Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Palu > Artikel
Pengelolaan Barang Rampasan dan Pemulihan Aset Tindak Pidana
Surya Hadi Purnama
Jum'at, 17 Desember 2021   |   18771 kali

Pengelolaan barang rampasan memiliki peran strategis dalam rangka upaya pemulihan aset (asset recovery) tindak pidana. Pengelolaan barang rampasan merupakan ujung dari mata rantai proses pemulihan aset tindak pidana. Optimalisasi pengelolaan barang rampasan akan mempengaruhi keluaran (outcome) dari tahapan proses pemulihan aset yang telah dilakukan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengelolaan barang rampasan harus dilakukan dengan memperhatikan baik aspek penegakan hukum (law enforcement) dan juga aspek pengelolaan aset (asset management). Aspek penegakan hukum merupakan inti dari proses pemulihan aset. Proses ini dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sebagai bagian dari proses hukum yang dilakukan dalam rangka penanganan suatu perkara tindak pidana. Seiring perkembangannya, penanganan perkara tindak pidana dilakukan tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelaku tindak pidana melainkan juga sebisa mungkin memulihkan kerugian yang diakibatkan tindak pidana yang dilakukan. Aspek manajemen aset merupakan komponen yang perlu ditambahkan kedalam kerangka proses pemulihan aset yang telah ada guna memperoleh hasil yang optimal dari rangkaian proses yang telah dilakukan. Proses manajemen aset dalam pengelolaan aset hasil pemulihan aset tindak pidana dilakukan dengan memperhatikan prinsip efektifitas, efisiensi, dan fleksibilitas.

Pendekatan manajemen aset dalam pengelolaan aset hasil pemulihan aset tindak pidana sangat penting dilakukan setidaknya untuk mengatasi dua permasalahan umum yang sering dihadapi dalam upaya pemulihan aset tindak pidana. Pertama, permasalahan terkait biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka pemeliharaan, pengamanan, dan penyimpanan aset selama proses hukum dilakukan. Kedua, permasalahan nilai aset pada saat aset akan dieksekusi. Permasalahan terkait biaya dan nilai aset timbul akibat lamanya waktu penyelesaian suatu perkara hingga memperoleh keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai dasar eksekusi. Lamanya waktu penyelesaian perkara mengakibatkan lamanya rentang waktu antara penyitaan aset hingga perampasan aset. Akibatnya terjadi pembengkakan biaya yang harus dikeluarkan terhadap aset di satu sisi dan penurunan nilai aset di sisi lain. Kedua hal tersebut berkorelasi negatif terhadap hasil pemulihan aset yang akan diperoleh sehingga tidak optimal. Hal tersebut kemudian menjadi pertimbangan dalam menerapkan mekanisme non-conviction based (NCB) dalam proses perampasan aset. Namun demikian baik mekanisme conviction based maupun non-conviction based tidak akan memperoleh hasil yang optimal tanpa penerapan prinsip-prinsip manajemen aset di dalamnya.

Persoalannya, dengan belum juga disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) perampasan aset tindak pidana, mekanisme non-conviction based belum dapat diterapkan dalam proses pemulihan aset berdasarkan kerangka hukum yang ada saat ini. Perampasan aset, sesuai Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dilakukan dengan mekanisme conviction base. Disamping itu penerapan prinsip manajemen aset dalam pengelolaan aset tindak pidana hanya dimungkinkan terhadap aset yang dinyatakan telah dirampas. Aset yang telah dirampas berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut telah memenuhi kriteria sebagai barang milik negara sehingga mekanisme pengelolaan asetnya mengikuti mekanisme pengelolaan barang milik negara. Meskipun, pelaksanaan fungsi pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) atas barang rampasan tersebut dilakukan seiring dengan pelaksanaan fungsi eksekutorial jaksa atas putusan hakim. Untuk mencapai hasil yang optimal itu perlu adanya terobosan yang dilakukan dalam rangka pemulihan aset tindak pidana. Terobosan tersebut dilakukan dari sisi penyederhanaan atau percepatan proses dan dari sisi pengelolaan asetnya.

Mekanisme Pengelolaan Barang Rampasan

Pengelolaan barang rampasan saat ini dilakukan berdasarkan pendekatan dari sisi penegakan hukum dan pengelolaan barang milik negara. Dari sisi penegakan hukum, pengurusan barang rampasan merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi eksekutorial dalam rangka menjalankan putusan pengadilan. Kewenangan eksekutorial ini melekat secara fungsional pada jaksa sebagai penuntut umum yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Terkait barang rampasan, kewenangan eksekutorial jaksa secara spesifik diatur dalam pasal 273 ayat 3 dan 4 Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Beleid tersebut memberi kewenangan jaksa, dalam jangka waktu tertentu, untuk menguasakan penjualan atas barang rampasan kepada kantor lelang dan menyetorkan hasil penjualannya ke kas negara. Dari sisi pengelolaan Barang Milik Negara, sesuai pasal 1 ayat 10 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara j.o. pasal 2 ayat 1 huruf (b) dan ayat 2 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, barang rampasan telah memenuhi definisi sebagai Barang Milik Negara. Sebagai Barang Milik Negara, pengelolaan barang rampasan mengikuti ketentuan pengelolaan Barang Milik Negara. Kewenangan pengelolaan Barang Milik Negara, sesuai ketentuan pengelolaan Barang Milik Negara, dilaksanakan oleh Pengelola Barang, Pengguna Barang, dan Kuasa Pengguna Barang.

Terkait fungsi pengelolaan barang rampasan, Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi, yang kemudian diganti dengan PMK Nomor 8/PMK.06/2018 dan terakhir dengan PMK nomor 145/PMK.06/2021. Regulasi tersebut mengatur kewenangan Menteri Keuangan, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jaksa Agung, dan Oditur Militer dalam pengelolaan barang rampasan. Pengaturan kewenangan ini dilakukan guna mengakomodir fungsi eksekutorial, yang dimiliki jaksa pada KPK, Kejaksaan, dan Oditurat dalam pengelolaan barang rampasan. Pelaksanaan fungsi eksekutorial ini diistilahkan sebagai pengurusan barang rampasan. Oleh karenanya, Pimpinan KPK, Jaksa Agung, Oditur Militer dalam beleid tersebut, ditetapkan sebagai Pengurus Barang Rampasan. Sedangkan Menteri Keuangan, sesuai kewenangannya, merupakan Pengelola Barang Rampasan. Kewenangan pengelolaan barang rampasan yang diberikan kepada Pengurus Barang Rampasan, selanjutnya disebut pengurus barang, antara lain ialah melakukan penatausahaan, pengamanan, dan mengajukan usulan pengelolaan barang rampasan. Sedangkan kewenangan Pengelola Barang Rampasan, selanjutnya disebut pengelola barang, ialah menetapkan keputusan dan menandatangani surat persetujuan usulan pengelolaan barang rampasan yang diajukan Pengurus Barang Rampasan.

Pengelolaan barang rampasan, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 145/PMK.06/2021, dilakukan dengan memperlakukan barang rampasan sebagai aset yang berada pada pengurus barang. Oleh karenanya, mekanisme pengelolaan barang rampasan analogi dengan mekanisme pengelolaan Barang Milik Negara pada Pengguna Barang, yang mana pengelolaannya dilakukan atas dasar usulan dari Pengguna Barang. Dalam pengelolaan barang rampasan, Pengurus Barang memiliki fungsi sebagaimana halnya Pengguna Barang untuk Barang Milik Negara lainnya. Fungsi tersebut meliputi fungsi penatausahaan, pengamanan, dan pengelolaan. Perbedaannya, selain memiliki fungsi-fungsi tersebut, Pengurus Barang juga memiliki fungsi eksekutorial. Fungsi eksekutorial tersebut memungkinkan Pengurus Barang melakukan tindakan eksekutorial berupa penjualan secara lelang atas barang rampasan tanpa melalui persetujuan Pengelola Barang.

Mekanisme pengelolaan barang rampasan dilakukan berdasarkan usulan Pengurus Barang dan persetujuan Pengelola Barang. Pelaksanaan fungsi pengelolaan tersebut dapat dilakukan dengan atau tanpa didahului pelaksanaan fungsi eksekutorial. Pengelolaan barang rampasan yang didahului pelaksanaan fungsi eksekutorial dilakukan terhadap barang rampasan tidak laku dijual secara lelang. Pengelolaan barang rampasan tanpa didahului pelaksanaan fungsi eksekutorial dilakukan terhadap barang rampasan yang diperlukan untuk kepentingan negara, diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah, dan barang rampasan selain tanah/bangunan dengan kriteria tertentu. Pengelolaan barang rampasan tersebut meliputi penetapan status penggunaan, pemindahtanganan, pemanfaatan, pemusnahan, dan penghapusan. Penetapan status penggunaan dilakukan terhadap barang rampasan yang diperlukan untuk kepentingan negara. Pemindahtanganan dalam bentuk hibah kepada Pemerintah Daerah dilakukan terhadap rampasan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah. Pemanfaatan dilakukan guna mengoptimalkan nilai, meningkatkan penerimaan, mencegah pemanfaatan oleh pihak lain, dan untuk kepentingan umum. Pemusnahan dilakukan terhadap barang rampasan selain tanah/bangunan yang tidak memiliki nilai ekonomis, membahayakan lingkungan dan tata niaga, dilarang untuk beredar, atau berada dalam kondisi busuk/lapuk. Penghapusan dilakukan dalam hal barang rampasan sudah tidak berada pada penguasaan pengurus barang.

Tabel 1: Jenis dan pertimbangan pengelolaan barang rampasan

Jenis Pengelolaan

Pertimbangan

Penetapan Status Penggunaan

Diperlukan untuk kepentingan negara

Pemindahtanganan (Hibah kepada Pemerintah Daerah)

Diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah

Pemanfaatan

§  Mengoptimalkan nilai barang rampasan;

§  Meningkatkan penerimaan negara;

§  Mencegah pemanfaatan oleh pihak lain; atau

§  Kepentingan umum.

Pemusnahan

§  Tidak memiliki nilai ekonomis;

§  Membahayakan lingkungan dan tata niaga;

§  Dilarang untuk beredar; atau

§  Berada dalam kondisi busuk/lapuk.

Penghapusan

Sudah tidak berada pada penguasaan pengurus barang

Problematika Pengelolaan Barang Rampasan

Mekanisme pengelolaan barang rampasan dengan memperlakukan barang rampasan sebagai aset pada Pengurus Barang dan memberi kewenangan pengelolaan kepada KPK, Kejaksaan, dan Oditurat menimbulkan beberapa problematika. Pertama, pengelolaan barang rampasan sebagai aset pada Pengurus Barang menyebabkan terbatasnya kewenangan Pengelola Barang dalam melakukan pengelolaan. Peran Pengelola Barang cenderung terbatas hanya pada fungsi administrator dan otorisator. Pengelolaan barang rampasan terbatas hanya pada usulan pengelolaan yang diajukan Pengurus Barang. Pengelola Barang tidak dapat menentukan alternatif pengelolaan lain yang dapat memberi manfaat lebih besar sehingga pengelolaan barang rampasan tidak dapat dilakukan secara optimal. Kedua, pemberian kewenangan pengelolaan kepada KPK, Kejaksaan, dan Oditurat dalam pengelolaan barang rampasan tidak memiliki landasan yuridis yang cukup. Dasar pemberian kewenangan Pimpinan KPK dan Jaksa Agung sebagai Pengurus Barang tidak memiliki rujukan hukum baik pada KUHAP maupun PP Nomor 27 Tahun 2014. KUHAP hanya memberi kewenangan eksekutorial kepada jaksa untuk melakukan penjualan barang rampasan dan menyetorkan hasil penjualannya ke kas negara. Sedangkan kewenangan pengelolaan Barang Milik Negara sesuai UU Nomor 1 Tahun 2004 dan PP Nomor 27 Tahun 2014 diberikan kepada Pengelola Barang, Pengguna Barang, dan Kuasa Pengguna Barang.

Ketiga, permasalahan penatausahaan. Barang rampasan saat ini dicatat dan dilaporkan sebagai bagian dari Laporan Barang Kuasa Pengguna KPK/Kejaksaan. Hal ini terjadi karena dalam penatausahaan barang rampasan tidak ada pembedaan peran fungsional antara Pengurus Barang dan Pengguna Barang. Barang rampasan dicatat sebagai persediaan pada neraca Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) KPK/Kejaksaan. Pencatatan barang rampasan ke dalam akun persediaan dianggap memenuhi definisi persediaan sebagai barang-barang yang dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Namun demikian, pelaporan barang rampasan sebagai aset pada LKKL KPK/Kejaksaan dinilai kurang tepat mengingat barang rampasan bukan merupakan aset yang digunakan untuk pelaksanaan tugas operasional KPK/Kejaksaan atau digunakan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Selain itu barang rampasan juga pada dasarnya merupakan barang yang belum ditetapkan status penggunaannya sehingga pencatatan pada pengguna barang semestinya belum dapat dilakukan. Pencatatan barang rampasan dan barang milik negara lain yang digunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi dan telah ditetapkan status penggunaannya pada KPK/Kejaksaan seharusnya dilakukan terpisah sebagaimana pencatatan Barang Milik Negara Pengguna Barang dan Barang Milik Negara Pengelola Barang pada Kementerian Keuangan. Persoalannya, pemisahan pelaporan itu tidak dapat dilakukan pada KPK/Kejaksaan karena KPK/Kejaksaan hanya menyusun LKKL KPK/Kejaksaan, tidak seperti Kementerian Keuangan yang selain menyusun LKKL Kementerian Keuangan juga menyusun laporan keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN).

Mekanisme Perampasan Aset Tindak Pidana: Conviction Based dan Non-Conviction Based

Dalam upaya perampasan aset tindak pidana terdapat dua mekanisme yang dapat digunakan. Mekanisme tersebut ialah mekanisme perampasan aset yang didasarkan pada dakwaan pidana (conviction based asset forfeiture) dan perampasan aset tanpa didasarkan pada dakwaan pidana (non-conviction based asset forfeiture). Mekanisme conviction based dalam perampasan aset tindak pidana dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pembuktian kesalahan pelaku tindak pidana melalui dakwaan di persidangan. Jaksa harus dapat membuktikan terlebih dahulu kesalahan terdakwa dan hubungan langsung antara tindak kejahatan yang dilakukan dengan aset yang akan dirampas sebagai hasil tindak pidana. Mekanisme conviction based dilakukan berdasarkan asas pembuktian materiil dan dilakukan dalam kerangka hukum pidana. Berlawanan dengan mekanisme conviction base, mekanisme non-conviction based dalam perampasan aset pidana dilakukan tanpa terlebih dahulu membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana.  Persidangan dilakukan tanpa harus melalui dakwaan kepada pelaku tindak pidana melainkan hanya dengan melakukan pembuktian aset sebagai hasil tindak kejahatan. Mekanisme non-conviction based dilakukan berdasarkan asas pembuktian formil dan dilakukan dalam kerangka hukum perdata.

Mekanisme pertama merupakan mekanisme yang lazim digunakan dalam kerangka hukum pidana yang ada saat ini. Sedangkan mekanisme kedua merupakan terobosan hukum yang dapat dilakukan guna mempercepat proses perampasan dan pemulihan aset. Baik mekanisme pertama maupun kedua sebenarnya telah diakomodir dalam kerangka hukum yang berlaku saat ini. Mekanisme non-conviction based pada dasarnya telah dimungkinkan dalam KUHAP melalui mekanisme perampasan in rem. Namun demikian, sesuai ketentuan yang diatur dalam KUHAP, mekanisme perampasan in rem hanya dapat dilakukan setelah mekanisme conviction based telah dilakukan terlebih dahulu. Hal ini berbeda semangatnya dengan mekanisme non-conviction based sebagaimana dinyatakan dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menentang korupsi (United Nations Convention Againts Corruption/UN CAC) tahun 2003 yang telah diratifikasi melalui Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006. Dalam konvensi tersebut, guna mempercepat upaya pemulihan aset (asset recovery), mekanisme non-conviction based dalam perampasan aset harus dilakukan sebelum proses pembuktian materiil dalam persidangan. Namun demikian, terlepas dari kelebihan yang dimiliki, mekanisme non-conviction based dalam perampasan aset tindak pidana yang dilakukan tanpa pembuktian materiil di persidangan dianggap berpotensi melanggar hak-hak kepemilikan individu yang dilindungi konstitusi, prinsip keadilan dan kesamaan dihadapan hukum, dan asas praduga tak bersalah.

Tabel 2: Kelebihan dan kelemahan masing-masing mekanisme perampasan aset

Mekanisme conviction base

Mekanisme non-conviction base

Kelebihan:

Perampasan aset memiliki dasar yang kuat berupa putusan hakim berdasarkan asas-asas pembuktian materiil dalam persidangan.

Kelebihan:

Perampasan aset dapat dilakukan dengan proses yang lebih cepat sehingga pemulihan aset tindak pidana dapat dilakukan dengan lebih optimal.

 

Kelemahan:

Proses persidangan pidana seringkali memakan waktu yang lama dan tidak dapat dipastikan jangka waktunya sehingga pemulihan aset menjadi tidak optimal.

Kelemahan:

Perampasan aset dikhawatirkan melanggar hak-hak kepemilikan individu yang dilindungi konstitusi, prinsip keadilan dan kesamaan dihadapan hukum, dan asas praduga tak bersalah

Tahapan dan Proses Pemulihan Aset Tindak Pidana (Asset Recovery)

Tahapan proses pemulihan aset dengan mekanisme conviction based yang lazim digunakan meliputi tahapan kegiatan pengumpulan data (collecting data), pengamanan aset (securing aset), proses persidangan (court process), pelaksanaan putusan (enforcing order), dan pengembalian aset (returning asset). Mengacu pada ketentuan dalam KUHAP, mekanisme pemulihan aset sesuai tahapan tersebut sebagai berikut. Proses pengumpulan data aset dilakukan dalam tahap kegiatan penyelidikan dan penyidikan (investigation). Pengamanan aset dilakukan melalui proses penyitaan, penyimpanan, dan pengamanan. Penyitaan dilakukan oleh penyidik untuk mencegah aset berpindah kepemilikan. Penyimpanan dan pengamanan dilakukan dengan cara menitipkan barang-barang yang disita ke rumah penyimpanan benda sitaan (Rupbasan). Persidangan dilakukan melalui mekanisme pembuktian pidana dengan menekankan pada pembuktian materiil guna membuktikan kesalahan terdakwa dan hubungan langsung aset dengan tindak pidana yang terbukti dilakukan. Pelaksanaan putusan dilakukan melalui pelaksanaan eksekutorial melalui penjualan aset secara lelang. Pengembalian aset dilakukan dengan cara menyetorkan hasil penjualan barang rampasan ke kas negara.

Sedangkan tahapan proses penyitaan dan pengembalian aset dengan mekanisme non-conviction based menurut UN CAC tahun 2003 dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan kegiatan utama yang meliputi identifikasi dan pelacakan aset (identifying and tracing assets), penyitaan dan pembekuan aset (freezing and confiscating asset), dan pemulihan dan pengembalian aset (recovering and returning process). Identifikasi aset dilakukan hanya untuk membuktikan bahwa aset diperoleh secara melawan hukum (unlawfully acquired). Pelacakan aset dilakukan melalui kegiatan investigasi untuk memperoleh bukti-bukti dokumen (paper trail) guna membuktikan aset diperoleh secara melawan hukum. Prosedur standar dalam identifikasi dan penelusuran aset melalui mekanisme follow the money tidak dilakukan karena dianggap tidak sesederhana yang dibayangkan. Penyitaan dan pembekuan aset dilakukan guna menghentikan penggunaan aset untuk kegiatan kriminal di masa yang akan datang dan untuk memastikan pelaku tindak pidana tidak lagi mendapat manfaat atas aset hasil tindak pidana. Pemulihan dan pengembalian aset dilakukan melalui mekanisme non-conviction based tanpa terlebih dahulu membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana.

Dalam proses pemulihan aset tindak pidana, baik mekanisme conviction based maupun non-conviction based belum mempertimbangkan sepenuhnya memasukan manajemen aset (asset management) sebagai bagian dari proses pemulihan aset yang dilakukan. Proses yang dilakukan masih menekankan hanya pada proses pelacakan, perampasan dan pengembalian aset belum memperhatikan proses pengelolaan aset untuk memperoleh hasil pengembalian yang lebih optimal. Dengan mekanisme yang ada saat ini, aset yang dirampas baik dengan mekanisme conviction based maupun non-conviction based, pada dasarnya telah memenuhi kriteria sebagai barang milik negara sehingga mekanisme pengelolaan barang milik negara dapat diterapkan. Namun demikian perlu dipahami bahwa untuk mencapai hasil yang optimal, pengelolaan aset hasil tindak pidana harus dilakukan sebagai rangkaian proses yang berkesinambungan. Penerapan prinsip-prinsip manajemen aset seyogyanya tidak hanya dimulai pada saat aset hasil tindak pidana dinyatakan dirampas untuk negara melainkan sejak aset teridentifikasi sehingga perencanaan pengelolaannya sudah dapat dilakukan sejak awal. Penyidik dalam melakukan investigasi dan penyitaan sebaiknya sudah memiliki gambaran akan pengelolaan aset yang akan disita dan dirampas tersebut termasuk perkiraan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan nilai aset selama dalam penguasaannya serta potensi penerimaan yang dapat diperoleh dari pemanfaatan aset sebagai nilai tambah aset.

Permasalahan terkait RUU Perampasan Aset Tindak Pidana

Sebagai tindak lanjut ratifikasi konvensi PBB menentang korupsi tahun 2003, Pemerintah telah sejak lama menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perampasan aset tindak pidana sebagai implementasi mekanisme non-conviction based dalam perampasan aset tindak pidana. Namun hingga saat ini RUU tersebut belum juga disahkan. Salah satu permasalahan belum disahkannya RUU tersebut menjadi undang-undang ialah belum adanya kesepakatan institusi yang akan menjadi pengelola aset tindak pidana. Terkait permasalahan tersebut terdapat beberapa pendapata yang mengemuka. Pertama, perlunya membentuk lembaga baru yang khusus mengelola aset hasil perampasan tindak pidana. Kedua, menunjuk dan memperkuat lembaga yang ada sebagai institusi pengelola aset hasil perampasan tindak pidana. Berdasarkan pertimbangan efisiensi, opsi pertama telah disepakati untuk tidak dipilih. Terkait opsi kedua, persoalannya kemudian ialah menyepakati lembaga yang ditunjuk sebagai pengelola aset tindak pidana. Terdapat setidaknya 3 (tiga) lembaga yang berpotensi menjadi institusi pengelola aset tindak pidana. Ketiga lembaga tersebut ialah Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, dan Kejaksaan Agung.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dipilih dengan pertimbangan menaungi Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan) yang memiliki kewenangan penyimpanan barang sitaan sesuai pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHAP. Rupbasan dibentuk dengan tujuan untuk menerapkan mekanisme “check dan balance” melalui prinsip netralitas dan prinsip pemisahan fungsi pada pelaksanaan penegakkan hukum, perlindungan ham dan penyelamatan aset hasil tindak pidana. Pemisahan kewenangan tersebut meliputi pemisahan tanggung jawab fisik dan yuridis atas benda sitaan. Rupbasan memiliki kewenangan fisik dan administrasi. Sedangkan kewenangan yuridis berada pada institusi penegak hukum. Kementerian Keuangan dipilih dengan pertimbangan kapasitasnya sebagai pengelola barang milik negara sesuai PP nomor 27 tahun 2014. Kementerian keuangan dianggap memiliki sumberdaya, sarana, dan prasarana yang cukup memadai dalam melaksanakan fungsi pengelolaan aset. Selain itu aset yang dirampas merupakan barang milik negara yang pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan barang milik negara. Kejaksaan agung dipilih dengan pertimbangan memiliki tanggung jawab yuridis atas aset hasil tindak pidana. Hal ini sesuai kewenangan eksekutorial yang melekat pada fungsi Jaksa dalam proses penanganan perkara perampasan aset dan pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Masing-masing lembaga memiliki kelebihan dan kelemahan sendiri sebagai institusi pengelola aset hasil tindak pidana.

Tabel 3: Kelebihan dan kekurangan masing-masing institusi sebagai pengelola aset tindak pidana

Institusi

Kelebihan

Kekurangan

Kementerian Hukum dan HAM

Memiliki unit instansi vertikal yang memiliki kewenangan fisik dan administrasi ata barang sitaan dan rampasan yaitu Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (RUPBASAN). Dasar hukum pembentukan RUPBASAN ialah Undang-undang yaitu Pasal 44 ayat (1) dan (2) Undang-Undang no.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Dari sisi sarana, prasarana, dan kelembagaan, RUPBASAN dianggap memilik banyak keterbatsan dalam melaksanakan pengelolaan aset tindak pidana. Peningkatan sarana, prasarana, dan kemampuan SDM memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Kementerian Keuangan

Memiliki kewenangan terhadap pengelolaan aset/kekayaan negara baik yang dimiliki maupun dikuasai negara. Terdapat unit instansi vertikal (DJKN) yang memiliki kantor operasional yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang dianggap memiliki kapasitas dan kapabilitas yang cukup dalam melaksanakan pengelolaan aset negara.

Kementerian keuangan tidak memiliki kewenangan untuk terlibat dalam proses pemulihan aset sehingga memiliki keterbatasan informasi terkait aset yang akan dikelola. Kewenangan yang dimiliki hanya terbatas pada barang rampasan sebagai barang milik negara.

 

Kejaksaan Agung

Memiliki kewenangan dan tanggungjawab yuridis atas barang sitaan dan rampasan dalam rangka penegakan hukum. Terdapat unit khusus yang dibentuk sebagai pusat pemulihan aset yang memiliki tugas dan kewenangan yang selaras dengan kewenangan institusi pengelolaan aset dalam RUU.

Kejaksaan Agung bukan satu-satunya institusi penegak hukum yang memiliki kewenangan dan tanggungjawab yuridis atas barang sitaan dan rampasan. Pusat Pemulihan Aset yang telah dibentuk tidak memiliki unit operasional di daerah.

Penyerahan Kepada Pengelola Sebagai Solusi Permasalahan Pengelolaan Barang Rampasan

Untuk mencapai optimalisasi pengelolaan barang rampasan dan pemulihan aset tindak pidana, berbagai upaya dan terobosan perlu dilakukan. Penyelesaian permasalahan pengelolaan barang rampasan dalam jangka pendek dapat dilakukan dengan membuka opsi penyerahan barang rampasan kepada Pengelola Barang. Dibukanya opsi penyerahan barang rampasan kepada Pengelola Barang akan membuka ruang pengelolaan yang lebih luas, luwes dan beragam sehingga pengelolaan barang rampasan dapat dilakukan dengan lebih optimal. Pengelolaan barang rampasan oleh pengelola barang memiliki lebih banyak opsi dibanding pengelolaan oleh pengurus barang. Opsi penyerahan kepada Pengelola Barang juga dapat menjadi salah satu pemecahan masalah yang selama ini dihadapi KPK/Kejaksaan berkaitan dengan outstanding penyelesaian barang rampasan. Selain itu opsi penyerahan ini dapat mengurangi beban pekerjaan KPK/Kejaksaan yang berkaitan dengan hal-hal non teknis penegakan hukum sehingga dapat lebih berfokus pada penyelesaian kasus/perkara tindak pidana.

Dalam jangka panjang, opsi penyerahan kepada Pengelola Barang perlu diperluas guna mempertegas pemisahan kewenangan eksekutorial dan kewenangan pengelolaan BMN terhadap barang rampasan negara. Pemisahan kewenangan ini perlu dilakukan agar masing-masing institusi dapat lebih berfokus pada bidang tugas dan kewenangannya masing-masing. Pemberian kewenangan KPK/Kejaksaan sebagai Pengurus Barang Rampasan yang memiliki fungsi pengelolaan perlu dipertimbangkan kembali. KPK/Kejaksaan sebaiknya diberi dua opsi terkait penyelesaian barang rampasan. Opsi pertama, menggunakan kewenangan eksekutorial sebagaimana diberikan dalam KUHAP terkait penjualan dan penyetoran hasil penjualan barang rampasan ke kas negara. Opsi kedua, menyerahkan barang rampasan kepada Pengelola Barang untuk dikelola sesuai mekanisme pengelolaan BMN. Sepanjang KPK/Kejaksaan menggunakan kewenangan eksekutorial dalam penyelesaian barang rampasan, Pengelola Barang tidak dapat menggunakan kewenangan pengelolaan BMN atas barang rampasan tersebut. Sebaliknya, setelah barang rampasan diserahkan kepada Pengelola Barang, kewenangan eksekutorial KPK/Kejaksaan atas barang rampasan tersebut berakhir. Kewenangan pengelolaan barang rampasan yang telah diserahkan sepenuhnya berada pada Pengelola Barang sesuai mekanisme pengelolaan BMN yang berlaku umum.

Opsi penyerahan yang diperluas ini, dapat menyelesaikan permasalahan penatausahaan dengan lebih baik. Barang rampasan yang telah diserahkan menjadi aset kepada Pengelola Barang sehingga pencatatannya dapat dilakukan terpisah dari LKKL. Pencatatan aset barang rampasan yang telah menjadi aset pada Pengelola Barang dapat dilakukan pada akun aset lain-lain pada neraca LKBUN. Sedangkan terhadap barang rampasan yang sedang dalam proses penyelesaian sesuai kewenangan eksekutorial KPK/Kejaksaan, pencatatannya dapat dilakukan pada akun persediaan pada neraca LKKL KPK/Kejaksaan karena telah memenuhi kriteria sebagai barang yang dimaksudkan untuk dijual atau diserahkan. Pencatatan ke dalam LKKL KPK/Kejaksaan tersebut dimaksudkan hanya dilakukan dalam jangka pendek sesuai definisi persediaan. Pencatatan dilakukan setidaknya paling lama selama satu periode pelaporan keuangan. Hal ini sejalan dengan amanat KUHAP yang menyebutkan bahwa penyelesaian barang rampasan berupa penjualan dan penyetoran hasilnya dilakukan dalam kurun waktu tiga bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan (pasal 273 ayat 3 dan 4 KUHAP). Pencatatan barang rampasan ke dalam akun persediaan ini berbeda dengan pencatatan yang dilakukan selama ini. Dengan mekanisme saat ini, pencatatan barang rampasan ke dalam akun persediaan dilakukan secara terus menerus mengingat tidak adanya kepastian jangka waktu penyelesaiannya. Dengan mekanisme opsi penyerahan diperluas, Jaksa dapat mempertimbangkan untuk menyerahkan barang rampasan kepada Pengelola Barang setelah upaya eksekutorial yang dilakukan selama jangka waktu yang diamanatkan dalam KUHAP belum memberikan hasil yang maksimal. Hal ini akan memberi kepastian jangka waktu penyelesaian yang lebih baik dari sudut pandang Jaksa maupun dari sudut pandang akuntansi.

Usulan Mekanisme Pengelolaan Aset Tindak Pidana

Dilihat dari sudut pandang pemulihan aset tindak pidana secara keseluruhan, opsi penyerahan barang rampasan kepada Pengelola Barang masih bersifat parsial karena hanya berkaitan dengan aset hasil tindak pidana yang telah dirampas menjadi barang milik negara. Dalam kerangka pemulihan aset, perlu adanya solusi yang lebih komprehensif yang tidak hanya berkaitan dengan aset yang dirampas dalam bentuk barang melainkan juga pada aset hasil tindak pidana berupa aset-aset finansial dan aset dalam bentuk barang yang sedang dalam proses penelusuran dan penyitaan. Pemulihan aset tindak pidana akan lebih optimal apabila prinsip-prinsip manajemen aset diterapkan tidak hanya di dihilirnya saja (baca: aset dirampas) melainkan sejak dari hulu (baca: aset ditelusuri dan disita). Pendekatan manajemen aset yang komprehensif dan terintegrasi ini memungkinkan perencanaan pengelolaan aset tindak pidana dapat dilakukan sejak awal sehingga diharapkan memberi hasil yang lebih optimal. Dengan penerapan pendekatan manajemen aset sejak awal, permasalahan pemeliharaan, penyimpanan, pengamanan, dan penurunan nilai aset dapat ditangani dengan lebih baik. Permasalahannya, pendekatan terintegrasi dalam pengelolaan aset tindak pidana saat ini sulit dilakukan karena kewenangan terkait aset tindak pidana yang ada saat ini terpisah-pisah. Kewenangan tersebut, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, setidaknya terpisah-pisah kedalam beberapa institusi. Kewenangan tersebut meliputi kewenangan yuridis, fisik dan administrasi, serta pengelolaan. Kewenangan yuridis berada pada aparat penegak hukum (penyidik dan jaksa). Kewenangan fisik dan administrasi barang sitaan ada pada Rupbasan. Kewenangan pengelolaan barang rampasan ada pada Menteri Keuangan selaku Pengelola BMN.

Penyatuan kewenangan-kewenangan tersebut kedalam satu lembaga baru mungkin akan sulit dilakukan selain pertimbangan efisiensi juga mengingat setiap institusi memiliki kewenangan masing-masing yang diberikan undang-undang. Fungsi dan kewenangan yang saling terkait tersebut sebenarnya dapat berjalan beriringan. Namun demikian dirasa perlu menunjuk satu institusi sebagai pengelola aset hasil tindak pidana. Institusi yang ditunjuk tersebut dapat membentuk unit khusus yang akan melakukan pengelolaan aset hasil tindak pidana dengan pendekatan manajemen aset guna memperoleh hasil pemulihan aset yang lebih optimal. Unit yang dibentuk tersebut tidak akan mengambil peran dan kewenangan terkait proses pemulihan aset yang dimiliki masing-masing institusi. Sebaliknya, unit tersebut diharapkan dapat memberikan dukungan yang bersifat non teknis yang diperlukan dalam optimalisasi pemulihan aset tindak pidana. Dukungan non teknis yang diberikan tersebut dapat berupa dukungan finansial dan non finanasial. Untuk dapat menjalankan perannya tersebut, unit khusus tersebut harus dibekali fleksibilitas dalam pengelolaan keuangannya. Fleksibilitas pengelolaan keuangan dapat diberikan melalui mekanisme pengelolaan keuangan badan layanan umum

Selain fleksibiltas pengelolaan keuangan, unit khusus pengelola aset tindak pidana harus memiliki kewenangan yang berkaitan dengan pengelolaan barang milik negara. Hal ini mengingat bahwa aset tindak pidana yang akan dikelola pada akhirnya akan menjadi barang milik negara ketika dinyatakan dirampas untuk negara. Berdasarkan pertimbangan tersebut, unit pengelola aset tindak pidana tersebut sebaiknya berada dibawah naungan Menteri Keuangan sebagai pengelola BMN. Pertimbangan lainnya terkait kapasitas dan kapabilitas dalam pengelolaan aset serta akses langsung terhadap sumber pendanaan utama (baca: APBN). Akses terhadap APBN diperlukan mengingat unit tersebut tidak hanya berperan sebagai pengelola aset (asset manager) melainkan juga sebagai pengelola dana (fund manager). Sebagai pengelola aset, unit pengelola aset tindak pidana melakukan pengelolaan barang rampasan, barang sitaan, dan aset tindak pidana lainnya. Pengelolaan barang rampasan dilakukan untuk optimalisasi aset sesuai mekanisme pengelolaan BMN. Pengelolaan aset sitaan dilakukan untuk menjamin hasil yang optimal dalam rangka pemulihan kerugian negara atau mencegah kerugian yang mungkin dialami tersangka atau terpidana dalam hal putusan pengadilan membebaskan terdakwa dan memerintahkan aset yang disita untuk dikembalikan. Kerugian tersebut dapat berupa penurunan nilai aset dan kehilangan potensi atau manfaat aset. Baik kerugian negara maupun kerugian tersangka atau terdakwa menjadi pertimbangan dalam pengelolaan aset sitaan untuk dipulihkan.

Pengelolaan aset sitaan yang dilakukan melalui mekanisme sebagai berikut. Unit pengelola aset diberi kewenangan untuk melakukan pengelolaan barang sitaan yang meliputi pemeliharaan, pemanfaatan, dan penjualan barang sitaan. Pemeliharaan dilakukan guna mempertahankan dan mencegah penurunan nilai ekonomis aset secara signifikan. Pemanfaatan dilakukan guna mengoptimalkan potensi ekonomis aset dalam menghasilkan pendapatan atau aliran kas (cash flow). Pemanfaatan dilakukan terhadap aset sitaan yang berpotensi menghasilkan penerimaan (income producing asset). Pendapatan yang dihasilkan digunakan untuk mempertahankan nilai ekonomis aset dan meningkatkan nilai tambah aset (value added). Penjualan dilakukan guna mencapai efisiensi dalam pengelolaan aset. Penjualan dilakukan terhadap aset sitaan dengan karakteristik memerlukan pemeliharaan yang bersifat intensif (asset intensive maintenance) guna mencegah penurunan nilai aset yang cepat secara signifikan. Penjualan dilakukan dengan pertimbangan biaya yang harus dikeluarkan untuk memelihara dan mempertahankan aset tersebut cukup besar sehingga mempertahankannya menjadi opsi yang tidak efisien. Pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan aset tersebut kemudian dikelola melalui instrumen-instrumen keuangan yang bebas atau rendah risiko (risk free or low risk) guna mempertahankan nilai waktu uang (time value of money) dan meningkatkan nilai tambah (value added).

Sebagai pengelola dana, unit pengelola aset tindak pidana berperan dalam memberikan dukungan finansial berupa pembiayaan yang bersifat non rutin yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan proses pemulihan aset. Pembiayaan non rutin yang dimaksud berupa pembiayaan yang diperlukan guna mendanai kegiatan pemulihan aset yang bersifat mendesak sehingga tidak tersedia dalam anggaran. Pembiayaan non rutin tersebut sulit atau tidak dapat diperkirakan besarannya sehingga penganggarannya tidak dapat dilakukan dengan tepat sesuai kebutuhan. Hal ini seringkali terjadi dan menjadi permasalahan umum yang dihadapi dalam proses pemulihan aset karena jumlah perkara yang ditangani dan kompleksitasnya merupakan sesuatu yang sulit diperkirakan. Selain pembiayaan non rutin, dapat juga dipertimbangkan mengenai pemberian insentif kepada kepada pihak-pihak yang berperan dalam mendukung keberhasilan pemulihan aset tindak pidana sebagai bentuk apresiasi. Pembiayaan tersebut dilakukan dengan skema pembiayaan mandiri (self financing). Mekanisme pembiayaan mandiri dilakukan dalam bentuk penggunaan sebagian hasil pengelolaan aset tindak pidana untuk mendanai kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan pemulihan aset tersebut. Skema pendanaan dapat dilakukan melalui mekanisme dana talangan. Dana talangan dapat berasal dari dana yang diberikan kepada unit pengelola aset melalui mekansime APBN dan dana yang diperoleh dari hasil pengelolaan aset tindak pidana.

Pengelolaan dana talangan dilakukan melalui mekanisme sebagai berikut. Institusi yang berkaitan dengan pemulihan aset tindak pidana mengajukan proposal permintaan dana dalam rangka pemulihan aset tindak pidana kepada unit pengelola. Unit pengelola mengeluarkan dana sesuai proposal yang akan digunakan untuk mendanai kegiatan pemulihan aset tindak pidana. Dalam hal pengadilan memutuskan aset yang diperoleh dari kegiatan pemulihan aset tindak pidana dinyatakan dirampas untuk negara, dana yang dikeluarkan untuk menalangi kegiatan pemulihan aset tersebut dan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemeliharaan dan pengelolaan aset kemudian diperhitungkan dari hasil pemanfaatan atau penjualan aset tersebut. Hasil pemanfaatan atau penjualan aset setelah diperhitungkan penggantian biaya-biaya tersebut disetorkan ke kas negara. Penyetoran ke kas negara dilakukan unit pengelola aset sebagai penerimaan institusi yang melakukan kegiatan pemulihan aset. Sebaliknya, dalam hal pengadilan memutuskan aset tidak terkait dengan tindak pidana sehingga harus dikembalikan kepada pemilik aset, pengembalian dana yang dikeluarkan untuk menalangi kegiatan pemulihan aset dibebankan pada APBN melalui institusi yang mengajukan proposal. Aset dan seluruh penerimaan yang diperoleh dari pengelolaan aset termasuk hasil penjualan aset berikut hasil pengelolaan dananya diserahkan kepada pemilik aset setelah dikurangi biaya pemeliharaan dan pengelolaan yang dikeluarkan unit pengelola.

Kesimpulan

Pengelolaan barang rampasan yang dilakukan saat ini dirasakan belum memberikan hasil yang optimal. Mekanisme yang ada tidak banyak memberi ruang Pengelola Barang untuk melakukan pengelolaan yang lebih optimal. Selain itu terdapat permasalahan terkait kewenangan dan penatausahaan. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu dicarikan jalan penyelesaiannya agar pengelolaan barang rampasan dapat lebih optimal. Disamping itu, dalam perkembangannya saat ini, penanganan perkara tindak pidana tidak hanya dilakukan untuk menghukum pelaku kejahatannya saja melainkan juga untuk memulihkan kerugian yang diakibatkan tindak kejahatan yang dilakukan. Untuk itu proses pemulihan aset tindak pidana semakin penting dilakukan. Pendekatan konvensional yang dilakukan dalam pemulihan dan perampasan aset dirasa kurang memberikan hasil optimal sehingga perlu adanya terobosan yang dilakukan mengingat dampak kerusakan yang diakibatkan tindak pidana semakin besar. Pendekatan Non-Conviction Based dalam perampasan aset merupakan suatu terobosan yang dapat diterapkan. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB menentang korupsi (UN Convention Againts Corruption) tahun 2003 yang di dalamnya mengamanatkan penerapan pendekatan Non-Conviction Based dalam perampasan aset tindak pidana. RUU Perampasan Aset Tindak Pidana telah disusun untuk mengimplenetasikan hal tersebut. Namun demikian, terdapat beberapa persoalan yang menyebabkan RUU tersebut belum juga disahkan. Salah satu permasalahannya berkaitan dengan institusi yang akan menjadi Pengelola Aset Tindak Pidana. Pembentukan lembaga baru tidak memungkinkan dengan pertimbangan efisiensi. Penunjukan salah satu institusi yang dianggap paling tepat juga akan menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan kewenangan. Opsi yang paling mungkin ialah membentuk satu unit khusus pada salah satu institusi yang ditunjuk yang akan melakukan pengelolaan aset sekaligus memberikan dukungan teknis dan non teknis yang berkaitan dengan proses pemulihan aset tanpa mengambil kewenangan institusi lain.

 

Penulis             : Surya Hadi Purnama

  Kepala Seksi Pengelolaan Kekayaan Negara pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Palu

 

Referensi

1.   Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).

2.     Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355).

3.  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Natlons Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620).

4.   Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Repubik Indonesia Nomor 5533).

5.  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.06/2021 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

6.    United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003), Terjemahan Tidak Resmi. Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi dan Biro Hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi.

7. United Nations Convention against Corruption. Diakses pada 10 Desember 2021. https://www.unodc.org/unodc/en/ corruption/uncac.html.

8.     Greenberg, Theodore S. Linda M. Samuel, Wingate Grant, dan Larissa Gray. Stolen Aset Recovery: A Good Practices Guide for Non-Conviction Based Aset Forfeiture. Washington: The World Bank, 2009. Diunduh dari laman https://www.un.org/ruleoflaw/blog/document/a-good-practices-guide-for-non-conviction-based-asset-forfeiture/.

9.  Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2015. Diunduh dari laman https://jdihn.go.id/search/monografi/detail/870244.

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini