Tahapan tata Cara Penilaian
1. Permohonan
atau penugasan Penilaian
Sebagaimana
disebutkan diawal bahwa pelaksanaan penilaian selalu diawali dengan adanya
permohonan penilaian sebagai dasar untuk pelaksanaan tugas penilaian. Pada
tahapan ini permohonan penilaian diajukan secara tertulis oleh pemohon yang
mempunyai kewenangan untuk mengajukan permohonan disertai dengan data-data
sebagai berikut:
a.
Identitas
objek yang dimohonkan penilaian;
b.
Jenis
nilai yang dimohonkan; dan
c.
Data
dan informasi yang terkait dengan objek penilaian yang dimohonkan.
Kelengkapan dan kebenaran atas data dan
informasi sebagaimana dimaksud dalam hal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab
pemohon penilaian.
2. Pelaksanaan
Penilaian
Pelaksanaan
penilaian adalah tahapan berikutnya setelah diterimanya dokumen/berkas
permohonan penilaian. Dokumen/berkas permohonan penilaian selanjutnya diproses
melalui tahapan sebagai berikut:
a.
Identifikasi
atas permohonan atau penugasan Penilaian;
b.
Penentuan
tujuan penilaian;
c.
Pengumpulan
data dan informasi;
d.
Analisis
data dan informasi;
e.
Penentuan
pendekatan Penilaian;
f.
Simpulan
nilai; dan
g.
Penyusunan
laporan penilaian
3. Kaji
Ulang Laporan Penilaian
Kaji
ulang laporan penilaian adalah tahap akhir dari tata cara penilaian ditujukan
dalam rangka pembinaan Penilai Pemerintah dan peningkatan kualitas laporan
penilaian. Hal-hal yang dikaji ulang dalam laporan penilaian antara lain:
a.
Administrasi
laporan penilaian; dan
b.
Prosedur
dan penerapan metode Penilaian.
Kaji ulang laporan penilaian dilakukan secara berjenjang. Laporan Penilaian yang dibuat oleh Penilai KPKNL dikaji ulang oleh Penilai pada Kanwil DJKN yang ditunjuk, demikian juga laporan penilaian yang disusun oleh Penilai pada Kanwil DJKN akan dikaji ulang oleh Penilai Kantor Pusat DJKN. Hal ini sebagai bentuk Quality Control sekaligus bagian pembinaan terhadap penilai pemerintah.
PENDEKATAN PENILAIAN DALAM PENILAIAN PROPERTI
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173 tahun 2020, mengenal 3 macam pendekatan dalam penilaian Properti. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 41 PMK 173/2020. Pendekatan penilaian yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
Pendekatan
pasar;
2.
Pendekatan
biaya; dan/atau
3.
Pendekatan
pendapatan.
Dalam tata cara pelaksanaan penilaian,
setelah Penilai atau Tim Penilai melakukan Identifikasi atas permohonan atau
penugasan Penilaian, menentukan tujuan penilaian, malukukan pengumpulan data
dan informasi, dan melakukan analisis data dan informasi maka selanjutnya penilai
akan menetukan pendekatan penilaian yang akan digunakan pada saat penilaian. Penilai
atau Tim penilai akan memilih salah satu dari ketiga pendekatan yang sesuai
dengan objek penilaian yang akan dinilai. Tahap ini sangat penting karena
masing-masing pendekatan memiliki karakteristiknya masing-masing. Jika Penilai
atau tim penilai tidak memilih pendekatan yang tepat, maka dapat berdampak pada
nilai wajar yang dihasilkan pada saat perhitungan pada kertas kerja penilaian. Oleh
karena itu, baik Penilai perorangan maupun Tim penilai harus betul-betul memahami
pendekatan penilaian sebelum melakukan kegiatan penilaian.
A. Pendekatan Harga Pasar (Market Approach)
Pendekatan harga pasar adalah proses
penentuan nilai wajar aset berdasarkan harga jual aset yang serupa dengan objek
penilaian. Pendekatan ini mengharuskan Penilai atau tim penilai untuk melakukan
survei lapangan dengan tujuan mencari aset yang serupa/objek pembanding dengan
objek penilaian. Persyaratan fundamental yang harus diperhatikan dalam mencari
objek pembanding adalah harus “sejenis” dan “sebanding”.
Makna “sejenis” di sini adalah objek pembanding yang digunakan berada pada segmen pasar yang sama dengan objek penilaian atau objek pembanding memiliki potensial pembeli yang sama dengan objek penilaian. Sedangkan makna “sebanding” adalah objek pembanding memiliki karakteristik dan spesifikasi yang sama dengan objek penilaian, baik secara fisik maupun nonfisik.
Objek pembanding yang dimasukkan minimal berjumlah dua objek, tapi akan jauh lebih baik lebih dari dua. Namun demikian jumlah pembanding yang berjumlah banyak belum tentu juga menggambarkan objek pembanding yang sejenis dan sebanding. Oleh karena itu, pembatasan terhadap jumlah pembanding juga diperlukan. DJKN mensyaratkan jumlah pembanding paling sedikit 2 dan yang paling optimal adalah 3 pembanding. Lebih dari 3 (tiga) diperbolehkan asalkan benar-benar sejenis dan sebanding.
Pada kasus tertentu, objek pembanding yang ditemukan biasanya tak memenuhi persyaratan sejenis dan sebanding. Dikarenakan objek yang dijadikan data pembanding tak sama persis, hanya sejenis dan sebanding dengan objek penilaian, maka perlu dilakukan beberapa penyesuaian. Penyesuaian dilakukan apabila ada beberapa karakteristik atau item dalam objek penilaian yang berbeda dengan objek pembanding. Dalam melakukan penyesuaian, tim penilai harus menetapkan besaran penyesuaian untuk masing-masing objek. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan persentase atau dengan teknik perhitungan lain yang bisa menjelaskan atas hal-hal yang disesuaikan tersebut. Yang perlu diperhatikan, setiap perbedaan yang mengharuskan adanya penyesuaian, besarnya penyesuaian tersebut hanya akan mengubah nilai objek pembanding, bukan pada objek penilaian.
·
Kelebihan
o Nilai objek pembanding sangat
menggambarkan ekonomi pasar/transaksi di pasar.
o Lebih mudah dipahami dan
lebih sederhana.
o Katersediaan data pembanding untuk property-properti tertentu sangat mudah didapatkan seperti rumah type 36, 45, tanah kosong, dan sebagainya
Berikut adalah contoh format untuk menghitung nilai wajar
tanah menggunakan pendekatan data pasar.
Objek Pembanding I |
Objek Pembanding II |
Objek Pembanding III |
Objek Penilaian |
|
Foto Objek |
||||
Alamat |
||||
Koordinasi Geografis |
||||
Sumber Informasi |
||||
Luas Tanah |
||||
Harga Tanah |
||||
Harga Tanah / m2 (Rp) |
||||
PENYESUAIAN 1 (PENYESUAIAN TRANSAKSI) |
||||
Jenis Transaksi |
|
|
|
|
Waktu Transaksi |
|
|
|
|
Hak/Dokumen Kepemilikan |
|
|
|
|
Jumlah Penyesuaian 1 |
|
|
|
|
Indikasi Nilai Tanah 1/m2 |
|
|
|
|
PENYESUAIAN 2 (PENYESUAIAN PROPERTI) |
||||
Lokasi |
|
|
|
|
Luas Tanah (m2) |
|
|
|
|
Bentuk Tanah |
|
|
|
|
Jenis Tanah |
|
|
|
|
Kontur |
|
|
|
|
Elevasi dari permukaan jalan |
|
|
|
|
Peruntukan/Pemanfaatan sekitar |
|
|
|
|
Aksesibilitas |
|
|
|
|
Dst |
|
|
|
|
Jumlah Penyesuaian 2 |
|
|
|
|
Indikasi Nilai Tanah 1/m2 |
|
|
|
|
Pembobotan |
|
|
|
|
Nilai Wajar Setelah Pembobotan |
|
|
|
|
Nilai Wajar Per m2 |
|
|
||
Total Nilai Wajar |
|
|||
Pembulatan Nilai Wajar |
|
|||
Nilai Wajar Per m2 Stlh Pembulatan |
|
Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, apabila item-item antara objek penilaian dan objek
pembanding berbeda, maka dilakukan penyesuaian. Terdapat dua macam penyesuaian,
yaitu penyesuaian transaksi dan properti. Penyesuaian tersebut akan dimasukkan
sebagai persentase. Apabila objek penilaian lebih baik dibandingkan objek
pembanding, maka masukkan penyesuaian positif pada objek pembanding. Sedangkan
apabila objek pembanding lebih baik dibandingkan objek penilaian, maka masukkan
penyesuaian negatif pada objek pembanding. Terkait berapa besar persentase yang
harus dimasukkan, dapat melalui perhitungan analisis matematis maupun
penggunaan skala Likert bergantung pada masing-masing.
Untuk item pembobotan, item tersebut dihitung berdasarkan seluruh penjumlahan dari penyesuaian, tak melihat apakah penyesuaian tersebut positif atau negatif. Fungsi dari pembobotan ini adalah untuk menentukan nilai wajar dari objek pembanding. Total pembobotan dari tiap-tiap objek pembanding akan menghasilkan nilai 100 persen dan semakin tinggi pembobotan maka semakin menggambarkan bahwa objek pembanding sejenis dan sebanding dengan objek penilaian.
Nilai
Wajar Pembanding = Pembobotan x Indikasi Nilai
Nilai
Objek Penilaian per m2 = NW Pembanding 1+NW Pembanding 2+NW
Pembanding 3
B. Pendekatan Biaya (Cost Approach)
Dalam pendekatan biaya, nilai wajar
ditentukan dari biaya pembuatan/penggantian baru atau New Replacement Cost
(NRC) dikurangi dengan penyusutan. NRC adalah biaya yang dikeluarkan untuk
mendirikan gedung atau bangunan dengan kondisi yang lebih baru. Pada umumnya,
objek-objek penilaian yang dihitung dengan pendekatan biaya adalah BMN berupa
gedung dan bangunan. Namun, tak menutupi kemungkinan objek berupa kendaraan dan
peralatan dihitung dengan pendekatan biaya. Secara lebih rinci nilai wajar
dengan pendekatan biaya dapat ditentukan sebagai berikut:
Nilai Objek Penilaian = (NRC x (1 - P)) x (1 – Kf) x (1 – Ke)
P = Penyusutan
Fisik
Kf = Penyusutan
Fungsional
Ke = Penyususutan
Ekonomis
Dalam kasus bangunan, NRC dihitung melalui luas bangunan dan fasilitas dalam satuan m2 dikalikan dengan harga satuan yang terlampir pada Daftar Komponen Penilaian Bangunan (DKPB). NRC bangunan dapat berubah-ubah sesuai dengan jenis material yang digunakan dalam gedung. Material tersebut bisa berupa jenis kayu, jenis pasir, batu bata, genteng, dan sebagainya. DKPB juga berbeda-beda tergantung wilayahnya karena harga material yang digunakan untuk mendirikan bangunan akan berbeda pada tiap-tiap daerah. DKPB daerah Pekanbaru akan berbeda dengan daerah Sorong, dan sebaliknya.
Tak hanya itu, NRC juga dapat dihitung dengan cara lain, yaitu dengan metode koefisien harga. NRC dengan metode koefisien harga didapatkan dari hasil perkalian antara cost atau harga perolehan barang saat dibeli dikalikan dengan tingkat inflasi rata-rata selama umur ekonomis. Metode koefisien harga dapat dirumuskan sebagai berikut:
NRC = Harga Perolehan x (1 + i)n
Harga Perolehan = Harga saat pembelian (termasuk biaya-biaya terkait); i = tingkat inflasi rata-rata; dan n = umur ekonomis (tahun)
Setelah NRC didapatkan, langkah selanjutnya adalah menghitung penyusutan. Penyusutan dihitung dengan menghitung umur efektif bangunan. Umur efektif bangunan dapat ditentukan dengan cara mencari selisih antara tahun penilaian dan tahun dibangun. Penyusutan sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu penyusutan fisik, penyusutan fungsional, dan penyusutan ekonomis. Penyusutan fisik dapat terjadi karena faktor-faktor alamiah dan natural, contohnya adalah lantai bangunan yang sudah mulai retak dan bolong. Sedangkan penyusutan fungsional adalah menurunnya nilai aset karena adanya kesalahan desain, fasilitas aset yang sudah tak mendukung, dan penurunan manfaat karena aset yang sudah usang. Terakhir, penyusutan ekonomis adalah jenis penyusutan yang diakibatkan karena adanya perubahan dari peraturan-peraturan pemerintah sehingga membatasi penggunaan aset tersebut.
·
Kelebihan
o
Sangat
berguna untuk menilai barang milik negara yang memiliki banyak komponen atau
material seperti gedung dan bangunan.
·
Contoh
Sederhana
Diketahui Satker ABC memiliki bangunan
yang ingin dilakukan penilaian. Bangunan tersebut dibangun pada tahun 2013 dan
dinilai pada tahun 2018. Kondisi bangunan tersebut dalam keadaan baik dan hanya
memiliki satu lantai. Di sekitaran bangunan tidak ada fasilitas tertentu
seperti pagar. Diketahui luas bangunan tersebut 300 meter persegi dengan DKPB saat
itu di wilayah Pekanbaru sebesar Rp 2.539.679 dan penyusutan fisik 32 persen.
Penyusutan ekonomis dan fungsional diasumsikan 0 persen.
NRC = Luas Bangunan x DKPB
NRC = 300 meter persegi x Rp2.539.679
Setelah didapatkan jumlah NRC sebesar Rp 761.903.700, selanjutnya hitung nilai wajar bangunan.
Nilai Objek Penilaian = (NRC x (1 – P)) x (1 – Kf) x (1 – Ke)
Nilai Objek Penilaian = Rp 761.903.700 ( 1 – 32%) x (1 – 0%)
Sehingga didapatkan nilai wajar bangunan sebesar Rp 518.094.516 atau dibulatkan menjadi Rp 518.094.000.
C.
Pendekatan
Pendapatan (Income Approach)
Dengan
pendekatan pendapatan, nilai wajar aset ditentukan dari jumlah income atau
pendapatan yang dihasilkan dari aset tersebut. Aset yang dihitung menggunakan
pendekatan pendapatan adalah aset-aset yang menghasilkan pendapatan atau aset Highest
and Best Use (HBU). Secara komprehensif, aset HBU adalah aset yang mana
apabila daya guna dan fungsi aset tersebut dimanfaatkan secara maksimal akan
mendatangkan hasil yang maksimal. Sebuah
properti dikatakan telah memenuhi kriteria HBU bilamana secara fisik dimungkinkan
(physically feasible), diijinkan secara peraturan (legally
permissible), layak secara finansial (financially feasible), dan
dapat memberikan hasil yang paling maksimal (maximally productive).
Terdapat beberapa metode dalam pendekatan pendapatan, yaitu
metode kapitalisasi langsung (direct capitalization method), metode arus
kas yang didiskontokan (Discounted Cash Flow/DCF method), dan metode gross
income multiplier.
Pertama, metode kapitalisasi langsung atau direct
capitalization. Nilai wajar objek penilaian yang dihasilkan dengan metode
ini dihitung dari pendapatan bersih operasional tahunan di masa yang akan
datang dibagi dengan tingkat kapitalisasi tertentu. Pendapatan bersih
operasional merupakan hasil dari pendapatan operasional dikurangi biaya
operasional dan pajak. Terkait tingkat kapitalisasi, umumnya digunakan suku
bunga Bank Indonesia per tanggal penilaian atau juga dapat menggunakan suku
bunga obligasi/sukuk. Suku bunga obligasi dapat dilihat melalui website www.ibpa.co.id.
Nilai Objek Penilaian = Pendapatan Bersih Operasional / Tingkat Kapitalisasi
Kedua, metode arus kas yang didiskontokan atau DFC method. Arus kas di sini adalah proyeksi atau gambaran kas yang diterima di masa yang akan datang. Arus kas yang diterima tersebut akan dibawa nilainya ke masa sekarang atau disebut dengan istilah present value of money. Proyeksi kas yang diterima di masa yang akan datang itu dihitung berdasarkan data-data historis properti, seperti pendapatan yang diterima di masa lalu, sehingga dibutuhkan analisis prospektif untuk menggunakan metode ini. Untuk jangka waktu proyeksi arus kas masa depan, akan lebih baik melakukan analisis prospektif untuk lima hingga sepuluh tahun yang akan datang. Setelah proyeksi arus kas ditemukan, bagi tiap-tiap tahun dengan tingkat diskonto. Sama seperti metode kapitalisasi langsung, tingkat diskonto dapat menggunakan suku bunga BI atau suku bunga obligasi/sukuk. Metode DCF dapat dirumuskan sebagai berikut:
DCF = CF11 / (1+r) + CF12 /
(1+r) + … + CF1n / (1+r)
CF1 = Proyeksi arus kas tahun ke-1 di masa yang akan datang
CF2 = Proyeksi arus kas tahun ke-2 di masa yang akan datang
Cfn = Proyeksi arus kas tahun ke-n di masa yang akan datan
r = Tingkat
diskonto
Metode selanjutnya adalah metode GIM. Dengan metode ini nilai objek penilaian didapatkan dari hasil perkalian antara pendapatan kotor tahunan dengan konstanta tertentu. Konstanta tersebut adalah multiplier pendapatan kotor. Terdapat dua macam pendapatan kotor pada metode ini, yaitu pendapatan kotor potensial (potensial gross income/PGI) dan pendapatan kotor efektif (effective gross income/EGI). Pendapatan kotor potensial adalah pendapatan kotor yang diterima apabila properti tersebut tidak terdapat kekosongan atau tingkat okupansi sama dengan 100 persen. Sedangkan pendapatan kotor efektif adalah pendapatan kotor potensial dikurangi dengan vacancy and colletion loss, yaitu pendapatan yang tidak diterima karena penurunan tingkat okupansi. Dalam metode ini juga dibutuhkan nilai PGI dan EGI dari properti yang sejenis dan sebanding agar perhitungan GIM dapat dilakukan. Jika PGI digunakan sebagai dasar untuk penilaian, maka GIM dihitung dari PGI properti pembanding. Begitupun sebaliknya. Perumusan metode GIM dapat dituliskan sebagai berikut:
PGI Multiplier (PGIM) = Price Pembanding / PGI Pembanding
EGI
Multiplier (EGIM) = Price Pembanding / EGI Pembanding
Nilai
Objek Penilaian = PGIM x PGI Objek Pembanding
Nilai
Objek Penilaian = EGIM x EGI Objek Pembanding
· Kelebihan
o
Sangat
relevan untuk aset yang Highest and Best Use (HBU).
·
Contoh
Sederhana
Diketahui sebuah properti yang akan
dinilai memiliki pendapatan kotor efektif sebesar Rp 600.000.000. Properti yang
sebanding memiliki pendapatan kotor efektif sebesar Rp 650.000.000 dengan nilai
jual Rp 1.625.000.000. Tentukan nilai properti dengan metode GIM!
Pertama, hitung dulu multipliernya. Karena diketahui pendapatan kotor efektif, maka:
EGI Multiplier = 1.625.000.000 / 650.000.000 = 2,5
Setelah
multiplier didapatkan, hitung nilai objek penilaian.
Nilai Objek Penilaian = 2,5 x 600.000.000 = 1.500.000.000
Sehingga
didapatkan nilai objek penilaian sebesar Rp 1.500.000.000
D. Simpulan
Tiga
pendekatan penilaian properti memiliki kelebihan dan keterbatasannya
masing-masing. Misalkan saja pendekatan pasar, objek yang dapat dijadikan objek
pembanding harus memenuhi persyaratan sejenis dan sebanding, apabila tak
ditemukan objek yang memenuhi persyaratan tersebut, maka tim penilai harus
menggunakan pendekatan yang lain. Namun pendekatan ini cukup menggambarkan
kondisi pasar. Selanjutnya pendekatan biaya. Dalam pendekatan ini tim penilai
harus memiliki informasi penting berupa material-material dan spesifikasi yang
dimiliki. Rincian tersebut harus mendetail agar tak terjadi salah perhitungan.
Data berupa harga perolehan aset juga harus dimiliki. Terakhir, pendekatan pendapatan.
Melalui pendekatan ini penilai dihadapkan dengan tiga metode yang memiliki
karakteristiknya masing-masing. Penentuan tingkat diskonto dan kapitalisasi tak
mudah, analisis prospektif berupa penentuan arus kas yang akan diterima pun tak
mudah. Tetapi, sangat cocok untuk properti yang mendatangkan pendapatan. Oleh
karena itu, setiap pendekatan penilaian memiliki pro dan kontra nya
masing-masing, pilihan terakhir berada di tangan penilai untuk menggunakan
pendekatan yang tepat demi hasil yang akurat.
Daftar
Pustaka
Kurniawan,
R. (2016, Juli 18). Persyaratan Kompetitif Bagi Data Pembanding Dalam
Pendekatan Data Pasar. Kementerian Keuangan. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/10808/Persyaratan-Kompetitif-Bagi-Data-Pembanding-Dalam-Pendekatan-Data-Pasar.html
Suprapno.
(2010, Mei 4). Pemahaman Sederhana Konsep Highest And Best Uses Analysis.
Kementerian Keuangan. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/2305/Pemahaman-Sederhana-Konsep-Highest-And-Best-Uses-Analysis.html
The
Income Approach to Real Estate Valuation.
(2019, Juli 23). PropertyMetrics.
https://propertymetrics.com/blog/income-approach/
PMK Nomor 2 Tahun 2008 tentang Penilaian Barang Milik Negara
PMK Nomor 173 Tahun 2020 tentang Penilaian oleh Penilai Pemerintah Di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
***
Ditulis oleh : M. Yuda
Riansyah Hasim
Disunting oleh : Agus
Heru Pitoyo