Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 Pasal 12 ayat 1 mewajibkan instansi pemerintah dan badan negara menyerahkan piutang macetnya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Pada prinsipnya, piutang yang tidak mungkin lagi tertagih oleh instansi yang bersangkutan, maka penyelesaiannya diserahkan kepada PUPN. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), merupakan tingkat instansi eselon 1 pada Kementerian Keuangan yang mengambil peran didalam PUPN. Saat ini Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) melakukan transformasi dan terobosan tata kelola piutang Negara dimasa pandemi covid-19. Apa yang terlintas dalam benak kita semua ketika mendengar tentang piutang negara? Apa saja transformasi dan terobosan yang dilakukan oleh DJKN?.
A. Pengertian Piutang
Beberapa ahli yang menyatakan pendapat
diantaranya yaitu Hery, (2015:29), mendefinisikan Istilah piutang adalah “mengacu pada
sejumlah tagihan yang akan diterima oleh perusahaan (umumnya dalam bentuk kas) dari pihak
lain, baik sebagai akibat penyerahan barang dan jasa secara kredit”. Senada
dengan hal tersebut Subroto (1991:63) berpendapat bahwa “Piutang adalah tagihan
(klaim) kepada pihak lain atas uang, barang atau jasa yang untuk kepentingan
Akuntansi”. [1]
Sedangkan, pengertian piutang Negara menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara adalah: Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada
Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang
sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. [2]
Penulis
sendiri memiliki definisi sederhana perihal arti kata ‘piutang’, yaitu sejumlah
hak (memiliki nominal/non-nominal) yang wajib diterima dari penanggung hutang
akibat adanya perjanjian atau hal lainnya yang menimbulkan hak tersebut muncul.
Dalam hal ini, tentu saja yang akan dibahas adalah hak yang diterima yang
memiliki nilai nominal atau dapat di-uang-kan.
B.
Pengertian DJKN, KPKNL dan PUPN
DJKN adalah salah satu eselon satu di Kementerian
Keuangan yang mempunyai visi menjadi pengelola kekayaan negara yang profesional
dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta mempunyai tugas
merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
Kekayaan Negara, Piutang Negara dan Lelang sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
DJKN memiliki kantor-kantor pelayanan di sejumlah daerah
di seluruh Indonesia, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)
adalah instansi vertikal DJKN yang bertugas salah satunya menyelenggarakan pengelolaan
kekayaan negara, penilaian dan lelang termasuk juga pengurusan piutang negara.
PUPN merupakan lembaga interdepartemental yang sudah ada sejak
tahun 1960 berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960. Dalam
penyelenggaraan pengurusan piutang Negara PUPN/KPKNL menerima penyerahan
piutang macet dari K/L baik pusat maupun daerah termasuk Badan Layanan Umum
(BLU)/Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Lembaga Negara, Komisi Negara, Badan
Hukum lainnya yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, atau Badan
Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor (PMK) 240/PMK.06/2016.
C.
Proses Pengurusan Piutang Negara
Prosedur
proses pengurusan piutang negara berdasarkan PMK Nomor 240/PMK.06/2016 yang
dilakukan oleh PUPN memiliki beberapa tahapan, yang apabila diruntut adalah
sebagai berikut :
1. Diawali dengan adanya
Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N);
2. Panggilan hingga Panggilan
Terakhir dalam hal debitur tidak memenuhi panggilan;
3. Pernyataan bersama
(PB)
4. Penetapan Jumlah
Piutang (PJPN), dibuat dalam hal penanggung hutang tidak memenuhi panggilan
terakhir atau tidak mematuhi pernyataan bersama;
5. Penerbitan dan
Pelaksanaan Surat Paksa (SP);
6. Penerbitan Surat
Perintah Penyitaan (bila ada barang jaminan);
7. Pelaksanaan Penyitaan;
8. Surat Perintah
Penjualan Barang Sitaan (SPPBS);
9. Pelaksanaan Lelang
Barang Jaminan;
10. Selain itu terdapat tahapan yang bersifat opsional seperti Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT), Pemeriksaan, Penelitian Lapangan dan Paksa Badan/Gijzeling.
Penanganan piutang Negara di KPKNL
dilakukan oleh seksi piutang negara, dimana setiap kepengurusan piutang negara
yang diserahkan dari instansi-instansi diberikan dalam bentuk Berkas Kasus
Piutang Negara (BKPN), barulah kemudian seksi piutang negara dapat melakukan
tahapan tahapan pengurusan piutang negara diatas. Terdapat biaya administrasi
(Biad) yang dikenakan terhadap setiap pengurusan piutang negara yang disebut
sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan Peraturan Pemerintah
No.62 tahun 2020 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2018
tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku
pada Kementerian Keuangan.
Adapun besaran
Tarif Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara adalah sebagai berikut :
1. Pelunasan
hutang yang dilakukan sebelum Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
diterbitkan ditetapkan sebesar 0% (nol persen) per Berkas Kasus Piutang Negara;
2. Pelunasan
hutang yang dilakukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan mulai tanggal
Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara diterbitkan ditetapkan sebesar 1%
(satu persen) dari jumlah yang wajib dilunasi per Berkas Kasus Piutang Negara;
3. Pelunasan
hutang yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan
sejak Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara diterbitkan ditetapkan sebesar
10% (sepuluh persen) dari jumlah hutang yang wajib dilunasi per Berkas Kasus
Piutang Negara;
4. Penerimaan
dari Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara untuk penarikan Pengurusan
Piutang Negara ditetapkan sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari sisa hutang
yang wajib diselesaikan per Berkas Kasus Piutang Negara.[3]
D. Petugas
yang terlibat menangani piutang negara
Personil piutang Negara adalah
pemegang BKPN, Jurusita, dan Pemeriksa Piutang Negara. Yang mempunyai tugas,
wewenang, dan tanggung jawab sebagai ujung tombak dari pelaksanaan
proses pengurusan piutang negara tersebut adalah para pemegang/pengelola BKPN,
Jurusita, dan Pemeriksa Piutang Negara.
a) Pemegang/Pengelola BKPN
Petugas yang melakukan proses pengurusan piutang negara
sekaligus penatausahaan BKPN adalah pemegang BKPN yang memiliki peran yang
sangat penting dalam pengurusan piutang Negara. Pemegang BKPN ada keterkaitan
langsung Penanggung Utang dengan BKPN juga memiliki peran yang besar karena
memuat data keseluruhan tentang hal-hal yang sudah dilakukan pihak
penyerah piutang (PP) sebagai data historis pengurusan dan tindak lanjut
pengurusan selanjut sampai tahap apa. Penatausahaan BKPN oleh pemegang BKPN sangat
penting karena BKPN yang rapi dan tertata akan mempermudah pengurusan piutang
Negara, sehingga akan mempermudah untuk memetahkan BKPN dalam mengejar
pelunasan Piutang Negara Dapat Diselesaikan (PNDS).
b) Jurusita Piutang Negara
Jurusita
Piutang Negara adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal
yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab kejurusitaan. Definisi tersebut
dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 18, Bab I Ketentuan Umum Peraturan Menteri
Keuangan RI Nomor 240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara.
Sebagai
Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan DJKN Kementerian Keuangan yang diberi
tugas, wewenang, dan tanggung jawab kejurusitaan. Adapun tugas, wewenang, dan
tanggung jawab Jurusita DJKN adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan
pemberitahuan Surat Paksa sekaligus melakukan penagihan utang;
2.
Melaksanakan
penyitaan Barang Jaminan/Harta Kekayaan lain milik Penanggung Utang/Debitur;
3.
Melakukan
penarikan/pengamanan barang sitaan;
4. Melakukan
Paksa Badan/gijzeling terhadap
Penanggung Utang/Penjamin Utang (borgtocht
atau personal guarantee), sesuai
dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
c) Pemeriksa Piutang Negara
Pemeriksa Piutang Negara adalah Pegawai
Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas
kuasa Menteri Keuangan, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk
melakukan Pemeriksaan. Berdasarkan Pasal 112 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
240/PMK.06/2016 tugas Pemeriksan Piutang Negara, sebagai berikut:
1.
Mencari,
meneliti, dan mengumpulkan keterangan atau bukti-bukti yang berhubungan dengan
objek Pemeriksaan; dan/ atau
2.
Melakukan
wawancara atau meminta penjelasan dari berbagai pihak yang berkaitan dengan
objek Pemeriksaan.
Selanjutnya pada Pasal 113 wewenang yang
dimiliki Pemeriksa Piutang Negara adalah dalam melaksanakan Pemeriksaan,
Pemeriksa Piutang Negara berwenang meminta keterangan kepada Penanggung Utang
dan/ atau pihak lain, yang berkaitan dengan :
1. Tempat
kediaman/ rumah, kantor, tempat usaha/ tempat kegiatan milik atau
diduga milik Penanggung Utang;
2. Usaha
dan/ atau Harta Kekayaan Lain; dan/ atau
3. Catatan
dan pembukuan dari usaha milik atau milik Penanggung Utang.
D. Transformasi Pengelolaan Piutang
Negara
a) Pengurusan Sederhana dengan PMK Nomor 163/PMK.06/2020
Kementerian
Keuangan melalui DJKN telah mentransformasi tata kelola piutang negara secara
lebih baik dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 163/PMK.06/2020
tentang Pengelolaan Piutang Negara pada Kementerian/Lembaga (K/L), Bendahara
Umum Negara (BUN) dan Pengurusan Sederhana oleh PUPN.
Piutang
negara adalah uang yang wajib dibayar kepada negara berdasarkan suatu
peraturan, perjanjian, atau sebab apapun berdasarkan PMK 240/2016. Per tanggal
3 Desember 2020, piutang yang diurus PUPN memiliki 59.514 BKPN dengan
outstanding sejumlah Rp75,3 triliun. [4]
Sebagai pemilik piutang, K/L dinilai lebih mengenal seluk-beluk histori
piutang yang ada sehingga lebih efektif mengejar penyelesaian piutang oleh
debitur. Oleh karena itu, DJKN memberikan batasan terkait kriteria piutang
negara yang dapat diserahkan pengurusannya oleh K/L kepada PUPN.
Beberapa terobosan dapat
diupayakan oleh K/L terkait penagihan piutang negara, antara lain
restrukturisasi, kerjasama penagihan, parate eksekusi, crash program, gugatan
ke Pengadilan Negeri, dan penghentian layanan. Kementerian Keuangan dan DJKN
akan mendampingi dengan dukungan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian kepada
K/L, serta rekonsiliasi data secara rutin.
Dengan terbitnya PMK 163/2020
diharapkan dapat memperbaiki tata kelola piutang, dari hulu ke hilir, dengan
memberikan lebih banyak kepercayaan kepada kementerian/lembaga untuk mengelola
piutangnya sampai tuntas. PMK 163/2020 juga dimaksudkan menjadi payung hukum
dan legitimasi pada K/L untuk melakukan penagihan piutang secara optimal. Selanjutnya,
PMK 163/2020 ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja PUPN dalam
mengurus piutang negara yang memiliki jumlah signifikan, dengan memaksimalkan
berbagai upaya dalam pendekatan eksekusi ataupun non-eksekusi yang menjadi
tugas dan kewenangan PUPN.
Pembahasan mengenai Pengurusan Sederhana terhadap Piutang
Negara yang dilakukan oleh PUPN yang pada pelaksanaannya berada pada KPKNL.
Menurut ketentuan Pasal 77 PMK 163/2020, kriteria Piutang Negara yang dapat
diurus dengan mekanisme Pengurusan Sederhana adalah: [5]
1. jumlah
utang paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
2. tidak
terdapat Barang Jaminan atau Barang Jaminan tidak mempunyai nilai ekonomis,
telah hilang, telah terjual Lelang atau telah dicairkan;
3. tidak
pernah datang memenuhi surat panggilan/himbauan atau tidak pernah datang atas
kemauan sendiri;
4. tidak
pernah melakukan angsuran;
5. telah
dilakukan pemberitahuan Surat Paksa; dan
6. telah
diurus oleh PUPN lebih dari 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat
Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N).
Eksistensi Pengurusan Sederhana yang diatur dalam PMK
163/2020 ini jika disandingkan dengan mekanisme pengurusan Piutang Negara yang
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.06/2016 tentang
Pengurusan Piutang Negara (PMK 240/2016) maka akan didapati pembedaan lex
specialis dan lex generalis. Pengurusan Sederhana merupakan lex
specialis terhadap pengurusan Piutang Negara yang diatur dalam PMK 240/2016
sebagai lex generalis.
Saat ini,
K/L mempunyai kewenangan untuk mengelola piutang negara yang besarannya di
bawah Rp8 juta, tidak memiliki barang jaminan, tidak ada dokumen yang
membuktikan adanya dan besarnya piutang, serta piutang yang sengketa di
Pengadilan Negeri, dan piutang yang dikembalikan atau ditolak oleh PUPN.
Sebagai pemilik piutang, K/L dinilai lebih
mengenali seluk-beluk histori piutang yang ada sehingga dapat lebih efektif
mengejar penyelesaian piutang oleh debitur. Oleh karena itu, DJKN memberikan
batasan terkait kriteria piutang negara yang dapat diserahkan pengurusannya
oleh K/L kepada PUPN.
Sehingga
dengan diterbitkannya PMK 163/2020, DJKN juga bermaksud untuk meningkatkan
kinerja PUPN dalam mengurus piutang negara yang memiliki jumlah signifikan,
dengan memaksimalkan berbagai upaya dalam pendekatan eksekusi ataupun
non-eksekusi yang menjadi tugas dan kewenangan PUPN.
c) Pemberian Keringanan Utang sesuai PMK Nomor 15/PMK.06/2021
Dimasa pandemi Corona Virus Disease-19
(Covid-19) memberikan dampak yang cukup signifikan pada sebagian besar
masyarakat Indonesia. Pengaruh yang diberikan tidak hanya dari segi kesehatan,
namun juga perekonomian. Perolehan pendapatan masyarakat menurun dari waktu ke
waktu. Penurunan pendapatan ini juga berdampak pada debitur-debitur untuk
melunasi utangnya kepada negara. Atas dasar inilah Kementerian Keuangan c.q
DJKN memberikan program keringanan utang kepada negara oleh debitur-debitur
kecil dengan mekanisme Crash Program.
Crash Program pada dasarnya merupakan program yang memberikan keringanan utang dalam bentuk pengurangan jumlah utang yang dibayar atau moratorium tindakan hukum pengurusan piutang negara. Pengurangan jumlah utang yang dibayar dilakukan dengan mengurangi pembayaran pelunasan utang oleh debitur dalam bentuk pengurangan pokok utang dan penghapusan bunga, denda, dan ongkos/biaya lain. Besaran tarif keringanan yang diterapkan mulai dari 35% hingga 60% untuk sisa utang pokok, dengan tambahan keringanan sebesar 50% apabila lunas sampai dengan Juni 2021, 30% pada Juli sampai dengan September 2021, dan 20% pada Oktober sampai 20 Desember 2021.
Sedangkan
moratorium sendiri bisa dalam bentuk penundaan penyitaan barang jaminan/harta
kekayaan lain, penundaan lelang, maupun penundaan paksa badan hingga status
bencana nasional pandemc covid-19 dinyatakan berakhir oleh pemerintah.
Moratorium hanya diberikan kepada debitur yang juga memiliki kondisi khusus,
yaitu terbukti terdampak pandemi covid-19 dan pengurusan Piutang
Negaranya baru diserahkan setelah ditetapkan status bencana nasional pandemi covid-19.
Lantas,
siapa saja yang menjadi objek dari program ini? Seperti disebutkan di Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.06/2021 tentang Penyelesaian Piutang Instansi
Pemerintah yang Diurus/Dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara dengan Mekanisme Crash Program tahun anggaran
2021, yang menjadi objek dari Crash Program adalah: [6]
1.
Debitur
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perorangan atau badan hukum/badan usaha
dengan pagu kredit maksimal Rp 5 Miliar;
2.
Debitur
perorangan yang menerima Kredit Pemilikan Rumah Sederhana/Rumah Sangat
Sederhana (KPR RS/RSS) dengan pagu kredit maksimal Rp 100 juta; dan
3.
Debitur lain
secara umum dengan pagu kredit maksimal Rp 1 Miliar yang piutangnya telah
diserahkan kepengurusannya ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan telah terbit
Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) sampai dengan 31 Desember
2020.
Debitur-debitur
ini kemudian diharuskan untuk mengajukan permohonan tertulis kepada KPKNL
paling lambat 1 Desember 2021.
Dengan fokus kepada debitur kecil, Program Keringanan
Utang tidak berlaku untuk Piutang Negara yang berasal dari tuntutan ganti
rugi/tuntutan perbendaharaan (TGR/TP), Piutang Negara yang berasal dari ikatan
dinas, Piutang Negara yang berasal aset kredit eks Bank Dalam Likuidasi (BDL),
serta Piutang Negara yang terdapat jaminan penyelesaian utang berupa
asuransi, surety bond, bank garansi dan/atau bentuk jaminan
penyelesaian setara lainnya.
Program ini merupakan suatu upaya pemerintah
untuk membantu dan memberikan angin segar bagi para debitur yang mengalami
kendala dalam pembayaran utangnya akibat Covid-19. Diharapkan dengan adanya
program ini, debitur-debitur yang kesulitan dapat menyelesaikan kewajiban
utangnya kepada negara. Di sisi lain, program ini menjadi salah satu kontribusi
DJKN dalam mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional, meredakan beban para
debitur kecil yang terdampak pandemi covid-19, sekaligus mempercepat
penyelesaian Piutang Negara pada instansi pemerintah.
Sayangnya
banyak nama-nama debitur yang tidak dapat dihubungi dan surat panggilanya dikembalikan
khususnya dalam Crash Program ini sehingga menjadi kendala kurang
optimal guna penyelesaian piutang Negara yang telah diserahkan ke KPKNL, dengan
transformasi dan terobosan pengelolaan piutang Negara yang dilakukan sebagai upaya
untuk meningkatkan kinerja PUPN dalam
mengurus piutang negara yang mempunyai jumlah signifikan. Dengan harapan, memaksimalkan berbagai upaya
dalam pendekatan eksekusi ataupun non-eksekusi yang menjadi tugas dan
kewenangan PUPN.
Penulis :
Tim Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Palu
Referensi :
1.
https://123dok.com/document/yrkv36oz-analisis-perlakuan-piutang-pelanggan-sidoarjo-perbanas-institutional-repository.html [diakses pada tanggal 3/05/2021]
2.
Undang-Undang Nomor 1
tahun 2004
3.
Peraturan
Pemerintah No.62 tahun 2020
4.
Peraturan Menteri
Keuangan (PMK)
PMK Nomor 163/PMK.06/2020
5.
Peraturan Menteri
Keuangan (PMK)
PMK Nomor 163/PMK.06/2020 pasal 77
6.
Peraturan Menteri
Keuangan (PMK)
PMK Nomor 15/PMK.06/2021