatu perumahan dengan segmen menengah ke bawah di Kota Depok yang telah
ditawarkan selama setahun dengan harga penawaran Rp300 juta. Proses pemasarannya
pun terbilang cukup baik karena dilakukan diberbagai platform jual beli
properti online. Melihat lama waktu pemasaran dan cara pemasaran yang cukup
layak, seorang penilai, dengan cepat menyimpulkan nilai pasar rumah tersebut
pasti di bawah Rp300 juta dan benar harga akusisi rumah tersebut di angkat Rp265
Juta. Sampai pada tahap ini kesimpulan seorang penilai terkait nilai rumah
tersebut mungkin cukup akurat.
Selanjutnya setelah akusisi, rumah tersebut dilakukan perbaikan minor dengan total biaya perbaikan yang tidak lebih dari Rp5 juta. Secara teori, nilai pasar rumah tersebut setidaknya diangka Rp270 juta. Bagaimana menurut anda?
Bagi
seorang flipper, ternyata bisa berbeda. Rumah tersebut dapat laku dalam waktu yang
lebih singkat yaitu 1 bulan dengan harga yang cukup fantastis Rp375 juta. Dengan
kenaikan Rp110 juta, beberapa berpendapat bahwa kemungkinan besar harga jual Rp265
juta tidak mencerminkan syarat-syarat nilai pasar ataupun data outlier. Benarkah
demikian? Fakta menunjukkan 1 bulan setelah rumah tersebut laku, terdapat 2
rumah dengan tipe dan lokasi yang sama yang di-flip dengan harga akusisi Rp270
juta. Dan anehnya lagi hanya dalam perbaikan minor dan pemasaran standar, dalam
waktu 1 bulan kemudian, kedua rumah tersebut laku diangka Rp385 dan Rp390 juta.
Sehingga
berapakah nilai pasar rumah itu yang sebenarnya?
Antisipasi
(Anticipation)
Antisipasi
merupakan salah satu prinsip utama seorang flipper. Harapan akan keuntungan
atau ketidakuntungan di masa yang akan datang akan mempengaruhi harga suatu
properti. Informasi merupakan hal yang sangat berharga bagi seorang flipper
misalnya terkait informasi pembangunan
sarana dan prasarana lingkungan, rencana pelebaran jalan, dll. Informasi
tersebut menjadi pertimbangan dalam menentukan target akusisi dan peluang
keuntungan bagi seorang flipper.
Perubahan
(Change)
Perubahan
merupakan suatu keniscayaan. Perubahan terhadap suatu faktor dapat mempengaruhi
nilai suatu properti dan tingkat keterjualan properti. Bagi seorang flipper,
selera masyarakat salah satu faktor penting dan wajib diperhitungkan secara
matang karena konsumen adalah raja.
Pada
tahun 2012-2015, rumah tipe minimalis merupakan idola, sehingga tingkat
keterjualannya lebih tinggi dibandingkan model lainnya. Memasuki tahun 2018, pasar
mulai jenuh dengan model minimalis yang cenderung kaku dan terlalu sederhana. Terjadi
pergeseran selera masyarakat terutama kaum milenial untuk mencoba model rumah
yang unik dan instagramable seperti farmhouse, industrial dll. Kesalahan
Flipper menentukan aliran renovasi, dapat berdampak fatal bagi harga jual dan
lamanya penjualan. Kesalahan pemilihan renovasi berdampak pada penyusutan
fungsi pada pendekatan biaya.
Penyesuaian
(Conformity)
Salah
satu tahapan setelah akusisi rumah adalah proses renovasi sebagai faktor
pendongkrak nilai. Dalam penentuan skala pengembangan/renovasi suatu rumah
wajib menyesuaikan dengan lingkungan. Investasi besar untuk merenovasi rumah
sederhana menjadi rumah mewah di tengah lingkungan perumahan menengah bisa jadi
merupakan kesalahan fatal. Segmen pembeli rumah mewah tentu pula adalah orang
berduit yang memiliki preferensi yang lebih kompleks, seperti prasarana yang
lebih baik, lokasi yang lebih strategis, luas tanah yang lebih besar dan
mungkin gengsi yang lebih tinggi.
Keseimbangan
(Increasing & Decreasing Return/Balance)
Penambahan
biaya untuk renovasi suatu bagian dalam suatu properti belum tentu memberikan added value. Dengan tingkat kriminalitas
Kota Depok yang tinggi, penambahan pagar pada rumah, memberikan efek kenaikan
nilai pada rumah secara langsung.
Sebaliknya, penambahan biaya untuk renovasi namun ukuran ruang yang tidak standar, jumlah kamar mandi yang berlebihan, style fasad yang tidak sesuai selera pasar, pada umumnya, tidak menciptakan added valued dari suatu rumah. Seorang flipper harus jeli menentukan pengembangan mana saja yang mampu menciptakan added value sebagai peluang menambah keuntungan.
Pengalaman
penulis, terdapat 2 rumah yang merupakan bahan baku flipping dengan model fasad
awal yang mirip. Kedua rumah terletak di perumahan yang sama. Agar variatif dan
unik, kedua fasad rumah dibedakan namun tetap mengusung aliran farm house yang instagramable. Biaya renovasi keduanya
pun hampir sama dengan maksud agar harga jualnya pun sama. Perbedaan fasad
keduanya termasuk mencakup perubahan minor pada bentuk atap. Hal sepele yang
ternyata berdampak signifikan ketika dijual. Pemilihan bentuk atap rumah
pertama yang keliru, membuat rumah seolah terlihat pendek. Sementara bentuk
atap rumah kedua membuat rumah terkesan lebih tinggi walaupun secara faktanya
hanya kamuflase mata, karena tinggi plafon kedua rumah adalah sama. Terbukti
pada saat pemasaran, rumah kedua hanya butuh 1,5 bulan untuk sampai ke tahap
deal sementara rumah pertama membutuhkan waktu yang lebih panjang yaitu 1
tahun. Harga yang terbentuk pun sejalan dengan teori penilaian, dimana harga
jualnya berselisih hampir 30 juta yang merupakan kemunduran fungsi akibat fasad
rumah pertama yang tidak tepat.
Eksternalitas
(Externalities)
Selain faktor internal, nilai suatu properti ditentukan faktor-faktor di luar properti tersebut. Terdapat sebuah rumah yang dipasarkan oleh rekan flipper beberapa waktu lalu. Secara umum, lokasi rumah berada di lokasi yang strategis dengan akses yang baik, fasilitas perumahan pun terbilang cukup baik. Tingkat keterjualan rumah di lokasi tersebut cukup tinggi karena pengalaman penulis telah berhasil menjual beberapa rumah di lokasi yang sama dengan waktu penawaran yang pendek. Secara fisik rumah tersebut telah direnovasi dengan cukup baik dengan fasad yang mengikuti tren. Harga penawaran pun terbilang sudah sesuai nilai pasar sehingga secara teori seharusnya properti tersebut dapat laku dengan harga yang cukup baik. Namun sampai dengan 2 tahun properti tersebut dipasarkan, rumah tersebut belum laku walaupun telah diiklankan dengan iklan berbayar pada beberapa platform jual beli properti online. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah yang salah dengan rumah ini?
Setelah diskusi panjang dengan rekan flipper tersebut, diketahui biang kerok penyebab susahnya rumah tersebut laku. Kebanyakan konsumen yang awalnya berminat, tiba-tiba mundur setelah melakukan survei lokasi dan mengamati “kebiasaan” tetangga sebelah rumah yang cukup aneh yaitu memasak dan mencuci pakaian di area carport rumah. Suatu kebiasaan yang cenderung merusak pemandangan dan membuat tidak nyaman siapapun tetangga rumah tersebut. Eksternalitas sepele yang ternyata membuat rumah yang normal pun menjadi susah laku.
Pengalaman
berbeda dari penulis yang mendapatkan kendala ekternalitas yang tidak “biasa”
yaitu gangguan makhluk halus pada properti yang dijual. Eksternalitas yang di
luar nalar namun nyata terjadi. Berawal dari proses penebangan tanaman kamboja
di samping rumah yang rencananya untuk dibangun sebagai kamar tambahan yang
diharapkan menjadi added value. Tiada
disangka penebangan kamboja yang ternyata merupakan markas makhluk halus
tersebut berbuntut panjang. Beberapa tukang dan kenek bergantian sakit mendadak
tanpa sebab. Mengingat efek gangguan eksternalitas tersebut apabila dibiarkan
dapat berdampak pada nilai properti, maka satu-satunya cara adalah dengan
memindahkan domisilinya ke tempat lain dengan bantuan “orang pintar”.
Percaya tidak percaya.
Kesimpulan
Dari
beberapa pengalaman di atas, dapat disimpulkan walau berbeda peran, berbeda
latar belakang pendidikan, namun penilai dan flipper mempunyai suatu kesamaan.
Kedua melakukan pengamatan pasar, melakukan survei untuk mengetahui harga
properti, melakukan analisis terhadap suatu properti dan faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai secara detail, bahkan keduanya mengeluarkan indikasi nilai.
walaupun tujuannya berbeda sesuai kepentingan masing-masing.
Bagaimana
kalau seorang penilai merangkap menjadi seorang flipper? Tentu sangat
menyenangkan. Bagi flipper, dengan basic
penilai dia dapat menentukan nilai pasar untuk akusisi dan jual dengan akurasi
yang lebih baik. Bagi seorang penilai, pengalaman sebagai flipper membantunya
meng-capture perilaku pasar yang
terkadang sukar ditebak.
Penulis
Fransiscus
Raja Doly, ST, M.Ec. Dev
Kasi
Pelayanan penilaian KPKNL Pontianak