Tahukah
kamu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terbagi menjadi dua kepulauan besar yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung?
Dalam mendukung pemerataan pembangunan, pertumbuhan dan stabilitas ekonomi
serta keselarasan pembangunan nasional dan daerah di Pulau
Belitung, pada tahun 2015 didirikan
Bandar Udara yang diberi nama Bandar Udara Internasional H.A.S. Hanandjoeddin atau sebelumnya
dikenal juga dengan nama Bandar Udara Buluh Tumbang. Nama bandara tersebut diambil dari nama tokoh
militer H.A.S.
Hanandjoeddin.
Bangka Belitung
memiliki hubungan erat dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, menjadi salah satu lokasi pengasingan para
pendiri bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta,
M Roem, dan pahlawan nasional lainnya. Ada sejumlah tokoh yang dinilai
berperan besar dalam perjuangan
bangsa. Di antaranya HAS Hanandjoeddin yang dijadikan nama bandara di Pulau Belitung, serta Depati Amir yang
telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional dan
dijadikan nama bandara
di Pulau Bangka.
Haji
Ahmad Sanusi Hanandjoeddin lahir di Tanjung Tikar, Bangka Belitung, pada 5
Agustus 1910. HAS Hanandjoeddin adalah tokoh militer
Indonesia yang berperan
besar dalam peristiwa Agresi Militer Belanda I dan II.
Pada 1931, ia menempuh pendidikan di Ambacht
School (Sekolah Pertukangan) di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung.
Setelah lulus, Hanandjoeddin ditetapkan sebagai karyawan teknik dan ditugaskan di perusahaan Belanda,
Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Billiton
(GMB).
Sebelum
menjabat sebagai Bupati Belitung di tahun 1967 hingga 1972, HAS Hanandjoeddin ikut andil dalam
peperangan melawan bangsa
penjajah. Ketika Jepang
menduduki Indonesia pada 1942,
HAS Hanandjoeddin pindah ke Malang dan tergabung
dalam Ozawa Butai
(Satuan Permukaan Darat Jepang), di mana ia dipercaya menjadi
Hancho (pemimpin kelompok). Seiring dengan menyerahnya
Jepang kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, Ozawa Butai dibubarkan.
Setelah Indonesia
merdeka, Kelompok Pemuda Bagian Udara
yang dipimpin oleh HAS Hanandjoeddin
bergabung bersama Badan Keamanan Rakyat (BKR) Malang yang berubah nama menjadi Divisi III Jawa Timur.
Pada Oktober 1945, dibentuk BKR Udara (BKRO)
Malang yang kemudian berubah
nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat. HAS Hanandjoeddin diangkat sebagai pelaksana teknis lapangan di BKRO Malang.
HAS Hanandjoeddin mengikuti sekolah militer yang didirikan oleh Panglima Divisi III pasca
jatuhnya Surabaya ke tangan Sekutu pada 12 November
1945.
Pada
Januari 1946, HAS Hanandjoeddin
ditugaskan sebagai Komandan Pertahanan Teknik
Udara Pangkalan Bugis dan telah menyumbangkan beberapa keberhasilan
seperti memperbaiki pengebom Shoki
(Ki-48) dan memberikan pesawat Cukiu kepada Sekola Penerbangan Darurat Yogyakarta. Pada 9 April 1946, HAS
Hanandjoeddin diberi pangkat Opsir Muda III (Letnan Muda Udara) oleh Komodor
Udara Soerjadi Soerjadarma
Pada
Agresi Militer Belanda I di tahun 1947, HAS Hanandjoeddin dan anggota teknik
lainnya berhasil menyelamatkan 15 pesawat terbang
yang ada di Pangkalan Udara Bugis. HAS Hanandjoeddin kemudian
dipercaya untuk menjadi
Komandan Pertempuran Sektor
I STC III Front
Malang
Timur dan Komandan Pertempuran Sektor II. Sampai akhirnya, pada 17 Januari
1948, Perjanjian Renville
ditandatangani. Sayangnya, dampak dari perjanjian ini adalah ditarik
mundurnya Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dari Jawa Barat dan Jawa Timur.
gresi Militer
Belanda II yang berlangsung pada 19 Desember
1948, HAS Hanandjoeddin kembali ke medan
pertempuran sebagai komandan memimpin pasukannya di Sektor Watulimo. Pasca
Belanda menguasai Pangkalan
Udara Campurdarat, H.A.S. Hanandjoeddin ditunjuk
untuk menangani urusan pertahanan AURI sebagai Wakil Danlanud Campurdarat.
Instruksi Panglima Besar Jenderal Soedirman tanggal
19 Desember 1948 agar seluruh Angkatan Perang RI melakukan perang gerilya membuat
H.A.S. Hanandjoedin dipercaya
sebagai Komandan Onder Distrik Militer
(ODM) Pakel. Walaupun
pada tanggal 7 Mei 1948 ditandatanganinya
Perjanjian Roem-Roijen, tapi Panglima Besar Jenderal Soedirman
telah mengeluarkan seruan agar
seluruh prajurit Angkatan Perang RI tidak angkat tangan. Setelah dilangsungkan Konferensi Meja Bundar (KMB)
pada 27 Desember 1949, Pangkalan Udara Bugis
Malang diserahkan dari Belanda kepada Angkatan Udara RI (AURI).
Setelah itu, HAS Hanandjoeddin pun kembali ke Malang dan
menjabat sebagai Kepala Jawatan Teknik Udara
Pangkalan Udara Bugis.
Itulah
beberapa perjuangan H.A.S. Hanandjoeddin dalam memperebutkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. HAS Hanandjoeddin kemudian
meninggal pada 5 Februari 1995 dan disemayamkan di tempat kelahirannya, Belitung.
Dalam menghormati
jasa-jasa H.A.S. Hanandjoeddin, Pemerintah Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung menjadikan H.A.S. Hanandjoeddin sebagai
nama Bandar Udara Tanjungpandan Kabupaten
Belitung. Sejak tahun 2018, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung terus memperjuangkan Letnan Kolonel Pas (Purn.) H.A.S. Hanandjoeddin sebagai
pahlawan nasional, sebagai
bentuk penghormatan dan penghargaan atas jasa para pahlawan memperjuangkan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sumber :
• https://id.wikipedia.org/wiki/H.A.S._Hanandjoeddin
• https://www.kompas.com/stori/read/2022/01/10/090000379/has-hanandjoeddin- kehidupan-dan-perjuangannya?page=all
• https://historia.id/politik/articles/hanandjoeddin-perintis-di-tengah-keterbatasan- DrR3L/page/1