Pangkalpinang - Guys, tahukah kamu jika Indonesia sudah beberapa kali mengalami pergantian ibu kota? Ya, sebagian dari kamu mungkin akan menyebut Yogyakarta dan Bukittinggi yang pernah menjadi ibu kota Indonesia. Padahal ada satu kota di Provinsi Bangka Belitung yang secara tidak resmi ditunjuk sebagai Ibu kota Negara.
Pangkalpinang memang tidak pernah secara resmi ditunjuk
menjadi Ibu Kota. Peran itu bersandingan dengan Bukittinggi, Sumatra Barat,
yang menerima mandat langsung saat para pemimpin Republik di Yogyakarta
ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948. Mr. Sjafruddin Prawiranegara menerima
mandat untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Bukittinggi. Ia menjadi Presiden Indonesia selama 207 hari.
Sementara Lambertus Nicodemus Palar mendirikan perwakilan RI
di Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Misi diplomatik Palar berhasil membuat PBB menekan Belanda agar mau
berunding dengan Indonesia. Namun, Belanda tidak mau berunding dengan PDRI.
Belanda memilih dengan para pemimpin RI yang diasingkan ke Bangka sejak 22
Desember 1948 sampai Juli 1949.
Para pemimpin itu adalah Wakil Presiden Mohammad Hatta,
Sekretaris Negara AG Pringgodigdo, Ketua Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
MR Assaat, dan Kepala Staf AU Soerjadarma yang diasingkan di Pesanggrahan
Menumbing. Mereka menghuni pesanggrahan di Bukit Menumbing, Bangka Barat sejak 22 Desember 1948 sampai Juli 1949.
Pada saat bersamaan, Presiden Soekarno dan Menteri Luar
Negeri Agus Salim diasingkan di Wisma Ranggam yang terletak di Muntok, Bangka
Barat, mulai 5 Februari 1949. ”Secara de facto, kala itu pemimpin utama
Republik ada di Bangka. Dalam bukunya,
Setengah Abad Pangkalpinang sebagai Daerah Otonom (Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Pangkalpinang, 2006) dijelaskan, awalnya perundingan digelar di
Wisma Menumbing. Selanjutnya, perundingan dipindahkan ke Pangkalpinang.
Lokasi perundingan sekarang menjadi Museum Timah Indonesia, walau sudah tidak lagi tersisa barang-barang saat perundingan digelar. Perundingan-perundingan di rumah itu terutama membahas kerangka perjanjian Roem-Royen. Perjanjian pada 7 Mei 1949 itu diikuti Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 2 November 1949. Dalam konferensi itu disepakati, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia 27 Desember 1949.
Bukti lain status Pangkalpinang sebagai ibu kota adalah prasasti di Taman Sari. Taman itu terletak di sisi utara Lapangan Merdeka. Tugu itu diresmikan Bung Hatta pada 17 Agustus 1949. Tugu itu berisi tulisan: Prasasti Surat Kuasa Kembalinya Republik Indonesia ke Yogyakarta. Diserahkan oleh Ir. Soekarno kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Media Juni 1949. Salinan naskah asli surat kuasa itu masih tersimpan di Wisma Menumbing. Dalam naskah asli, memang tidak tercantum tanggalnya. Hanya tertulis Juni 1949.
Pentingnya status Bangka, khususnya
Pangkalpinang, pada masa itu diakui oleh MR AG Pringgodigdo. Dalam Memoir
Mohammad Hatta, Pringgodigdo menyatakan, pusat percaturan politik internasional
kala itu ada di PBB dan Bangka. Sejarah-sejarah
di luar Jawa sering dianggap sebagai kejadian-kejadian kecil dan tidak penting.
Faktanya, keberlanjutan Indonesia sebagai negara ditentukan lewat
perundingan-perundingan di Pangkalpinang.