Pengelolaan barang rampasan memiliki peran strategis dalam rangka upaya pemulihan aset (asset recovery) tindak pidana. Pengelolaan barang rampasan merupakan ujung dari mata rantai proses pemulihan aset tindak pidana. Optimalisasi pengelolaan barang rampasan akan mempengaruhi keluaran (outcome) dari tahapan proses pemulihan aset yang telah dilakukan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengelolaan barang rampasan harus dilakukan dengan memperhatikan baik aspek penegakan hukum (law enforcement) dan juga aspek pengelolaan aset (asset management). Aspek penegakan hukum merupakan inti dari proses pemulihan aset. Proses ini dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sebagai bagian dari proses hukum yang dilakukan dalam rangka penanganan suatu perkara tindak pidana. Seiring perkembangannya, penanganan perkara tindak pidana dilakukan tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelaku tindak pidana melainkan juga sebisa mungkin memulihkan kerugian yang diakibatkan tindak pidana yang dilakukan. Aspek manajemen aset merupakan komponen yang perlu ditambahkan kedalam kerangka proses pemulihan aset yang telah ada guna memperoleh hasil yang optimal dari rangkaian proses yang telah dilakukan. Proses manajemen aset dalam pengelolaan aset hasil pemulihan aset tindak pidana dilakukan dengan memperhatikan prinsip efektifitas, efisiensi, dan fleksibilitas.
Pendekatan manajemen aset dalam
pengelolaan aset hasil pemulihan aset tindak pidana sangat penting dilakukan setidaknya
untuk mengatasi dua permasalahan umum yang sering dihadapi dalam upaya
pemulihan aset tindak pidana. Pertama, permasalahan terkait biaya yang harus
dikeluarkan dalam rangka pemeliharaan, pengamanan, dan penyimpanan aset selama
proses hukum dilakukan. Kedua, permasalahan nilai aset pada saat aset akan dieksekusi.
Permasalahan terkait biaya dan nilai aset timbul akibat lamanya waktu
penyelesaian suatu perkara hingga memperoleh keputusan yang telah berkekuatan
hukum tetap sebagai dasar eksekusi. Lamanya waktu penyelesaian perkara
mengakibatkan lamanya rentang waktu antara penyitaan aset hingga perampasan aset.
Akibatnya terjadi pembengkakan biaya yang harus dikeluarkan terhadap aset di
satu sisi dan penurunan nilai aset di sisi lain. Kedua hal tersebut berkorelasi
negatif terhadap hasil pemulihan aset yang akan diperoleh sehingga tidak
optimal. Hal tersebut kemudian menjadi pertimbangan dalam menerapkan mekanisme non-conviction based (NCB) dalam proses
perampasan aset. Namun demikian baik mekanisme conviction based maupun non-conviction
based tidak akan memperoleh hasil yang optimal tanpa penerapan
prinsip-prinsip manajemen aset di dalamnya.
Persoalannya, dengan belum juga
disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) perampasan aset tindak pidana, mekanisme
non-conviction based belum dapat
diterapkan dalam proses pemulihan aset berdasarkan kerangka hukum yang ada saat
ini. Perampasan aset, sesuai Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dilakukan dengan mekanisme conviction base. Disamping itu penerapan
prinsip manajemen aset dalam pengelolaan aset tindak pidana hanya dimungkinkan
terhadap aset yang dinyatakan telah dirampas. Aset yang telah dirampas
berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut
telah memenuhi kriteria sebagai barang milik negara sehingga mekanisme
pengelolaan asetnya mengikuti mekanisme pengelolaan barang milik negara. Meskipun,
pelaksanaan fungsi pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) atas barang rampasan
tersebut dilakukan seiring dengan pelaksanaan fungsi eksekutorial jaksa atas
putusan hakim. Untuk mencapai hasil yang optimal itu perlu adanya terobosan
yang dilakukan dalam rangka pemulihan aset tindak pidana. Terobosan tersebut
dilakukan dari sisi penyederhanaan atau percepatan proses dan dari sisi
pengelolaan asetnya.
Pengelolaan barang rampasan saat ini
dilakukan berdasarkan pendekatan dari sisi penegakan hukum dan pengelolaan
barang milik negara. Dari sisi penegakan hukum, pengurusan barang rampasan
merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi eksekutorial dalam rangka menjalankan
putusan pengadilan. Kewenangan eksekutorial ini melekat secara fungsional pada jaksa
sebagai penuntut umum yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Terkait barang rampasan, kewenangan
eksekutorial jaksa secara spesifik diatur dalam pasal 273 ayat 3 dan 4
Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Beleid tersebut memberi
kewenangan jaksa, dalam jangka waktu tertentu, untuk menguasakan penjualan atas
barang rampasan kepada kantor lelang dan menyetorkan hasil penjualannya ke kas
negara. Dari sisi pengelolaan Barang Milik Negara, sesuai pasal 1 ayat 10 UU
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara j.o. pasal 2 ayat 1 huruf (b)
dan ayat 2 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, barang rampasan telah memenuhi definisi
sebagai Barang Milik Negara. Sebagai Barang Milik Negara, pengelolaan barang
rampasan mengikuti ketentuan pengelolaan Barang Milik Negara. Kewenangan
pengelolaan Barang Milik Negara, sesuai ketentuan pengelolaan Barang Milik
Negara, dilaksanakan oleh Pengelola Barang, Pengguna Barang, dan Kuasa Pengguna
Barang.
Terkait fungsi pengelolaan barang
rampasan, Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang menerbitkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara
yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi, yang kemudian
diganti dengan PMK Nomor 8/PMK.06/2018 dan terakhir dengan PMK nomor 145/PMK.06/2021.
Regulasi tersebut mengatur kewenangan Menteri Keuangan, Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Jaksa Agung, dan Oditur Militer dalam pengelolaan
barang rampasan. Pengaturan kewenangan ini dilakukan guna mengakomodir fungsi
eksekutorial, yang dimiliki jaksa pada KPK, Kejaksaan, dan Oditurat dalam
pengelolaan barang rampasan. Pelaksanaan fungsi eksekutorial ini diistilahkan
sebagai pengurusan barang rampasan. Oleh karenanya, Pimpinan KPK, Jaksa Agung, Oditur
Militer dalam beleid tersebut, ditetapkan
sebagai Pengurus Barang Rampasan. Sedangkan Menteri Keuangan, sesuai
kewenangannya, merupakan Pengelola Barang Rampasan. Kewenangan pengelolaan
barang rampasan yang diberikan kepada Pengurus Barang Rampasan, selanjutnya
disebut pengurus barang, antara lain ialah melakukan penatausahaan, pengamanan,
dan mengajukan usulan pengelolaan barang rampasan. Sedangkan kewenangan
Pengelola Barang Rampasan, selanjutnya disebut pengelola barang, ialah
menetapkan keputusan dan menandatangani surat persetujuan usulan pengelolaan
barang rampasan yang diajukan Pengurus Barang Rampasan.
Pengelolaan barang rampasan,
sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 145/PMK.06/2021, dilakukan dengan
memperlakukan barang rampasan sebagai aset yang berada pada pengurus barang. Oleh
karenanya, mekanisme pengelolaan barang rampasan analogi dengan mekanisme
pengelolaan Barang Milik Negara pada Pengguna Barang, yang mana pengelolaannya
dilakukan atas dasar usulan dari Pengguna Barang. Dalam pengelolaan barang
rampasan, Pengurus Barang memiliki fungsi sebagaimana halnya Pengguna Barang
untuk Barang Milik Negara lainnya. Fungsi tersebut meliputi fungsi
penatausahaan, pengamanan, dan pengelolaan. Perbedaannya, selain memiliki
fungsi-fungsi tersebut, Pengurus Barang juga memiliki fungsi eksekutorial.
Fungsi eksekutorial tersebut memungkinkan Pengurus Barang melakukan tindakan
eksekutorial berupa penjualan secara lelang atas barang rampasan tanpa melalui persetujuan
Pengelola Barang.
Mekanisme pengelolaan barang rampasan
dilakukan berdasarkan usulan Pengurus Barang dan persetujuan Pengelola Barang. Pelaksanaan
fungsi pengelolaan tersebut dapat dilakukan dengan atau tanpa didahului
pelaksanaan fungsi eksekutorial. Pengelolaan barang rampasan yang didahului
pelaksanaan fungsi eksekutorial dilakukan terhadap barang rampasan tidak laku
dijual secara lelang. Pengelolaan barang rampasan tanpa didahului pelaksanaan
fungsi eksekutorial dilakukan terhadap barang rampasan yang diperlukan untuk
kepentingan negara, diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah
Daerah, dan barang rampasan selain tanah/bangunan dengan kriteria tertentu. Pengelolaan
barang rampasan tersebut meliputi penetapan status penggunaan, pemindahtanganan,
pemanfaatan, pemusnahan, dan penghapusan. Penetapan status penggunaan dilakukan
terhadap barang rampasan yang diperlukan untuk kepentingan negara.
Pemindahtanganan dalam bentuk hibah kepada Pemerintah Daerah dilakukan terhadap
rampasan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah. Pemanfaatan
dilakukan guna mengoptimalkan nilai, meningkatkan penerimaan, mencegah
pemanfaatan oleh pihak lain, dan untuk kepentingan umum. Pemusnahan dilakukan
terhadap barang rampasan selain tanah/bangunan yang tidak memiliki nilai
ekonomis, membahayakan lingkungan dan tata niaga, dilarang untuk beredar, atau
berada dalam kondisi busuk/lapuk. Penghapusan dilakukan dalam hal barang
rampasan sudah tidak berada pada penguasaan pengurus barang.
Tabel 1: Jenis
dan pertimbangan pengelolaan barang rampasan
Jenis Pengelolaan |
Pertimbangan |
Penetapan
Status Penggunaan |
Diperlukan
untuk kepentingan negara |
Pemindahtanganan
(Hibah kepada Pemerintah Daerah) |
Diperlukan
untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah |
Pemanfaatan |
§ Mengoptimalkan
nilai barang rampasan; § Meningkatkan
penerimaan negara; § Mencegah
pemanfaatan oleh pihak lain; atau § Kepentingan
umum. |
Pemusnahan |
§ Tidak memiliki
nilai ekonomis; § Membahayakan
lingkungan dan tata niaga; § Dilarang untuk
beredar; atau § Berada dalam
kondisi busuk/lapuk. |
Penghapusan |
Sudah tidak
berada pada penguasaan pengurus barang |
Mekanisme pengelolaan barang rampasan
dengan memperlakukan barang rampasan sebagai aset pada Pengurus Barang dan
memberi kewenangan pengelolaan kepada KPK, Kejaksaan, dan Oditurat menimbulkan
beberapa problematika. Pertama, pengelolaan barang rampasan sebagai aset pada
Pengurus Barang menyebabkan terbatasnya kewenangan Pengelola Barang dalam
melakukan pengelolaan. Peran Pengelola Barang cenderung terbatas hanya pada
fungsi administrator dan otorisator. Pengelolaan barang rampasan terbatas hanya
pada usulan pengelolaan yang diajukan Pengurus Barang. Pengelola Barang tidak
dapat menentukan alternatif pengelolaan lain yang dapat memberi manfaat lebih
besar sehingga pengelolaan barang rampasan tidak dapat dilakukan secara
optimal. Kedua, pemberian kewenangan pengelolaan kepada KPK, Kejaksaan, dan
Oditurat dalam pengelolaan barang rampasan tidak memiliki landasan yuridis yang
cukup. Dasar pemberian kewenangan Pimpinan KPK dan Jaksa Agung sebagai Pengurus
Barang tidak memiliki rujukan hukum baik pada KUHAP maupun PP Nomor 27 Tahun
2014. KUHAP hanya memberi kewenangan eksekutorial kepada jaksa untuk melakukan
penjualan barang rampasan dan menyetorkan hasil penjualannya ke kas negara.
Sedangkan kewenangan pengelolaan Barang Milik Negara sesuai UU Nomor 1 Tahun
2004 dan PP Nomor 27 Tahun 2014 diberikan kepada Pengelola Barang, Pengguna
Barang, dan Kuasa Pengguna Barang.
Ketiga, permasalahan penatausahaan. Barang
rampasan saat ini dicatat dan dilaporkan sebagai bagian dari Laporan Barang
Kuasa Pengguna KPK/Kejaksaan. Hal ini terjadi karena dalam penatausahaan barang
rampasan tidak ada pembedaan peran fungsional antara Pengurus Barang dan
Pengguna Barang. Barang rampasan dicatat sebagai persediaan pada neraca Laporan
Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) KPK/Kejaksaan. Pencatatan barang rampasan
ke dalam akun persediaan dianggap memenuhi definisi persediaan sebagai
barang-barang yang dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka
pelayanan kepada masyarakat. Namun demikian, pelaporan barang rampasan sebagai
aset pada LKKL KPK/Kejaksaan dinilai kurang tepat mengingat barang rampasan
bukan merupakan aset yang digunakan untuk pelaksanaan tugas operasional KPK/Kejaksaan
atau digunakan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Selain itu barang
rampasan juga pada dasarnya merupakan barang yang belum ditetapkan status
penggunaannya sehingga pencatatan pada pengguna barang semestinya belum dapat dilakukan.
Pencatatan barang rampasan dan barang milik negara lain yang digunakan untuk
pelaksanaan tugas dan fungsi dan telah ditetapkan status penggunaannya pada KPK/Kejaksaan
seharusnya dilakukan terpisah sebagaimana pencatatan Barang Milik Negara Pengguna
Barang dan Barang Milik Negara Pengelola Barang pada Kementerian Keuangan.
Persoalannya, pemisahan pelaporan itu tidak dapat dilakukan pada KPK/Kejaksaan karena
KPK/Kejaksaan hanya menyusun LKKL KPK/Kejaksaan, tidak seperti Kementerian
Keuangan yang selain menyusun LKKL Kementerian Keuangan juga menyusun laporan
keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN).
Dalam upaya perampasan aset tindak
pidana terdapat dua mekanisme yang dapat digunakan. Mekanisme tersebut ialah mekanisme
perampasan aset yang didasarkan pada dakwaan pidana (conviction based asset forfeiture) dan perampasan aset tanpa
didasarkan pada dakwaan pidana (non-conviction
based asset forfeiture). Mekanisme conviction
based dalam perampasan aset tindak pidana dilakukan dengan terlebih dahulu
melakukan pembuktian kesalahan pelaku tindak pidana melalui dakwaan di
persidangan. Jaksa harus dapat membuktikan terlebih dahulu kesalahan terdakwa
dan hubungan langsung antara tindak kejahatan yang dilakukan dengan aset yang
akan dirampas sebagai hasil tindak pidana. Mekanisme conviction based dilakukan berdasarkan asas pembuktian materiil dan
dilakukan dalam kerangka hukum pidana. Berlawanan dengan mekanisme conviction base, mekanisme non-conviction based dalam perampasan
aset pidana dilakukan tanpa terlebih dahulu membuktikan kesalahan pelaku tindak
pidana. Persidangan dilakukan tanpa
harus melalui dakwaan kepada pelaku tindak pidana melainkan hanya dengan melakukan
pembuktian aset sebagai hasil tindak kejahatan. Mekanisme non-conviction based dilakukan berdasarkan asas pembuktian formil
dan dilakukan dalam kerangka hukum perdata.
Mekanisme pertama merupakan mekanisme
yang lazim digunakan dalam kerangka hukum pidana yang ada saat ini. Sedangkan mekanisme
kedua merupakan terobosan hukum yang dapat dilakukan guna mempercepat proses
perampasan dan pemulihan aset. Baik mekanisme pertama maupun kedua sebenarnya
telah diakomodir dalam kerangka hukum yang berlaku saat ini. Mekanisme non-conviction based pada dasarnya telah dimungkinkan
dalam KUHAP melalui mekanisme perampasan in rem. Namun demikian, sesuai
ketentuan yang diatur dalam KUHAP, mekanisme perampasan in rem hanya dapat
dilakukan setelah mekanisme conviction based
telah dilakukan terlebih dahulu. Hal ini berbeda semangatnya dengan mekanisme non-conviction based sebagaimana
dinyatakan dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menentang korupsi (United Nations Convention Againts Corruption/UN
CAC) tahun 2003 yang telah diratifikasi melalui Undang-undang (UU) Nomor 7
Tahun 2006. Dalam konvensi tersebut, guna mempercepat upaya pemulihan aset (asset recovery), mekanisme non-conviction based dalam perampasan
aset harus dilakukan sebelum proses pembuktian materiil dalam persidangan.
Namun demikian, terlepas dari kelebihan yang dimiliki, mekanisme non-conviction based dalam perampasan
aset tindak pidana yang dilakukan tanpa pembuktian materiil di persidangan
dianggap berpotensi melanggar hak-hak kepemilikan individu yang dilindungi
konstitusi, prinsip keadilan dan kesamaan dihadapan hukum, dan asas praduga tak
bersalah.
Tabel 2: Kelebihan
dan kelemahan masing-masing mekanisme perampasan aset
Mekanisme conviction base |
Mekanisme non-conviction
base |
Kelebihan: Perampasan aset
memiliki dasar yang kuat berupa putusan hakim berdasarkan asas-asas
pembuktian materiil dalam persidangan. |
Kelebihan: Perampasan aset
dapat dilakukan dengan proses yang lebih cepat sehingga pemulihan aset tindak
pidana dapat dilakukan dengan lebih optimal.
|
Kelemahan: Proses
persidangan pidana seringkali memakan waktu yang lama dan tidak dapat
dipastikan jangka waktunya sehingga pemulihan aset menjadi tidak optimal. |
Kelemahan: Perampasan aset
dikhawatirkan melanggar hak-hak kepemilikan individu yang dilindungi
konstitusi, prinsip keadilan dan kesamaan dihadapan hukum, dan asas praduga
tak bersalah |
Tahapan proses pemulihan aset dengan
mekanisme conviction based yang lazim
digunakan meliputi tahapan kegiatan pengumpulan data (collecting data), pengamanan aset (securing aset), proses persidangan (court process), pelaksanaan putusan (enforcing order), dan pengembalian aset (returning asset). Mengacu pada ketentuan dalam KUHAP, mekanisme
pemulihan aset sesuai tahapan tersebut sebagai berikut. Proses pengumpulan data
aset dilakukan dalam tahap kegiatan penyelidikan dan penyidikan (investigation). Pengamanan aset dilakukan
melalui proses penyitaan, penyimpanan, dan pengamanan. Penyitaan dilakukan oleh
penyidik untuk mencegah aset berpindah kepemilikan. Penyimpanan dan pengamanan
dilakukan dengan cara menitipkan barang-barang yang disita ke rumah penyimpanan
benda sitaan (Rupbasan). Persidangan dilakukan melalui mekanisme pembuktian
pidana dengan menekankan pada pembuktian materiil guna membuktikan kesalahan
terdakwa dan hubungan langsung aset dengan tindak pidana yang terbukti
dilakukan. Pelaksanaan putusan dilakukan melalui pelaksanaan eksekutorial
melalui penjualan aset secara lelang. Pengembalian aset dilakukan dengan cara
menyetorkan hasil penjualan barang rampasan ke kas negara.
Sedangkan tahapan proses penyitaan dan
pengembalian aset dengan mekanisme non-conviction
based menurut UN CAC tahun 2003 dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan kegiatan
utama yang meliputi identifikasi dan pelacakan aset (identifying and tracing assets), penyitaan dan pembekuan aset (freezing and confiscating asset), dan
pemulihan dan pengembalian aset (recovering
and returning process). Identifikasi aset dilakukan hanya untuk membuktikan
bahwa aset diperoleh secara melawan hukum (unlawfully
acquired). Pelacakan aset dilakukan melalui kegiatan investigasi untuk
memperoleh bukti-bukti dokumen (paper
trail) guna membuktikan aset diperoleh secara melawan hukum. Prosedur
standar dalam identifikasi dan penelusuran aset melalui mekanisme follow the money tidak dilakukan karena dianggap
tidak sesederhana yang dibayangkan. Penyitaan dan pembekuan aset dilakukan guna
menghentikan penggunaan aset untuk kegiatan kriminal di masa yang akan datang
dan untuk memastikan pelaku tindak pidana tidak lagi mendapat manfaat atas aset
hasil tindak pidana. Pemulihan dan pengembalian aset dilakukan melalui mekanisme
non-conviction based tanpa terlebih
dahulu membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana.
Dalam proses pemulihan aset tindak
pidana, baik mekanisme conviction based
maupun non-conviction based belum
mempertimbangkan sepenuhnya memasukan manajemen aset (asset management) sebagai bagian dari proses pemulihan aset yang
dilakukan. Proses yang dilakukan masih menekankan hanya pada proses pelacakan,
perampasan dan pengembalian aset belum memperhatikan proses pengelolaan aset
untuk memperoleh hasil pengembalian yang lebih optimal. Dengan mekanisme yang
ada saat ini, aset yang dirampas baik dengan mekanisme conviction based maupun non-conviction
based, pada dasarnya telah memenuhi kriteria sebagai barang milik negara
sehingga mekanisme pengelolaan barang milik negara dapat diterapkan. Namun
demikian perlu dipahami bahwa untuk mencapai hasil yang optimal, pengelolaan
aset hasil tindak pidana harus dilakukan sebagai rangkaian proses yang
berkesinambungan. Penerapan prinsip-prinsip manajemen aset seyogyanya tidak
hanya dimulai pada saat aset hasil tindak pidana dinyatakan dirampas untuk
negara melainkan sejak aset teridentifikasi sehingga perencanaan pengelolaannya
sudah dapat dilakukan sejak awal. Penyidik dalam melakukan investigasi dan
penyitaan sebaiknya sudah memiliki gambaran akan pengelolaan aset yang akan
disita dan dirampas tersebut termasuk perkiraan biaya-biaya yang harus dikeluarkan
untuk mempertahankan nilai aset selama dalam penguasaannya serta potensi
penerimaan yang dapat diperoleh dari pemanfaatan aset sebagai nilai tambah aset.
Sebagai tindak lanjut ratifikasi konvensi
PBB menentang korupsi tahun 2003, Pemerintah telah sejak lama menyusun
Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perampasan aset tindak pidana sebagai
implementasi mekanisme non-conviction
based dalam perampasan aset tindak pidana. Namun hingga saat ini RUU
tersebut belum juga disahkan. Salah satu permasalahan belum disahkannya RUU
tersebut menjadi undang-undang ialah belum adanya kesepakatan institusi yang
akan menjadi pengelola aset tindak pidana. Terkait permasalahan tersebut
terdapat beberapa pendapata yang mengemuka. Pertama, perlunya membentuk lembaga
baru yang khusus mengelola aset hasil perampasan tindak pidana. Kedua, menunjuk
dan memperkuat lembaga yang ada sebagai institusi pengelola aset hasil
perampasan tindak pidana. Berdasarkan pertimbangan efisiensi, opsi pertama
telah disepakati untuk tidak dipilih. Terkait opsi kedua, persoalannya kemudian
ialah menyepakati lembaga yang ditunjuk sebagai pengelola aset tindak pidana.
Terdapat setidaknya 3 (tiga) lembaga yang berpotensi menjadi institusi
pengelola aset tindak pidana. Ketiga lembaga tersebut ialah Kementerian Hukum
dan HAM, Kementerian Keuangan, dan Kejaksaan Agung.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM) dipilih dengan pertimbangan menaungi Rumah Penyimpanan Benda
Sitaan (Rupbasan) yang memiliki kewenangan penyimpanan barang sitaan sesuai pasal
44 ayat (1) dan (2) KUHAP. Rupbasan dibentuk dengan tujuan untuk menerapkan mekanisme
“check dan balance” melalui prinsip
netralitas dan prinsip pemisahan fungsi pada pelaksanaan penegakkan hukum,
perlindungan ham dan penyelamatan aset hasil tindak pidana. Pemisahan
kewenangan tersebut meliputi pemisahan tanggung jawab fisik dan yuridis atas
benda sitaan. Rupbasan memiliki kewenangan fisik dan administrasi. Sedangkan
kewenangan yuridis berada pada institusi penegak hukum. Kementerian Keuangan dipilih
dengan pertimbangan kapasitasnya sebagai pengelola barang milik negara sesuai
PP nomor 27 tahun 2014. Kementerian keuangan dianggap memiliki sumberdaya,
sarana, dan prasarana yang cukup memadai dalam melaksanakan fungsi pengelolaan
aset. Selain itu aset yang dirampas merupakan barang milik negara yang pengelolaannya
mengikuti ketentuan pengelolaan barang milik negara. Kejaksaan agung dipilih
dengan pertimbangan memiliki tanggung jawab yuridis atas aset hasil tindak
pidana. Hal ini sesuai kewenangan eksekutorial yang melekat pada fungsi Jaksa
dalam proses penanganan perkara perampasan aset dan pelaksanaan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Masing-masing lembaga memiliki
kelebihan dan kelemahan sendiri sebagai institusi pengelola aset hasil tindak
pidana.
Tabel 3: Kelebihan dan
kekurangan masing-masing institusi sebagai pengelola aset tindak pidana
Institusi |
Kelebihan |
Kekurangan |
Kementerian Hukum dan HAM |
Memiliki unit instansi vertikal yang memiliki
kewenangan fisik dan administrasi ata barang sitaan dan rampasan yaitu Rumah Penyimpanan
Benda Sitaan (RUPBASAN). Dasar hukum pembentukan RUPBASAN ialah Undang-undang
yaitu Pasal 44 ayat (1) dan (2) Undang-Undang no.8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) |
Dari sisi sarana, prasarana, dan kelembagaan, RUPBASAN
dianggap memilik
banyak keterbatsan dalam
melaksanakan pengelolaan aset tindak pidana. Peningkatan sarana, prasarana, dan kemampuan SDM memerlukan biaya yang tidak sedikit. |
Kementerian
Keuangan |
Memiliki kewenangan terhadap pengelolaan
aset/kekayaan negara baik yang dimiliki maupun dikuasai negara. Terdapat unit
instansi vertikal (DJKN) yang
memiliki kantor operasional yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang
dianggap memiliki kapasitas dan kapabilitas yang cukup dalam melaksanakan
pengelolaan aset negara. |
Kementerian keuangan
tidak memiliki kewenangan untuk terlibat dalam proses pemulihan aset sehingga
memiliki keterbatasan informasi terkait aset yang akan dikelola. Kewenangan
yang dimiliki hanya terbatas pada barang rampasan sebagai barang milik
negara.
|
Kejaksaan
Agung |
Memiliki kewenangan dan tanggungjawab yuridis
atas barang sitaan dan rampasan dalam rangka penegakan hukum. Terdapat unit
khusus yang dibentuk sebagai pusat pemulihan aset yang memiliki tugas dan
kewenangan yang selaras dengan kewenangan institusi pengelolaan aset dalam
RUU. |
Kejaksaan Agung bukan satu-satunya institusi
penegak hukum yang memiliki kewenangan dan tanggungjawab yuridis atas barang
sitaan dan rampasan. Pusat Pemulihan Aset yang telah dibentuk tidak memiliki
unit operasional di daerah. |
Untuk mencapai optimalisasi
pengelolaan barang rampasan dan pemulihan aset tindak pidana, berbagai upaya
dan terobosan perlu dilakukan. Penyelesaian permasalahan pengelolaan barang
rampasan dalam jangka pendek dapat dilakukan dengan membuka opsi penyerahan
barang rampasan kepada Pengelola Barang. Dibukanya opsi penyerahan barang
rampasan kepada Pengelola Barang akan membuka ruang pengelolaan yang lebih luas,
luwes dan beragam sehingga pengelolaan barang rampasan dapat dilakukan dengan
lebih optimal. Pengelolaan barang rampasan oleh pengelola barang memiliki lebih
banyak opsi dibanding pengelolaan oleh pengurus barang. Opsi penyerahan kepada
Pengelola Barang juga dapat menjadi salah satu pemecahan masalah yang selama
ini dihadapi KPK/Kejaksaan berkaitan dengan outstanding
penyelesaian barang rampasan. Selain itu opsi penyerahan ini dapat mengurangi
beban pekerjaan KPK/Kejaksaan yang berkaitan dengan hal-hal non teknis
penegakan hukum sehingga dapat lebih berfokus pada penyelesaian kasus/perkara
tindak pidana.
Dalam jangka panjang, opsi penyerahan
kepada Pengelola Barang perlu diperluas guna mempertegas pemisahan kewenangan
eksekutorial dan kewenangan pengelolaan BMN terhadap barang rampasan negara.
Pemisahan kewenangan ini perlu dilakukan agar masing-masing institusi dapat
lebih berfokus pada bidang tugas dan kewenangannya masing-masing. Pemberian
kewenangan KPK/Kejaksaan sebagai Pengurus Barang Rampasan yang memiliki fungsi
pengelolaan perlu dipertimbangkan kembali. KPK/Kejaksaan sebaiknya diberi dua
opsi terkait penyelesaian barang rampasan. Opsi pertama, menggunakan kewenangan
eksekutorial sebagaimana diberikan dalam KUHAP terkait penjualan dan penyetoran
hasil penjualan barang rampasan ke kas negara. Opsi kedua, menyerahkan barang
rampasan kepada Pengelola Barang untuk dikelola sesuai mekanisme pengelolaan
BMN. Sepanjang KPK/Kejaksaan menggunakan kewenangan eksekutorial dalam
penyelesaian barang rampasan, Pengelola Barang tidak dapat menggunakan
kewenangan pengelolaan BMN atas barang rampasan tersebut. Sebaliknya, setelah
barang rampasan diserahkan kepada Pengelola Barang, kewenangan eksekutorial
KPK/Kejaksaan atas barang rampasan tersebut berakhir. Kewenangan pengelolaan barang
rampasan yang telah diserahkan sepenuhnya berada pada Pengelola Barang sesuai
mekanisme pengelolaan BMN yang berlaku umum.
Opsi penyerahan yang diperluas ini,
dapat menyelesaikan permasalahan penatausahaan dengan lebih baik. Barang
rampasan yang telah diserahkan menjadi aset kepada Pengelola Barang sehingga
pencatatannya dapat dilakukan terpisah dari LKKL. Pencatatan aset barang
rampasan yang telah menjadi aset pada Pengelola Barang dapat dilakukan pada
akun aset lain-lain pada neraca LKBUN. Sedangkan terhadap barang rampasan yang
sedang dalam proses penyelesaian sesuai kewenangan eksekutorial KPK/Kejaksaan,
pencatatannya dapat dilakukan pada akun persediaan pada neraca LKKL
KPK/Kejaksaan karena telah memenuhi kriteria sebagai barang yang dimaksudkan
untuk dijual atau diserahkan. Pencatatan ke dalam LKKL KPK/Kejaksaan tersebut dimaksudkan
hanya dilakukan dalam jangka pendek sesuai definisi persediaan. Pencatatan
dilakukan setidaknya paling lama selama satu periode pelaporan keuangan. Hal
ini sejalan dengan amanat KUHAP yang menyebutkan bahwa penyelesaian barang
rampasan berupa penjualan dan penyetoran hasilnya dilakukan dalam kurun waktu
tiga bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan (pasal 273 ayat
3 dan 4 KUHAP). Pencatatan barang rampasan ke dalam akun persediaan ini berbeda
dengan pencatatan yang dilakukan selama ini. Dengan mekanisme saat ini, pencatatan
barang rampasan ke dalam akun persediaan dilakukan secara terus menerus mengingat
tidak adanya kepastian jangka waktu penyelesaiannya. Dengan mekanisme opsi
penyerahan diperluas, Jaksa dapat mempertimbangkan untuk menyerahkan barang
rampasan kepada Pengelola Barang setelah upaya eksekutorial yang dilakukan selama
jangka waktu yang diamanatkan dalam KUHAP belum memberikan hasil yang maksimal.
Hal ini akan memberi kepastian jangka waktu penyelesaian yang lebih baik dari
sudut pandang Jaksa maupun dari sudut pandang akuntansi.
Dilihat dari sudut pandang pemulihan
aset tindak pidana secara keseluruhan, opsi penyerahan barang rampasan kepada
Pengelola Barang masih bersifat parsial karena hanya berkaitan dengan aset
hasil tindak pidana yang telah dirampas menjadi barang milik negara. Dalam
kerangka pemulihan aset, perlu adanya solusi yang lebih komprehensif yang tidak
hanya berkaitan dengan aset yang dirampas dalam bentuk barang melainkan juga
pada aset hasil tindak pidana berupa aset-aset finansial dan aset dalam bentuk
barang yang sedang dalam proses penelusuran dan penyitaan. Pemulihan aset
tindak pidana akan lebih optimal apabila prinsip-prinsip manajemen aset
diterapkan tidak hanya di dihilirnya saja (baca: aset dirampas) melainkan sejak
dari hulu (baca: aset ditelusuri dan disita). Pendekatan manajemen aset yang
komprehensif dan terintegrasi ini memungkinkan perencanaan pengelolaan aset
tindak pidana dapat dilakukan sejak awal sehingga diharapkan memberi hasil yang
lebih optimal. Dengan penerapan pendekatan manajemen aset sejak awal,
permasalahan pemeliharaan, penyimpanan, pengamanan, dan penurunan nilai aset
dapat ditangani dengan lebih baik. Permasalahannya, pendekatan terintegrasi
dalam pengelolaan aset tindak pidana saat ini sulit dilakukan karena kewenangan
terkait aset tindak pidana yang ada saat ini terpisah-pisah. Kewenangan
tersebut, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, setidaknya terpisah-pisah
kedalam beberapa institusi. Kewenangan tersebut meliputi kewenangan yuridis,
fisik dan administrasi, serta pengelolaan. Kewenangan yuridis berada pada
aparat penegak hukum (penyidik dan jaksa). Kewenangan fisik dan administrasi
barang sitaan ada pada Rupbasan. Kewenangan pengelolaan barang rampasan ada
pada Menteri Keuangan selaku Pengelola BMN.
Penyatuan kewenangan-kewenangan
tersebut kedalam satu lembaga baru mungkin akan sulit dilakukan selain
pertimbangan efisiensi juga mengingat setiap institusi memiliki kewenangan masing-masing
yang diberikan undang-undang. Fungsi dan kewenangan yang saling terkait tersebut
sebenarnya dapat berjalan beriringan. Namun demikian dirasa perlu menunjuk satu
institusi sebagai pengelola aset hasil tindak pidana. Institusi yang ditunjuk
tersebut dapat membentuk unit khusus yang akan melakukan pengelolaan aset hasil
tindak pidana dengan pendekatan manajemen aset guna memperoleh hasil pemulihan
aset yang lebih optimal. Unit yang dibentuk tersebut tidak akan mengambil peran
dan kewenangan terkait proses pemulihan aset yang dimiliki masing-masing
institusi. Sebaliknya, unit tersebut diharapkan dapat memberikan dukungan yang
bersifat non teknis yang diperlukan dalam optimalisasi pemulihan aset tindak
pidana. Dukungan non teknis yang diberikan tersebut dapat berupa dukungan
finansial dan non finanasial. Untuk dapat menjalankan perannya tersebut, unit
khusus tersebut harus dibekali fleksibilitas dalam pengelolaan keuangannya. Fleksibilitas
pengelolaan keuangan dapat diberikan melalui mekanisme pengelolaan keuangan
badan layanan umum
Selain fleksibiltas pengelolaan
keuangan, unit khusus pengelola aset tindak pidana harus memiliki kewenangan
yang berkaitan dengan pengelolaan barang milik negara. Hal ini mengingat bahwa
aset tindak pidana yang akan dikelola pada akhirnya akan menjadi barang milik
negara ketika dinyatakan dirampas untuk negara. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, unit pengelola aset tindak pidana tersebut sebaiknya berada dibawah
naungan Menteri Keuangan sebagai pengelola BMN. Pertimbangan lainnya terkait kapasitas
dan kapabilitas dalam pengelolaan aset serta akses langsung terhadap sumber
pendanaan utama (baca: APBN). Akses terhadap APBN diperlukan mengingat unit
tersebut tidak hanya berperan sebagai pengelola aset (asset manager) melainkan juga sebagai pengelola dana (fund manager). Sebagai pengelola aset, unit
pengelola aset tindak pidana melakukan pengelolaan barang rampasan, barang sitaan,
dan aset tindak pidana lainnya. Pengelolaan barang rampasan dilakukan untuk
optimalisasi aset sesuai mekanisme pengelolaan BMN. Pengelolaan aset sitaan
dilakukan untuk menjamin hasil yang optimal dalam rangka pemulihan kerugian
negara atau mencegah kerugian yang mungkin dialami tersangka atau terpidana dalam
hal putusan pengadilan membebaskan terdakwa dan memerintahkan aset yang disita
untuk dikembalikan. Kerugian tersebut dapat berupa penurunan nilai aset dan kehilangan
potensi atau manfaat aset. Baik kerugian negara maupun kerugian tersangka atau
terdakwa menjadi pertimbangan dalam pengelolaan aset sitaan untuk dipulihkan.
Pengelolaan aset sitaan yang dilakukan
melalui mekanisme sebagai berikut. Unit pengelola aset diberi kewenangan untuk melakukan
pengelolaan barang sitaan yang meliputi pemeliharaan, pemanfaatan, dan penjualan
barang sitaan. Pemeliharaan dilakukan guna mempertahankan dan mencegah
penurunan nilai ekonomis aset secara signifikan. Pemanfaatan dilakukan guna
mengoptimalkan potensi ekonomis aset dalam menghasilkan pendapatan atau aliran
kas (cash flow). Pemanfaatan dilakukan
terhadap aset sitaan yang berpotensi menghasilkan penerimaan (income producing asset). Pendapatan yang
dihasilkan digunakan untuk mempertahankan nilai ekonomis aset dan meningkatkan
nilai tambah aset (value added).
Penjualan dilakukan guna mencapai efisiensi dalam pengelolaan aset. Penjualan
dilakukan terhadap aset sitaan dengan karakteristik memerlukan pemeliharaan
yang bersifat intensif (asset intensive
maintenance) guna mencegah penurunan nilai aset yang cepat secara signifikan.
Penjualan dilakukan dengan pertimbangan biaya yang harus dikeluarkan untuk
memelihara dan mempertahankan aset tersebut cukup besar sehingga mempertahankannya
menjadi opsi yang tidak efisien. Pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan
aset tersebut kemudian dikelola melalui instrumen-instrumen keuangan yang bebas
atau rendah risiko (risk free or low risk)
guna mempertahankan nilai waktu uang (time
value of money) dan meningkatkan nilai tambah (value added).
Sebagai pengelola dana, unit pengelola
aset tindak pidana berperan dalam memberikan dukungan finansial berupa
pembiayaan yang bersifat non rutin yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan
kegiatan yang berkaitan dengan proses pemulihan aset. Pembiayaan non rutin yang
dimaksud berupa pembiayaan yang diperlukan guna mendanai kegiatan pemulihan
aset yang bersifat mendesak sehingga tidak tersedia dalam anggaran. Pembiayaan
non rutin tersebut sulit atau tidak dapat diperkirakan besarannya sehingga penganggarannya
tidak dapat dilakukan dengan tepat sesuai kebutuhan. Hal ini seringkali terjadi
dan menjadi permasalahan umum yang dihadapi dalam proses pemulihan aset karena
jumlah perkara yang ditangani dan kompleksitasnya merupakan sesuatu yang sulit
diperkirakan. Selain pembiayaan non rutin, dapat juga dipertimbangkan mengenai
pemberian insentif kepada kepada pihak-pihak yang berperan dalam mendukung
keberhasilan pemulihan aset tindak pidana sebagai bentuk apresiasi. Pembiayaan
tersebut dilakukan dengan skema pembiayaan mandiri (self financing). Mekanisme pembiayaan mandiri dilakukan dalam
bentuk penggunaan sebagian hasil pengelolaan aset tindak pidana untuk mendanai
kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan pemulihan aset tersebut. Skema
pendanaan dapat dilakukan melalui mekanisme dana talangan. Dana talangan dapat
berasal dari dana yang diberikan kepada unit pengelola aset melalui mekansime
APBN dan dana yang diperoleh dari hasil pengelolaan aset tindak pidana.
Pengelolaan dana talangan dilakukan melalui
mekanisme sebagai berikut. Institusi yang berkaitan dengan pemulihan aset
tindak pidana mengajukan proposal permintaan dana dalam rangka pemulihan aset
tindak pidana kepada unit pengelola. Unit pengelola mengeluarkan dana sesuai
proposal yang akan digunakan untuk mendanai kegiatan pemulihan aset tindak
pidana. Dalam hal pengadilan memutuskan aset yang diperoleh dari kegiatan
pemulihan aset tindak pidana dinyatakan dirampas untuk negara, dana yang
dikeluarkan untuk menalangi kegiatan pemulihan aset tersebut dan biaya-biaya
yang dikeluarkan dalam rangka pemeliharaan dan pengelolaan aset kemudian
diperhitungkan dari hasil pemanfaatan atau penjualan aset tersebut. Hasil
pemanfaatan atau penjualan aset setelah diperhitungkan penggantian biaya-biaya
tersebut disetorkan ke kas negara. Penyetoran ke kas negara dilakukan unit
pengelola aset sebagai penerimaan institusi yang melakukan kegiatan pemulihan
aset. Sebaliknya, dalam hal pengadilan memutuskan aset tidak terkait dengan
tindak pidana sehingga harus dikembalikan kepada pemilik aset, pengembalian dana
yang dikeluarkan untuk menalangi kegiatan pemulihan aset dibebankan pada APBN
melalui institusi yang mengajukan proposal. Aset dan seluruh penerimaan yang
diperoleh dari pengelolaan aset termasuk hasil penjualan aset berikut hasil
pengelolaan dananya diserahkan kepada pemilik aset setelah dikurangi biaya
pemeliharaan dan pengelolaan yang dikeluarkan unit pengelola.
Pengelolaan barang rampasan yang
dilakukan saat ini dirasakan belum memberikan hasil yang optimal. Mekanisme
yang ada tidak banyak memberi ruang Pengelola Barang untuk melakukan
pengelolaan yang lebih optimal. Selain itu terdapat permasalahan terkait
kewenangan dan penatausahaan. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu
dicarikan jalan penyelesaiannya agar pengelolaan barang rampasan dapat lebih
optimal. Disamping itu, dalam perkembangannya saat ini, penanganan perkara
tindak pidana tidak hanya dilakukan untuk menghukum pelaku kejahatannya saja melainkan
juga untuk memulihkan kerugian yang diakibatkan tindak kejahatan yang dilakukan.
Untuk itu proses pemulihan aset tindak pidana semakin penting dilakukan. Pendekatan
konvensional yang dilakukan dalam pemulihan dan perampasan aset dirasa kurang
memberikan hasil optimal sehingga perlu adanya terobosan yang dilakukan
mengingat dampak kerusakan yang diakibatkan tindak pidana semakin besar.
Pendekatan Non-Conviction Based dalam
perampasan aset merupakan suatu terobosan yang dapat diterapkan. Pemerintah
Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB menentang korupsi (UN Convention Againts Corruption) tahun
2003 yang di dalamnya mengamanatkan penerapan pendekatan Non-Conviction Based dalam perampasan aset tindak pidana. RUU
Perampasan Aset Tindak Pidana telah disusun untuk mengimplenetasikan hal
tersebut. Namun demikian, terdapat beberapa persoalan yang menyebabkan RUU
tersebut belum juga disahkan. Salah satu permasalahannya berkaitan dengan
institusi yang akan menjadi Pengelola Aset Tindak Pidana. Pembentukan lembaga
baru tidak memungkinkan dengan pertimbangan efisiensi. Penunjukan salah satu
institusi yang dianggap paling tepat juga akan menimbulkan permasalahan yang
berkaitan dengan kewenangan. Opsi yang paling mungkin ialah membentuk satu unit
khusus pada salah satu institusi yang ditunjuk yang akan melakukan pengelolaan
aset sekaligus memberikan dukungan teknis dan non teknis yang berkaitan dengan
proses pemulihan aset tanpa mengambil kewenangan institusi lain.
Penulis : Surya Hadi Purnama
Kepala Seksi Pengelolaan Kekayaan Negara pada Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Palu
1. Undang-undang nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
2.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4355).
3. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Natlons Convention Against
Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4620).
4. Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92, Tambahan Lembaran
Negara Repubik Indonesia Nomor 5533).
5. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.06/2021 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.
6. United
Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi,
2003), Terjemahan Tidak Resmi. Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi
dan Instansi dan Biro Hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi.
7. United
Nations Convention against Corruption. Diakses pada 10 Desember 2021. https://www.unodc.org/unodc/en/ corruption/uncac.html.
8.
Greenberg,
Theodore S. Linda M. Samuel, Wingate Grant, dan Larissa Gray. Stolen Aset
Recovery: A Good Practices Guide for Non-Conviction Based Aset Forfeiture. Washington:
The World Bank, 2009. Diunduh dari laman https://www.un.org/ruleoflaw/blog/document/a-good-practices-guide-for-non-conviction-based-asset-forfeiture/.
9. Laporan
Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan
Aset Tindak Pidana. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, 2015. Diunduh dari laman https://jdihn.go.id/search/monografi/detail/870244.