Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kegagalan sebagai Self Improvement
Justinus Benni Indrianto
Rabu, 29 September 2021   |   4432 kali

Sekitar tahun 2019 sampai awal tahun 2020, dunia literasi sempat heboh oleh buku karya Mark Manson dengan judul “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, Pendekatan yang Waras demi Menjalani Hidup yang Baik”. Buku ini merupakan buku terlaris versi New York Times dan Globe and Mail dan menjadi bestselling juga di Gramedia. Buku ini menjadi topik hangat dikalangan peminat literasi terutama kaum milenial yang menganggap sangat mencerminkan diri mereka lewat narasi yang dibawakan.

Buku ini merupakan buku jenis self improvement. Buku self improvement adalah buku yang di dalamnya memiliki “power” untuk memberikan instruksi, informasi, dan masukan kepada pembaca mengenai pengembangan diri bahkan problem solving. Penulis sendiri juga merasa “tertampar” setelah selesai membaca buku ini karena banyak narasi yang sangat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Tidak hanya itu, pengarang buku ini juga memberikan motivasi dan solusi terutama masalah kepercayaan diri kita.

Buku ini terdiri atas 9 bab yang jika diulas satu per satu tidak akan ada habisnya. Jika disuruh memilih, penulis akan memilih satu bab yang menurutnya relate dengan dinamika quarter life crisis (krisis seperempat abad) yang dialami.

Kegagalan adalah Jalan untuk Maju

Paradoks Kegagalan/Kesuksesan

Kegagalan adalah konsep yang relatif. Menghindari kegagalan adalah sesuatu yang dipelajari dalam kehidupan kita. Pada titik tertentu, sebagian besar dari kita berhasil meraih suatu posisi yang mengondisikan kita untuk takut gagal, untuk menghindari kegagalan secara naluriah, dan hanya terpaku pada apa yang ada di depan kita atau hanya pada bidang yang sudah kita kuasai.

Ini membatasi dan menghambat manusia. Kita hanya bisa benar-benar sukses jika ada suatu bidang yang memungkinkan kita untuk rela gagal. Jika kita tidak bersedia untuk gagal, kita pun tidak bersedia untuk sukses.

Ketakutan untuk gagal, kebanyakan datang dari salah pilih nilai-nilai yang buruk. Contohnya, jika penulis mengukur diri dengan standar “Membuat siapa pun yang saya temui menyukai saya,” penulis akan menjadi cemas, karena kegagalan 100 persen ditentukan oleh tindakan orang lain, bukan tindakan sendiri. Saya tidak memiliki kendali; karena penghargaan diri saya ada pada penilaian orang lain.

Lain halnya, jika penulis ingin mengadopsi ukuran “Memperbaiki kehidupan sosial saya,” saya dapat hidup dengan nilai “menjalin hubungan baik dengan orang lain” entah apa pun tanggapan orang lain terhadap saya. Penilaian diri saya berdasar pada perilaku dan kebahagiaan saya sendiri.

Jika ukuran dari nilai “sukses dengan standar duniawi” adalah “Membeli rumah dan mobil bagus,” dan menghabiskan 20 tahun bekerja keras untuk mewujudkannya, begitu ini berhasil diraih, ukuran tadi tidak ada artinya lagi. Tidak ada peluang lain untuk tetap bertumbuh dan memperbaiki diri, padahal pertumbuhanlah yang menghasilkan kegembiraan, bukan daftar panjang pencapaian egois saja.

Derita adalah bagian dari proses

Mungkin sekarang ini, banyak yang sedang menghadapi tantangan yang paling signifikan dalam hidup dan limbung karena semua hal yang sebelumnya dipikirkan benar dan normal serta baik telah berubah menjadi sebaliknya.

Pengarang buku menekankan, bahwa derita adalah bagian dari proses. Penting untuk merasakan-nya. Karena jika hanya mengejar kesenangan di atas rasa sakit, jika membiarkan diri terlena dengan kesombongan dan pemikiran positif yang delusional, jika terus memanjakan diri dalam berbagai hal atau kegiatan, kita tidak akan pernah menemukan motivasi yang menjadi syarat untuk benar-benar berubah.

Banyak orang, ketika merasakan suatu bentuk rasa sakit atau amarah atau kesedihan, mengabaikan semuanya dan mulai merasakan kebal atas semua perasaan yang menghinggapi. Sasaran mereka adalah untuk secepat mungkin “merasa baik” kembali, bahkan jika itu berarti mengubah atau menipu diri sendiri. Belajarlah untuk menahan rasa sakit yang telah dipilih. Ketika memilih sebuah nilai baru, sama saja memilih untuk memasukkan bentuk rasa sakit baru ke dalam hidup. Rasakan. Nikmati. Terima dengan tangan terbuka. Kemudia, lakukanlah.

Hidup adalah tentang tidak mengetahui apa pun dan kemudian melakukan sesuatu, apa pun yang terjadi. Segala hal dalam kehidupan berlaku seperti ini. Tidak pernah berubah. Bahkan saat bagahia sekali pun.

Prinsip “Lakukan Sesuatu”

Ketika kurang motivasi untuk membuat suatu perubahan dalam hidup, lakukan sesuatu—apapun itu, sungguh—kemudian manfaatkan reaksi dari aksi tersebut sebagai cara untuk mulai memotivasi diri sendiri.

Jika mengikuti prinsip “lakukan sesuatu”, kegagalan terasa tidak penting. Ketika standar kesuksesan hanya “melakukan sesuatu”—ketika setiap hasil dianggap sebagai sebuah kemajuan dan penting, inspirasi dilihat sebagai imbalan ketimbang suatu prasyarat—mendorong kita lebih maju. Kita merasa bebas untuk gagal, dan kegagalan itulah yang menggerakkan kita ke depan.

Prinsip “lakukan sesuatu” bukan hanya membantu kita saat kita tergoda untuk menunda suatu pekerjaan, namun ini juga menjadi bagian dari proses mengadopsi nilai-nilai baru. “Sesuatu” itu bisa saja berupa tindakan yang paling kecil di antara yang lainnya. Ini bisa apa saja.

 

Terdapat satu kutipan yang menjadi favorit penulis dari buku ini

Jangan berusaha. Jangan pernah mencoba untuk menjadi orang lain (selain diri sendiri).

Jujur pada diri sendiri, mengakui hal-hal yang paling buruk.

 

Referensi:

Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat oleh Mark Manson

 

 Eka Febri N. S – KPKNL Pangkalan Bun

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini