Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Pekanbaru > Artikel
Tiga Pendekatan Penilaian Properti, Mana yang Paling Baik?
Eva Resia
Jum'at, 16 April 2021   |   59625 kali

Penilaian BMN/BMD merupakan salah satu proses yang dilakukan untuk menilai suatu barang milik negara atau barang milik daerah. Penilaian terhadap BMN/BMD dapat ditujukan untuk kepentingan penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, atau pemindahtanganan. Proses penilaian atas BMN/BMD dilakukan oleh penilai pemerintah yang telah memiliki kompetensi di bidang penilaian. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173 tahun 2020 tentang Penilaian oleh Penilai Pemerintah di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang mulai berlaku sejak 2 Februari 2021, penilaian yang dilaksanakan oleh oleh penilai pemerintah dapat dilaksanakan secara tim maupun perorangan, menyusul telah ditetapkan dan dilantiknya jabatan fungsional penilai di lingkungan DJKN.

Tata cara penilaian secara umum meliputi 3 tahapan yakni diawali dengan adanya permohonan atau penugasan penilaian, dilanjutkan dengan pelaksanaan penilaian, dan diakhiri dengan kaji ulang laporan penilaian. Pada dasarnya setiap proses penilaian atas BMN/BMD harus dilakukan berdasarkan permohonan. Namun demikian selaku penilai pemerintah, penilaian dapat dilakukan tanpa didahului dengan adanya permohonon jika didasarkan pada penugasan langsung yang diperintahkan oleh Menteri dan/atau Direktur Jenderal.

Tahapan tata Cara Penilaian

1.   Permohonan atau penugasan Penilaian

Sebagaimana disebutkan diawal bahwa pelaksanaan penilaian selalu diawali dengan adanya permohonan penilaian sebagai dasar untuk pelaksanaan tugas penilaian. Pada tahapan ini permohonan penilaian diajukan secara tertulis oleh pemohon yang mempunyai kewenangan untuk mengajukan permohonan disertai dengan data-data sebagai berikut:

a.    Identitas objek yang dimohonkan penilaian;

b.    Jenis nilai yang dimohonkan; dan

c.    Data dan informasi yang terkait dengan objek penilaian yang dimohonkan.

Kelengkapan dan kebenaran atas data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam hal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemohon penilaian.

 

2.   Pelaksanaan Penilaian

Pelaksanaan penilaian adalah tahapan berikutnya setelah diterimanya dokumen/berkas permohonan penilaian. Dokumen/berkas permohonan penilaian selanjutnya diproses melalui tahapan sebagai berikut:

a.    Identifikasi atas permohonan atau penugasan Penilaian;

b.    Penentuan tujuan penilaian;

c.    Pengumpulan data dan informasi;

d.    Analisis data dan informasi;

e.    Penentuan pendekatan Penilaian;

f.     Simpulan nilai; dan

g.    Penyusunan laporan penilaian

 

3.   Kaji Ulang Laporan Penilaian

Kaji ulang laporan penilaian adalah tahap akhir dari tata cara penilaian ditujukan dalam rangka pembinaan Penilai Pemerintah dan peningkatan kualitas laporan penilaian. Hal-hal yang dikaji ulang dalam laporan penilaian antara lain:

a.    Administrasi laporan penilaian; dan

b.    Prosedur dan penerapan metode Penilaian.

Kaji ulang laporan penilaian dilakukan secara berjenjang. Laporan Penilaian yang dibuat oleh Penilai KPKNL dikaji ulang oleh Penilai pada Kanwil DJKN yang ditunjuk, demikian juga laporan penilaian yang disusun oleh Penilai pada Kanwil DJKN akan dikaji ulang oleh Penilai Kantor Pusat DJKN. Hal ini sebagai bentuk Quality Control sekaligus bagian pembinaan terhadap penilai pemerintah.


PENDEKATAN PENILAIAN DALAM PENILAIAN PROPERTI

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173 tahun 2020, mengenal 3 macam pendekatan dalam penilaian Properti. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 41 PMK 173/2020. Pendekatan penilaian yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1.    Pendekatan pasar;

2.    Pendekatan biaya; dan/atau

3.    Pendekatan pendapatan.

Dalam tata cara pelaksanaan penilaian, setelah Penilai atau Tim Penilai melakukan Identifikasi atas permohonan atau penugasan Penilaian, menentukan tujuan penilaian, malukukan pengumpulan data dan informasi, dan melakukan analisis data dan informasi maka selanjutnya penilai akan menetukan pendekatan penilaian yang akan digunakan pada saat penilaian. Penilai atau Tim penilai akan memilih salah satu dari ketiga pendekatan yang sesuai dengan objek penilaian yang akan dinilai. Tahap ini sangat penting karena masing-masing pendekatan memiliki karakteristiknya masing-masing. Jika Penilai atau tim penilai tidak memilih pendekatan yang tepat, maka dapat berdampak pada nilai wajar yang dihasilkan pada saat perhitungan pada kertas kerja penilaian. Oleh karena itu, baik Penilai perorangan maupun Tim penilai harus betul-betul memahami pendekatan penilaian sebelum melakukan kegiatan penilaian.

A.   Pendekatan Harga Pasar (Market Approach)


Pendekatan harga pasar adalah proses penentuan nilai wajar aset berdasarkan harga jual aset yang serupa dengan objek penilaian. Pendekatan ini mengharuskan Penilai atau tim penilai untuk melakukan survei lapangan dengan tujuan mencari aset yang serupa/objek pembanding dengan objek penilaian. Persyaratan fundamental yang harus diperhatikan dalam mencari objek pembanding adalah harus “sejenis” dan “sebanding”.

Makna “sejenis” di sini adalah objek pembanding yang digunakan berada pada segmen pasar yang sama dengan objek penilaian atau objek pembanding memiliki potensial pembeli yang sama dengan objek penilaian. Sedangkan makna “sebanding” adalah objek pembanding memiliki karakteristik dan spesifikasi yang sama dengan objek penilaian, baik secara fisik maupun nonfisik.

Objek pembanding yang dimasukkan minimal berjumlah dua objek, tapi akan jauh lebih baik lebih dari dua. Namun demikian jumlah pembanding yang berjumlah banyak belum tentu juga menggambarkan objek pembanding yang sejenis dan sebanding. Oleh karena itu, pembatasan terhadap jumlah pembanding juga diperlukan. DJKN mensyaratkan jumlah pembanding paling sedikit 2 dan yang paling optimal adalah 3 pembanding. Lebih dari 3 (tiga) diperbolehkan asalkan benar-benar sejenis dan sebanding.  

Pada kasus tertentu, objek pembanding yang ditemukan biasanya tak memenuhi persyaratan sejenis dan sebanding. Dikarenakan objek yang dijadikan data pembanding tak sama persis, hanya sejenis dan sebanding dengan objek penilaian, maka perlu dilakukan beberapa penyesuaian. Penyesuaian dilakukan apabila ada beberapa karakteristik atau item dalam objek penilaian yang berbeda dengan objek pembanding. Dalam melakukan penyesuaian, tim penilai harus menetapkan besaran penyesuaian untuk masing-masing objek. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan persentase atau dengan teknik perhitungan lain yang bisa menjelaskan atas hal-hal yang disesuaikan tersebut. Yang perlu diperhatikan, setiap perbedaan yang mengharuskan adanya penyesuaian, besarnya penyesuaian tersebut hanya akan mengubah nilai objek pembanding, bukan pada objek penilaian.

·      Kelebihan

o  Nilai objek pembanding sangat menggambarkan ekonomi pasar/transaksi di pasar.

o  Lebih mudah dipahami dan lebih sederhana.

o  Katersediaan data pembanding untuk property-properti tertentu sangat mudah didapatkan seperti rumah type 36, 45, tanah kosong, dan sebagainya

Berikut adalah contoh format untuk menghitung nilai wajar tanah menggunakan pendekatan data pasar.

Objek Pembanding I

Objek Pembanding

II

Objek Pembanding

III

Objek

Penilaian

Foto Objek

Alamat

Koordinasi Geografis

Sumber Informasi

Luas Tanah

Harga Tanah

Harga Tanah / m2 (Rp)

PENYESUAIAN 1 (PENYESUAIAN TRANSAKSI)

Jenis Transaksi

 

 

 

 

Waktu Transaksi

 

 

 

 

Hak/Dokumen Kepemilikan

 

 

 

 

Jumlah Penyesuaian 1

 

 

 

 

Indikasi Nilai Tanah 1/m2

 

 

 

 

PENYESUAIAN 2 (PENYESUAIAN PROPERTI)

Lokasi

 

 

 

 

Luas Tanah (m2)

 

 

 

 

Bentuk Tanah

 

 

 

 

Jenis Tanah

 

 

 

 

Kontur

 

 

 

 

Elevasi dari permukaan jalan

 

 

 

 

Peruntukan/Pemanfaatan sekitar

 

 

 

 

Aksesibilitas

 

 

 

 

Dst

 

 

 

 

Jumlah Penyesuaian 2

 

 

 

 

Indikasi Nilai Tanah 1/m2

 

 

 

 

Pembobotan

 

 

 

 

Nilai Wajar Setelah Pembobotan

 

 

 

 

Nilai Wajar Per m2

 

 

Total Nilai Wajar

 

Pembulatan Nilai Wajar

 

Nilai Wajar Per m2 Stlh Pembulatan

 

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, apabila item-item antara objek penilaian dan objek pembanding berbeda, maka dilakukan penyesuaian. Terdapat dua macam penyesuaian, yaitu penyesuaian transaksi dan properti. Penyesuaian tersebut akan dimasukkan sebagai persentase. Apabila objek penilaian lebih baik dibandingkan objek pembanding, maka masukkan penyesuaian positif pada objek pembanding. Sedangkan apabila objek pembanding lebih baik dibandingkan objek penilaian, maka masukkan penyesuaian negatif pada objek pembanding. Terkait berapa besar persentase yang harus dimasukkan, dapat melalui perhitungan analisis matematis maupun penggunaan skala Likert bergantung pada masing-masing.

Untuk item pembobotan, item tersebut dihitung berdasarkan seluruh penjumlahan dari penyesuaian, tak melihat apakah penyesuaian tersebut positif atau negatif. Fungsi dari pembobotan ini adalah untuk menentukan nilai wajar dari objek pembanding. Total pembobotan dari tiap-tiap objek pembanding akan menghasilkan nilai 100 persen dan semakin tinggi pembobotan maka semakin menggambarkan bahwa objek pembanding sejenis dan sebanding dengan objek penilaian.


Nilai Wajar Pembanding = Pembobotan x Indikasi Nilai

Nilai Objek Penilaian per m2 = NW Pembanding 1+NW Pembanding 2+NW Pembanding 3

B.   Pendekatan Biaya (Cost Approach)


Dalam pendekatan biaya, nilai wajar ditentukan dari biaya pembuatan/penggantian baru atau New Replacement Cost (NRC) dikurangi dengan penyusutan. NRC adalah biaya yang dikeluarkan untuk mendirikan gedung atau bangunan dengan kondisi yang lebih baru. Pada umumnya, objek-objek penilaian yang dihitung dengan pendekatan biaya adalah BMN berupa gedung dan bangunan. Namun, tak menutupi kemungkinan objek berupa kendaraan dan peralatan dihitung dengan pendekatan biaya. Secara lebih rinci nilai wajar dengan pendekatan biaya dapat ditentukan sebagai berikut:

                                                 Nilai Objek Penilaian = (NRC x (1 - P)) x (1 – Kf) x (1 – Ke)

                                                P          =          Penyusutan Fisik

                                                Kf        =          Penyusutan Fungsional

                                                Ke        =          Penyususutan Ekonomis

Dalam kasus bangunan, NRC dihitung melalui luas bangunan dan fasilitas dalam satuan m2 dikalikan dengan harga satuan yang terlampir pada Daftar Komponen Penilaian Bangunan (DKPB). NRC bangunan dapat berubah-ubah sesuai dengan jenis material yang digunakan dalam gedung. Material tersebut bisa berupa jenis kayu, jenis pasir, batu bata, genteng, dan sebagainya. DKPB juga berbeda-beda tergantung wilayahnya karena harga material yang digunakan untuk mendirikan bangunan akan berbeda pada tiap-tiap daerah. DKPB daerah Pekanbaru akan berbeda dengan daerah Sorong, dan sebaliknya.

Tak hanya itu, NRC juga dapat dihitung dengan cara lain, yaitu dengan metode koefisien harga. NRC dengan metode koefisien harga didapatkan dari hasil perkalian antara cost atau harga perolehan barang saat dibeli dikalikan dengan tingkat inflasi rata-rata selama umur ekonomis. Metode koefisien harga dapat dirumuskan sebagai berikut:

NRC = Harga Perolehan x (1 + i)n

Harga Perolehan = Harga saat pembelian (termasuk biaya-biaya terkait); i = tingkat inflasi rata-rata; dan n = umur ekonomis (tahun)

Setelah NRC didapatkan, langkah selanjutnya adalah menghitung penyusutan. Penyusutan dihitung dengan menghitung umur efektif bangunan. Umur efektif bangunan dapat ditentukan dengan cara mencari selisih antara tahun penilaian dan tahun dibangun. Penyusutan sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu penyusutan fisik, penyusutan fungsional, dan penyusutan ekonomis. Penyusutan fisik dapat terjadi karena faktor-faktor alamiah dan natural, contohnya adalah lantai bangunan yang sudah mulai retak dan bolong. Sedangkan penyusutan fungsional adalah menurunnya nilai aset karena adanya kesalahan desain, fasilitas aset yang sudah tak mendukung, dan penurunan manfaat karena aset yang sudah usang. Terakhir, penyusutan ekonomis adalah jenis penyusutan yang diakibatkan karena adanya perubahan dari peraturan-peraturan pemerintah sehingga membatasi penggunaan aset tersebut.

·         Kelebihan

o   Sangat berguna untuk menilai barang milik negara yang memiliki banyak komponen atau material seperti gedung dan bangunan.

 

·         Contoh Sederhana

Diketahui Satker ABC memiliki bangunan yang ingin dilakukan penilaian. Bangunan tersebut dibangun pada tahun 2013 dan dinilai pada tahun 2018. Kondisi bangunan tersebut dalam keadaan baik dan hanya memiliki satu lantai. Di sekitaran bangunan tidak ada fasilitas tertentu seperti pagar. Diketahui luas bangunan tersebut 300 meter persegi dengan DKPB saat itu di wilayah Pekanbaru sebesar Rp 2.539.679 dan penyusutan fisik 32 persen. Penyusutan ekonomis dan fungsional diasumsikan 0 persen.

NRC = Luas Bangunan x DKPB

NRC = 300 meter persegi x Rp2.539.679

 

Setelah didapatkan jumlah NRC sebesar Rp 761.903.700, selanjutnya hitung nilai wajar bangunan.

Nilai Objek Penilaian = (NRC x (1 – P)) x (1 – Kf) x (1 – Ke)

Nilai Objek Penilaian = Rp 761.903.700 ( 1 – 32%) x (1 – 0%)

Sehingga didapatkan nilai wajar bangunan sebesar Rp 518.094.516 atau dibulatkan menjadi Rp 518.094.000.

C.   Pendekatan Pendapatan (Income Approach)

Dengan pendekatan pendapatan, nilai wajar aset ditentukan dari jumlah income atau pendapatan yang dihasilkan dari aset tersebut. Aset yang dihitung menggunakan pendekatan pendapatan adalah aset-aset yang menghasilkan pendapatan atau aset Highest and Best Use (HBU). Secara komprehensif, aset HBU adalah aset yang mana apabila daya guna dan fungsi aset tersebut dimanfaatkan secara maksimal akan mendatangkan hasil yang maksimal. Sebuah properti dikatakan telah memenuhi kriteria HBU bilamana secara fisik dimungkinkan (physically feasible), diijinkan secara peraturan (legally permissible), layak secara finansial (financially feasible), dan dapat memberikan hasil yang paling maksimal (maximally productive).

Terdapat beberapa metode dalam pendekatan pendapatan, yaitu metode kapitalisasi langsung (direct capitalization method), metode arus kas yang didiskontokan (Discounted Cash Flow/DCF method), dan metode gross income multiplier.

Pertama, metode kapitalisasi langsung atau direct capitalization. Nilai wajar objek penilaian yang dihasilkan dengan metode ini dihitung dari pendapatan bersih operasional tahunan di masa yang akan datang dibagi dengan tingkat kapitalisasi tertentu. Pendapatan bersih operasional merupakan hasil dari pendapatan operasional dikurangi biaya operasional dan pajak. Terkait tingkat kapitalisasi, umumnya digunakan suku bunga Bank Indonesia per tanggal penilaian atau juga dapat menggunakan suku bunga obligasi/sukuk. Suku bunga obligasi dapat dilihat melalui website www.ibpa.co.id.

       Nilai Objek Penilaian = Pendapatan Bersih Operasional / Tingkat Kapitalisasi

 Kedua, metode arus kas yang didiskontokan atau DFC method. Arus kas di sini adalah proyeksi atau gambaran kas yang diterima di masa yang akan datang. Arus kas yang diterima tersebut akan dibawa nilainya ke masa sekarang atau disebut dengan istilah present value of money. Proyeksi kas yang diterima di masa yang akan datang itu dihitung berdasarkan data-data historis properti, seperti pendapatan yang diterima di masa lalu, sehingga dibutuhkan analisis prospektif untuk menggunakan metode ini. Untuk jangka waktu proyeksi arus kas masa depan, akan lebih baik melakukan analisis prospektif untuk lima hingga sepuluh tahun yang akan datang. Setelah proyeksi arus kas ditemukan, bagi tiap-tiap tahun dengan tingkat diskonto. Sama seperti metode kapitalisasi langsung, tingkat diskonto dapat menggunakan suku bunga BI atau suku bunga obligasi/sukuk. Metode DCF dapat dirumuskan sebagai berikut:

                                    DCF = CF11 / (1+r) + CF12 / (1+r) + … + CF1n / (1+r)

CF1 = Proyeksi arus kas tahun ke-1 di masa yang akan datang

CF2 = Proyeksi arus kas tahun ke-2 di masa yang akan datang

Cfn = Proyeksi arus kas tahun ke-n di masa yang akan datan

r     = Tingkat diskonto

 Metode selanjutnya adalah metode GIM. Dengan metode ini nilai objek penilaian didapatkan dari hasil perkalian antara pendapatan kotor tahunan dengan konstanta tertentu. Konstanta tersebut adalah multiplier pendapatan kotor. Terdapat dua macam pendapatan kotor pada metode ini, yaitu pendapatan kotor potensial (potensial gross income/PGI) dan pendapatan kotor efektif (effective gross income/EGI). Pendapatan kotor potensial adalah pendapatan kotor yang diterima apabila properti tersebut tidak terdapat kekosongan atau tingkat okupansi sama dengan 100 persen. Sedangkan pendapatan kotor efektif adalah pendapatan kotor potensial dikurangi dengan vacancy and colletion loss, yaitu pendapatan yang tidak diterima karena penurunan tingkat okupansi. Dalam metode ini juga dibutuhkan nilai PGI dan EGI dari properti yang sejenis dan sebanding agar perhitungan GIM dapat dilakukan. Jika PGI digunakan sebagai dasar untuk penilaian, maka GIM dihitung dari PGI properti pembanding. Begitupun sebaliknya. Perumusan metode GIM dapat dituliskan sebagai berikut:

                  PGI Multiplier (PGIM) = Price Pembanding / PGI Pembanding

                        EGI Multiplier (EGIM) = Price Pembanding / EGI Pembanding

                        Nilai Objek Penilaian = PGIM x PGI Objek Pembanding

                        Nilai Objek Penilaian = EGIM x EGI Objek Pembanding

             ·         Kelebihan

o   Sangat relevan untuk aset yang Highest and Best Use (HBU).

·         Contoh Sederhana

Diketahui sebuah properti yang akan dinilai memiliki pendapatan kotor efektif sebesar Rp 600.000.000. Properti yang sebanding memiliki pendapatan kotor efektif sebesar Rp 650.000.000 dengan nilai jual Rp 1.625.000.000. Tentukan nilai properti dengan metode GIM!

 Pertama, hitung dulu multipliernya. Karena diketahui pendapatan kotor efektif, maka:

EGI Multiplier = 1.625.000.000 / 650.000.000 = 2,5 

Setelah multiplier didapatkan, hitung nilai objek penilaian.

 Nilai Objek Penilaian = 2,5 x 600.000.000 = 1.500.000.000 

Sehingga didapatkan nilai objek penilaian sebesar Rp 1.500.000.000

 

D.   Simpulan


Tiga pendekatan penilaian properti memiliki kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Misalkan saja pendekatan pasar, objek yang dapat dijadikan objek pembanding harus memenuhi persyaratan sejenis dan sebanding, apabila tak ditemukan objek yang memenuhi persyaratan tersebut, maka tim penilai harus menggunakan pendekatan yang lain. Namun pendekatan ini cukup menggambarkan kondisi pasar. Selanjutnya pendekatan biaya. Dalam pendekatan ini tim penilai harus memiliki informasi penting berupa material-material dan spesifikasi yang dimiliki. Rincian tersebut harus mendetail agar tak terjadi salah perhitungan. Data berupa harga perolehan aset juga harus dimiliki. Terakhir, pendekatan pendapatan. Melalui pendekatan ini penilai dihadapkan dengan tiga metode yang memiliki karakteristiknya masing-masing. Penentuan tingkat diskonto dan kapitalisasi tak mudah, analisis prospektif berupa penentuan arus kas yang akan diterima pun tak mudah. Tetapi, sangat cocok untuk properti yang mendatangkan pendapatan. Oleh karena itu, setiap pendekatan penilaian memiliki pro dan kontra nya masing-masing, pilihan terakhir berada di tangan penilai untuk menggunakan pendekatan yang tepat demi hasil yang akurat.


Daftar Pustaka

Kurniawan, R. (2016, Juli 18). Persyaratan Kompetitif Bagi Data Pembanding Dalam Pendekatan Data Pasar. Kementerian Keuangan. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/10808/Persyaratan-Kompetitif-Bagi-Data-Pembanding-Dalam-Pendekatan-Data-Pasar.html

Suprapno. (2010, Mei 4). Pemahaman Sederhana Konsep Highest And Best Uses Analysis. Kementerian Keuangan. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/2305/Pemahaman-Sederhana-Konsep-Highest-And-Best-Uses-Analysis.html

The Income Approach to Real Estate Valuation. (2019, Juli 23). PropertyMetrics. https://propertymetrics.com/blog/income-approach/

PMK Nomor 2 Tahun 2008 tentang Penilaian Barang Milik Negara

PMK Nomor 173 Tahun 2020 tentang Penilaian oleh Penilai Pemerintah Di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara


***

Ditulis oleh : M. Yuda Riansyah Hasim

Disunting oleh : Agus Heru Pitoyo



Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini