“KPKNL
Pekalongan... SAKPORE....!!!”
Merupakan jargon yang biasa dipekikkan oleh insan KPKNL Pekalongan, salah
satunya dalam penutup acara Galang Semangat Pagi (GSP) hari Selasa dan Kamis
tiap minggunya. Pertama kali mengetahui kata “SAKPORE” adalah saat melihat nama
profil KPKNL Pekalongan pada laman facebook resmi KPKNL Pekalongan ketika saya masih
bertugas pada Kanwil DJKN Jateng dan DIY. Agak mengernyit dahi saat membacanya,
sedikit bertanya-tanya apakah mungkin sebuah akun kantor bisa sampai keliru
mengetikkan huruf “R” yang seharusnya adalah huruf “L” pada kata “SAKPORE”,
sehingga harusnya kata itu adalah “SAKPOLE” yang saya pahami pada bahasa Semarangan artinya adalah “yang paling tinggi/yang paling top”.
Bagi beberapa orang, kesalahan kecil dalam bahasa verbal akan begitu
terasa dan mengganggu, untuk kemudian haus akan arti suatu kata baru atau
sekedar mengungkapkan penilaian “ini loh kata yang dipakai seharusnya”. Tapi
kemudian pikiran itu berlalu saja, pun demikian hari-hari bekerja, berlalu.
Hingga akhirnya SK mutasi akhir tahun 2019 membuat saya berjodoh dengan
kota Pekalongan, sekaligus memboyong keluarga ke kota baru ini. Tinggal di sini membuat makin sering saja telinga mendengar dan mata melihat kata
“SAKPORE”, juga dialek asli yang paling sering terdengar yakni kata “po’o”
sebagai pengakhir kalimat pembicaraan. Awalnya kata “po’o” sendiri saya kira
bisa diartikan seperti dialek semarangan saat menambah partikel “ik” di akhir
kalimat, yang tidak menambah arti kata. Kemudian akhirnya mengerti bahwa arti
kata “po’o” adalah “hanya atau saja”.
Mari kembali ke kata “SAKPORE”.
Saya menemui kata-kata SAKPORE saat bersepeda keliling kampung, di salah
satu nama jalan di kampung tersebut dituliskan jargon “RT 07 Jalan Melati
SAKPORE”, kemudian salah satu kios Mi Ayam yang memberi nama warungnya “Mi Ayam
SAKPORE”, kemudian pada penjual sate pisang yang menuliskan nama pada gerobak
jualannya “Sate Pisang SAKPORE”. Juga kata “SAKPORE” digunakan untuk menamai
beberapa aplikasi pelayanan di Pekalongan oleh Pemerintah Daerah.
Merujuk pada salah satu berita pada media lokal Radar Pekalongan, mantan
walikota Pekalongan HM Saelany Machfudz SE memaparkan arti kata “SAKPORE” yakni
hebat atau top. Pemerintah Kota Pekalongan ingin menggalakkan penggunaan dialek
Pekalongan sebagai upaya untuk melestarikan budaya asli Pekalongan. Salah satu
langkah yang dilakukan yakni dengan menggelar Lomba menulis Anekdot Dialek
Pekalongan. Hal itu dilakukan untuk membangkitkan kembali Dialek Pekalongan
agar tidak terhapus oleh perkembangan zaman.
Akhirnya terdapat kesesuaian
atas tebakan terdahulu akan arti kata sakpore yang mirip dengan arti kata
sakpole (yang berarti top/hebat). Satu hal yang keliru adalah prasangka saya
terhadap laman Facebook KPKNL Pkl Sakpore yang dulunya saya pikir terdapat
kesalahan penulisan huruf “R” yang seharusnya “L” pada nama akun tersebut.
Orang bijak mengatakan bahwa pemilihan nama, panggilan, sebutan bisa
berarti menyisipkan doa dan harapan bagi yang diberi nama. Nama dan panggilan
bukan sekedar penanda. Bagi KPKNL Pekalongan, jargon yang dipilih tentu saja
juga menyelipkan doa-doa dan harapan bahwa KPKNL Pekalongan akan dapat terus
mempertahankan cita-citanya menjadi salah satu instansi terbaik dalam hal pelayanan
kepada masyarakat, menjadi tempat bernaung yang nyaman dan penyemangat untuk
pegawainya, serta sebagai instansi yang konsisten berkontribusi kepada negara
Indonesia tercinta. Lebih daripada itu, selain sebagai harapan akan tujuan
instansi, penggunaan kata “SAKPORE” dalam jargon KPKNL Pekalongan merupakan
wujud nyata dukungan kepada Pemerintah Kota Pekalongan untuk ikut melestarikan
dialek asli daerah yang harus dipertahankan penggunaannya.
Salam SAKPORE.
(Penulis : Ratih
Prihatina, staff Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Pekalongan)