Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Pengetahuan
Wahyu Dwi Prasetya
Selasa, 29 November 2022   |   26582 kali

Pengetahuan, dapat ditafsirkan sebagai segala sesuatu yang diketahui, pedoman dalam membentuk suatu tindakan seseorang, dan dapat juga didefinisikan sebagai hasil penginderaan  terhadap segala sesuatu yang telah terjadi dan dilewati berdasarkan pengalaman.

Seorang filsuf Irlandia yang Bernama George Berkeley pernah mengemukakan pandangannya  tentang pengatahuan. Menurut Berkeley, “pengetahuan adalah segala sesuatu yang diperoleh manusia yang bersandar pada pengamatan”. Pengamatan yang dimaksud Berkeley merupakan pengamatan yang tidak terjadi karena hubungan antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati, melainkan karena hubungan antara pengamatan indera yang satu dengan yang lainnya. Berangkat dari pemikiran tersebut, dewasa ini banyak definisi yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak hanya berarti sesuatu pengalaman yang positif, pengetahuan juga dapat berupa suatu pengalaman yang berdiri pada sisi negatif. Sisi positif dan negatif ini tidak hanya muncul dari sumber pengetahuan itu sendiri, namun hal tersebut muncul dari interpretasi setiap orang yang mengetahui dan memaknai pengetahuan tersebut.

Selain Berkeley, terdapat juga pandangan dari seorang Filsuf Perancis yang Bernama Rene Descartes. Descartes sangat familiar dengan beberapa pemikiran-pemikiran yang cukup banyak diadopsi dalam filsuf modern saat ini. Salah satu ungkapan Descartes yang erat kaitannya dengan pengetahuan ialah, “Cogito Ergo Sum” yang memiliki arti “Aku Berpikir Maka Aku Ada”. Secara luas, ungkapan ini dapat dimaknai bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan orang itu sendiri. Keberadaan ini dapat dibuktikan dengan fakta bahwa seorang manusia mampu berpikir dan menjalankan kehidupannya dengan berbekal pada hasil pikir yang ditelaah dan untuk kemudian dijadikan sebagai suatu sumber pengetahuan.

Berdasarkan pada pandangan dan ungkapan dari Berkeley dan Descartes ini, secara singkat dapat ditarik suatu pemahaman terkait dengan pengetahuan. Pengetahuan merupakan hal yang sejatinya diperoleh setiap manusia berdasarkan pada buah pemikiran terhadap suatu hal yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung, dan adanya hubungan antara indera yang satu dan lainnya. Pengetahuan akan terus tumbuh kembang berdasarakan seberapa banyak pengalaman dan berapa banyak hal-hal yang mampu ditangkap oleh indera dan dijadikan sebagai suatu sumber pemikiran. Normalnya, pengetahuan seorang manusia dapat terus berkembang seiring bertambahnya usia dan pola pikir yang terus berkembang. Namun, perkembangan pengetahuan ini tidak mutlak menjadikan seorang manusia itu lebih baik dari sebelumnya. Banyak pengamatan dan penalaahan atas beberapa ilmu dan kejadian yang diperoleh tidak mampu diinterpretasikan oleh manusia. Terkadang, pengetahuan yang diperoleh manusia itu sendiri mengarahkan pada suatu pemikiran yang cenderung tidak baik dan terlihat bahwa adanya kesalahan dalam proses pengamatan suatu sumber pengetahuan atau dalam proses pengimplementasian pengetahuan itu sendiri.

Sejatinya, tumbuh kembang seorang manusia harusnya diimbangi dengan kemajuan pola pikir  dan pengetahuan. Terlebih lagi saat seorang manusia berada pada fase dewasa, manusia dituntut untuk mampu menjadi insan yang majemuk, open minded terhadap pengetahuan baru dan pemikiran- pemikiran yang berbeda pada lingkungan sekitarnya. Ketika seorang manusia mampu belajar untuk menerima perbedaaan, menerima sebuah tantangan, dan mampu mengungkapkan pemikiran dan gagasan-gagasan yang dapat dijadikan sumber pengetahuan oleh manusia lainnya, hal itu dapat menjadi suatu pertanda bahwa seorang manusia telah mampu menangkap pengetahuan melalui indera, mengeliminasi sifat dari suatu pengetahuan (pengetahuan baik atau buruk), menelaah melalui  cara pikir yang konstruktif untuk membangun pengetahuan yang baru, dan pada akhirnya manusia tersebut telah mengalami proses peningkatan pola pikir dan pengetahuan.

Dalam dunia kerja, niscaya akan terjadi suatu proses pertukaran pengetahuan antar pegawai.  Seseorang dapat mengambil satu peran sebagai pembelajar dan/atau sebagai sumber suatu pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh dalam dalam dunia kerja umumnya diperoleh dari ajaran suatu agama atau aliran yang dibawa sejak lahir, pengetahuan eksak dan non eksak yang diterima selama mengenyam bangku pendidikan, norma-norma yang berlaku pada masyarakat, dan dapat pula  diperoleh berdasarkan pada pengamatan dari orang dan lingkungan sekitar. Pengetahuan yang dimiliki setiap orang memiliki kadar yang berbeda-beda. Pengetahuan dari satu manusia dan manusia lainnya terkadang tidak mampu diadopsi dan dijadikan sebagai suatu sumber pengetahuan baru jika dalam proses penerimaan pengetahuan tersebut terdapat suatu perbedaan pandangan ataupun penafsiran. Bahkan pada tahapan yang sangat ekstrem, terkadang pemahaman dan penafsiran suatu pengetahuan ini akan membawa seseorang dalam dunia kerja terjerumus dalam suatu permasalahan. Contohnya, seseorang yang perlahan-lahan mulai memahami cara untuk melakukan fraud, akan memiliki dua kecenderungan. Kecenderungan pertama, orang tersebut akan mampu memaknai bahwa pengetahuan tentang fraud tersebut bukan merupakan pengetahuan yang baik dan dapat menemukan cara dan solusi untuk menanggulangi atau bahkan menghindari penyebab dari adanya fraud tersebut. Kecenderungan kedua, seorang manusia yang telah mengetahui tentang pola yang mendalam tentang suatu fraud, maka manusia tersebut akan berpikir untuk mencoba dan bahkan mengembangkan pengetahuannya untuk lebih dalam mengkonstruksi skenario fraud yang akan  dijalankan.

Contoh pemahaman dan implementasi pengetahuan dalam dunia kerja tersebut merupakan salah satu gambaran bahwa seseorang akan menemukan banyak moment yang mampu membentuk karakteristik yang bersumber dari pengetahuan. Setiap manusia akan menemukan moment dan pola penelaahan pengetahuan yang berbeda-beda. Moment dan pola tersebut sejatinya dapat membentuk hubungan simbiosis mutualisme antar pegawai dalam satu lingkup kerja. Hubungan simbiosis mutualisme harfiahnya merupakan hal yang baik untuk menghadapi berbagai macam dinamika kerja.  Bagi suatu organisasi atau perusahaan, menjaga kualitas sumber daya manusia merupakan hal yang idealnya diutamakan agar mampu membawa organisasi atau perusahaan tersebut mencapai tujuannya. Pengembangan sumber daya manusia ini sejatinya merupakan salah satu langkah untuk membentuk insan yang benar-benar diterima keberadaannya karena mampu berpikir dan meningkatkan pengetahuannya.

 Penulis: Zemy Herda Hisvanda

 Refrensi artikel:

1.        F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 2007,hal.82

2.        Fitzerald Kennedy Sitorus, Rene Descartes”Saya Berifkir, Maka Saya Ada” (Makalah kelas Filsafat, Komunitas Salihara, Jakarta, 12 November 2016), hal.1

3.        Aquido Adri dan Syaiful Hadi, Descartes, Spinoza, Berkeley (Menguak Tabir Pemikiran Filsafat Rasionalisme dan Empirisme), Jakarta: Sociality Yogyakarta, 2017, hal. 20

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini