Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Palopo > Artikel
Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Apakah Bisa Dipidana?
Rahmat Ibnu Wibowo
Kamis, 29 September 2022   |   65434 kali

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali masyarakat menjadi korban suatu tindak pidana berupa kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Ketika seseorang merasa terancam akan tindak kejahatan yang mungkin menimpa dirinya, maka orang tersebut tentu akan berusaha untuk membela diri. Apakah seseorang dapat dipidana karena melakukan upaya pembelaan diri? Bagaimana pengaturan hukum di Indonesia tentang pembelaan diri apabila dilakukan secara terpaksa?

Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia yang berlandaskan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (selanjutnya disebut sebagai KUHP), dikenal beberapa alasan penghapusan pidana yang terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf yang diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 51 KUHP. Salah satu alasan penghapus pidana yang diatur dalam KUHP adalah Pembelaan terpaksa (noodweer) sebagimana ketentuan Pasal 49 Ayat (1) dan (2) KUHP.

Pembelaan diri pada Pasal 49 KUHP dibagi menjadi dua yaitu Pembelaan Diri (Noodweer), diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP dan Pembelaan Diri Luar Biasa (Noodweer Excess) atau pembelaan di luar batas, diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP.

Pasal49 ayat (1) KUHP menyebutkan:

“Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.

Sedangkan Pasal 49 ayat (2) KUHPberbunyi:

“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas,yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”

Keduanya berasal dari postulat Necessitas Quod Cogit Defendit, artinya keadaan terpaksa melindungi apa yang harus diperbuat.

Tidak serta merta segala perbuatan pembelaan diri yang dilakukan dapat dijustifikasi oleh pasal ini, setidaknya, terdapat tiga syarat PembelaanTerpaksa, antara lain:

  • Serangan dan ancaman yang melawan hak yang mendadak dan harus bersifat seketika (sedangdan masih berlangsung) yang berarti tidak ada jarak waktu yang lama, begitu orang tersebut mengerti adanya serangan, seketika itu pula dia melakukan pembelaan.
  • Serangan tersebut bersifat melawan hukum (bersifat wederrechtelijk), dan ditujukan kepada tubuh, kehormatan,dan harta benda baik punya sendiri atau orang lain.
  • Pembelaan tersebut harus bertujuan untuk menghentikan serangan, yang dianggap perlu dan patut untuk dilakukan berdasarkan asas proporsionalitas dan subsidiaritas. Perbuatan harus seimbang dengan serangan, dan tidak ada cara lain untuk melindungi diri kecuali dengan melakukan pembelaan dimana perbuatan tersebut melawan hukum.

Pembelaan Terpaksa (Noodweer) merupakan alasan pembenar yang menghapus elemen “Melawan Hukum” dari perbuatan orang yang membela dirinya. Misalnya, jika ada begal yang menodong kita dengan pisau, hukum pidana membenarkan tindakan kita untuk melawan penodong tersebut. Misalnya, dengancara seketika menendang tangan penodong hingga pisaunya terjatuh, padahal menendang termasuk penganiayaan (mishandeling).

Adapun perbedaannya dengan Pembelaan Terpaksa yang Melampui Batas (Noodweerexces) terletak pada syarat adanya “keguncangan jiwa yang hebat”, dalam bentuk kecemasan, perasaan cemas yang dirasakan secara teramat sangat (dahsyat), rasa takut, dan kemarahan hebat, yang berakibat terganggunya keadaan jiwa atau batin seseorang sehingga mengubah serangan tersebut menjadi pembelaan diri yang berlebihan. Hal tersebutlah yang menyebabkan batas-batas keperluan pembelaan dilampaui, walaupun serangan dari penyerang itu sendiri sebenarnya telah berakhir. Maka kondisi yang demikian, menjadi suatu alasan pemaaf yang menghapus elemen kesalahan (schuld), dari orang yang membela diri secara berlebihan tersebut.

Dalam menentukan sebuah kejadian merupakan lingkup perbuatan membela diri, aparat penegak hukum perlu meninjau satu persatu kronologi kejadian, dengan memperhatikan unsur-unsur pembelaan diri yang telah ditentukan undang-undang pada peristiwa-peristiwa itu. Keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilindungi dari serangan, dengan kepentingan hukum yang dilanggar dengan pembelaan, atau keseimbangan antara cara pembelaan yang dilakukan, dengan cara serangan yang diterima. Apabila terdapat cara perlindungan lain untuk menghalau serangan atau ancaman, maka pembelaan tidak boleh dilakukan dengan memilih cara paling berat dengan mengorbankan nyawa seseorang.

Dapat disimpulkan bahwa, pembelaan terpaksa menekankan pada pembelaan atau pertahanan diri yang dilakukan oleh seseorang bersamaan ketika ada ancaman yang datang kepadanya. Batas-batas dari suatu pembelaan telah dilampaui apabila setelah pembelaan yang sebenarnya itu telah selesai, orang tersebut masih tetap menyerang penyerang, walaupun serangan dari penyerang itu telah berakhir. Pada pembelaan diri luar biasa, keadaan jiwa yang terguncanglah yang menyebabkan batas pembelaan diridilampaui. Kejelian para penegak hukum dalam menerapkan aturan Pasal 49 KUHP sangat diperlukan, sebab aturan tersebut merupakan sebuah perlindungan hukum bagi mereka yang dianggap berhak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu sebagai bentuk pembelaan terpaksa.

Wewenang Penilaian Pembelaan Terpaksa (Noodweer)

Terdapat contoh kasus begal dimana korban begal yang bernama Amaq Sinta ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Lombok Tengah karena melakukan penyerangan kembali terhadap pelaku begal yang mencoba merampas sepeda motor milik Amaq Sinta dan menyebabkan terbunuhnya pelaku tersebut. Amaq Sinta pada saat itu berhadapan dengan 4 pelaku begal, dan 2 diantaranya tewas terbunuh oleh Amaq Sinta karena 2 orang pelaku begal tersebut mencoba merampas secara paksa motor Amaq Sinta, sehingga terjadilah perlawanan yang menyebabkan 2 pelaku begal tewas, sehingga Amaq Sinta ditetapkan sebagai Tersangka.

Penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Polda NTB terhadap Kasus tersebut, disatu sisi mendapat apresiasi dari masyarakat luas, namun disisi lain menimbulkan problematika tersendiri dari segi penegakan hukum dan keadilan karena pada dasarnya sistem hukum kita menganut asas legalitas, yang mengharuskan setiap tindakan pejabat publik dalam hal ini aparat penegak hukum harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketika dibicarakan penghentian penyidikan dan lain sebagainya maka itu termasuk dalam alur proses sistem peradilan pidana yang landasan utamanya adalah KUHAP sebagai hukum positif (hukum pidana formil) di Indonesia saat ini.

Berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP “dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya.” Berkaitan dengan penghentian penyidikan yang dilakukan POLDA NTB terhadap tersangka Amaq Sinta, menurut pendapat beberapa ahli hukum pidana dikatakan sebagai tindakan diluar syarat limitatif yang telah ditentukan KUHAP, karena didasarkan pada ketentuan Pasal 49 Ayat (1) KUHP pembelaan terpaksa (noodwer), dan dalam ilmu hukum pidana, ketentuan tersebut termasuk dalam alasan penghapus pidana, namun pertanyaannya adalah apakah penilaian terhadap alasan penghapus pidana diberikan kepada setiap sub sistem peradilan pidana dalam hal ini Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim berdasarkan hukum positif yang berlaku saatini?

Fachrizal Affandi, Ph.D Dosen hukum pidana pada Universitas Brawijaya Malang juga selaku Ketua Persada UB, menyampaikan bahwa hanya hakim yang diberikan kewenangan untuk memutuskan terkait alasan pemaaf dan pembenar dalam tindak pidana serta menilai bersalah tidaknya seorang pelaku tindak pidana. Selanjutnya pengamat hukum pidana Trisakti, Abdul Fickar Hadjar juga mengatakan bahwa jika terdapat kasus terindikasi adanya pembelaan terpaksa atau atau alasan penghapus pidana, maka penyidik dalam BAP harus menyebutkan alasan-alasan tersebut, sehingga keterangan tersebut dijadikan dasar nantinya oleh hakim untuk menilai dan memutuskan benar tidaknya seorang pelaku tindak pidana.

Oleh karenanya menurut beberapa ahli dan pengamat, kurang tepat penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Polda NTB terhadap kasus Amaq Sinta karena itu diluar syarat penghentian penyidikan yang telah diatur KUHAP, seharusnya kasus Amaq Sinta tetap dilanjutkan dan dilimpahkan ke Kejaksaan untuk di proses, dan jikapun memang ada desakan publik terhadap penghentian kasus tersebut, Jaksa selaku pemegang mandat asas Dominus Litis nanti menentukan layak tidaknya suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan, selain itu Kejaksaan memiliki kewenangan opportunitas yang dimiliki Jaksa Agung  yaitu peluang untuk tidak melakukan penuntutan apabila merugikan kepentingan umum. Hal ini senada dengan yang disampaikan juga oleh Fachrizal Affandi, Ph.D “Jaksa itu bertugas menganalisa penerapan pasal yang disangkakan kepada seorang tersangka, dan memutuskan apakah seseorang itu perlu didakwa atas suatu tindak pidana atau tidak, berdasarkan asas opportunitas yang melekat pada keweangan penuntutan”. Oleh karena kewenangan asas oportunitas yang melekat pada Jaksa sejalan dengan prinsip keadilan dan doktrin diskresi penuntutan (prosecutorial discrationary), termasuk untuk menentukan suatu tindak pidana yang dilakukan atas dasar pembelaan terpaksa (noodweer) atau tidak. Hanya Jaksa sebagai pengemban Asas Dominus Litis dan Asas Oportunitas.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa KUHP Indonesia memberikan perlindungan hukum terhadap perbuatan pembelaan diri (terpaksa) yang dilakukan oleh seseorang yang menjadi korban tindak kejahatan. Pembelaan terpaksa dinilai tidak dapat dihukum karena merupakan hak yang dimiliki oleh semua orang untuk melawan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, tidak semua pembelaan terpaksa dapat dibebaskan dari tuntutan hukum. Pembelaan terpaksa tersebut harus memenuhi beberapa unsur diantaranya mencakup adanya unsur serangan dan pembelaan agar dapat menjadi alasan pembenar. Sedangkan untuk pembelaan terpaksa yang melampaui batas, dapat menjadi alasan pemaaf, sepanjang terdapat keguncangan jiwa yang hebat, yang berakibat terganggunya keadaan jiwa atau batin seseorang, sebagai akibat adanya ancaman atau serangan yang mendahului.

Adapun mengenai wewenang untuk memberikan penilaian tentang terjadinya Pembelaan Terpaksa (Noodweer) apakah merupakan wewenang setiap sub sistem peradilan pidana termasuk Penyidik, ataukah berada pada Jaksa selaku pemegang mandat asas Dominus Litis, ataukah semata-mata hanya Hakim yang diberikan kewenangan untuk memutuskan terkait alasan pemaaf dan pembenar dalam tindak pidana, serta menilai bersalah tidaknya seorang pelaku tidak pidana dalam konteks pembelaan terpaksa, menurut hemat kami masih sangat menarik untuk menjadi bahan kajian dan diskusi ilimiah bagi para ahli, pengamat dan praktisi hukum.

 

 

Referensi:

 

AndiHamzah. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. PT Rineka Cipta: Jakarta

 

RSughandi. 1980. Kitab undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. UsahaNasional: Surabaya


https://regional.kompas.com/read/2022/04/14/163355478/bunuh-2-begal-dan-jadi-tersangka-sinta-saya-terpaksa-melawan-kalau-mati

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini