Belum lama ini
tepatnya tanggal 10 November, baru saja kita memperingati “Hari Pahlawan”. Hari
yang merupakan momen bagi kita semua untuk mengenang kembali jasa-jasa para
pahlawan yang telah berjuang dan mengorbankan baik harta, jiwa maupun raga untuk
Indonesia tercinta. Hari Pahlawan 10 November sendiri sejatinya dirayakan untuk
memperingati momentum Pertempuran Surabaya yang
terjadi pada tahun 1945, dimana para tentara dan milisi indonesia yang pro kemerdekaan
berperang melawan tentara Britania Raya dan Belanda yang merupakan bagian
dari Revolusi
Nasional Indonesia. Hari nasional ini ditetapkan melalui Keppres No. 316 Tahun
1959 tanggal 16 Desember 1959. Lebih dari itu, peringatan hari pahlawan saat
ini, sudah semestinya dimaknai secara lebih luas, yaitu dengan cara mempelajari
sejarah tokoh-tokoh nasional dan mengambil keteladanan atas jejak-jejak jiwa
patriotik yang telah mereka torehkan sebagai tinta emas bagi sejarah berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berbicara tentang
sosok Pahlawan Nasional, bagi kita pegawai Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal
Kekakayaan Negara (DJKN), tentunya tidak asing lagi dengan nama “Syafruddin
Prawiranegara” terutama bagi pegawai DJKN yang pernah atau sedang bertugas di
kantor pusat. Ya tentu saja ketika mendengar nama Syafruddin Prawiranegara
disebutkan, maka yang segera terlintas dalam benak pikiran kita, adalah nama
gedung yang menjadi kantor pusat Direktorat Jenderal Kekakayaan Negara, berlokasi
di jalan Lapangan Banteng Timur nomor 2-4, Jakarta Pusat.
Gedung Syafruddin
Prawiranegara diapit oleh Gedung Prijadi Praptosuhardjo I yang merupakan kantor
pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan, serta Gedung Soemitro Djojohadikusumo yang
merupakan kantor pusat Otoritas Jasa Keuangan (dahulu Bapepam LK). Gedung Syafruddin
Prawiranegara sendiri terdiri atas 12 lantai, dengan dilengkapi fisilitas lift
sebanyak 6 unit, terletak di belakang gedung Paleis van Daendels atau
yang lebih sering dikenal sebagai gedung A.A. Maramis, dimana gedung A.A.
Maramis saat ini berstatus sebagai benda/bangunan cagar budaya.
Tidak seluruh
lantai pada gedung Syafruddin Prawiranegara digunakan sebagai ruang kerja. Pada
lantai 2 gedung ini, terkoneksi dengan ruang kerja unit Pusintek, Sekretariat
Jenderal Kementerian Keuangan. Pada lantai lobby Gedung ini, saat ini telah
tersedia fasilitas toilet, sehingga para pegawai atau pengunjung yang
memerlukan fasilitas toilet, tidak perlu harus naik ke lantai ruang kerja di
atas.
Namun demikian, jika
para pegawai DJKN terutama para milenials ke bawah ditanyai mengenai “Siapakah
Syafruddin Prawiranegara itu?” kiranya belum tentu semua pegawai akan bisa
menjawab secara memadai. Karena itu, penulis ingin mengajak kepada khususnya
seluruh pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, dan seluruh warga negara
pada umumnya, untuk kembali mengingat dan membaca kembali mengenai siapakah
Syafruddin Prawiranegara yang merupakan salah satu tokoh nasional yang berperan
penting dan strategis dalam sejarah kemerdekaan Negara Indonesia. Seperti Bung
Karno dulu pernah berkata “Jas Merah” artinya “Jangan Sekali-kali Melupakan
Sejarah”, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah
bangsanya sendiri, termasuk para tokoh-tokohnya yang telah berjasa di masa lalu.
Syafruddin
Prawiranegara adalah orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang menjadi
Presiden De Javasche Bank (DJB) di masa-masa akhir tahun (1951-1953). Ia
pula yang sekaligus menduduki jabatan Gubernur Bank Indonesia (BI) pertama tahun
(1953 -1958), sebagai hasil dari nasionalisasi DJB. Sebelumnya, posisi orang nomor
satu di De Javasche Bank tahun (1828 - 1951), selalu dijabat oleh orang
berkebangsaan Belanda. Salah satu yang menonjol di masa kepemimpinan Syafruddin
Prawiranegara adalah keteguhannya dalam menjalankan fungsi utama bank sentral
sebagai penjaga stabilitas nilai rupiah serta pengelolaan moneter. Syafruddin
juga orang yang pertama kali menyampaikan usulan agar pemerintah RI segera
menerbitkan mata uang sendiri sebagai atribut kemerdekaan Indonesia untuk
mengganti beberapa mata uang asing yang masih beredar.
Syafruddin Prawiranegara memiliki nama kecil "Kuding", yang berasal
dari kata Udin pada nama Syafruddin. Lahir di Serang, Banten tanggal 28
Februari 1911 dan wafat di Jakarta, 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun. Ia
memiliki darah keturunan Banten dari pihak ayah dan Minangkabau dari pihak ibu.
Buyutnya dari pihak ibu, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di
Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Ia menikah
dengan putri bangsawan Banten, melahirkan kakeknya yang kemudian memiliki anak
bernama Raden Arsyad Prawiraatmadja. Ayah Syafruddin bekerja sebagai jaksa,
namun cukup dekat dengan rakyat, dan karena itulah ia dibuang oleh Belanda ke
Jawa Timur.
Syafruddin
menempuh pendidikan Europeesche Lagere School (ELS) pada tahun 1925,
dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Madiun pada
1928, dan Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung pada 1931.
Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi
Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada tahun
1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara
dengan Magister Hukum).
Pada
tahun 1939–1940 Syafruddin menjadi editor di Soeara Timur, jurnal yang
disponsori oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo. Namun, Syafruddin
yang berjiwa
nasionalis, menolak untuk bergabung dengan Stadswacht (penjaga kota), meskipun
pada tahun 1940 dia bergabung dengan Departemen Keuangan Belanda. Dia
mempertahankan pekerjaannya di bawah pendudukan Jepang, bekerja sebagai
inspektur pajak. Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tahun 1945, yang bertugas
sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP
diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Syafruddin menikah dengan Tengku Halimah Syehabuddin,
putri Camat Buahbatu dan keturunan Raja Pagaruyung pada tanggal 31 Januari
1941. Mereka dikaruniai delapan orang anak.
Syafruddin
Prawiranegara pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan,
dan Menteri Kemakmuran. Ia menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan pada
tahun 1946,
Menteri Keuangan yang pertama kali pada tahun 1946 dan Menteri
Kemakmuran pada tahun 1947. Pada saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran inilah
terjadi Agresi Militer Belanda II dan menyebabkan terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI), dimana Syafruddin menjabat sebagai pemimpin tertinggi di Indonesia dalam
masa PDRI.
Hatta
yang telah menduga Soekarno dan dirinya bakal ditahan Belanda segera memberi
mandat Syafruddin
untuk melanjutkan pemerintahan, agar tak terjadi kekosongan kekuasaan.
Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan
Hatta untuk membentuk PDRI, ketika ibu kota negara di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda,
sementara itu Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Mohammad Hatta juga ditangkap pada tanggal 19 Desember 1948, dan kemudian diasingkan ke Pulau Bangka.
Atas
usaha Pemerintah Darurat (PDRI), Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian
Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan
dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada tanggal
13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden
Sukarno, Wakil Presiden Hatta, serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima
pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di
Jakarta.
Seusai
menyerahkan kembali kekuasaan dari Pemerintahan Darurat RI, Syafruddin Prawiranegara
menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada tahun 1949, selanjutnya
menjadi Menteri Keuangan antara
tahun 1949
- 1950. Pada bulan Maret 1950, dalam
upaya menghadapi krisis keuangan Indonesia, terobosan yang
dilakukan Syafruddin sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta adalah
kebijakan “Sertifikat Devisa” dan juga kebijakan yang sering dikenal sebagai “Gunting
Syafruddin”. Syafruddin melaksanakan
pengguntingan uang dari nilai 5 gulden ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijakan moneter ini banyak mendapat kritikan.
Karena situasi sosial politik nasional
yang terjadi pada tahun 1957 dan pandangan kebangsaan Syafruddin yang berbeda
dengan penguasa saat itu, Syafruddin akhirnya terlibat dengan pergerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dimana puncaknya, ia menjadi Perdana Menteri bagi kabinet tandingan PRRI
di Sumatra Tengah pada tanggal 15 Februari 1958.
PRRI
segera ditumpas oleh pemerintahan pusat tepatnya
pada
tanggal 25 Agustus 1961,
perlawanan PRRI dinyatakan berakhir, Syafruddin menyerah, dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil menguasai
kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Melalui
Keputusan Presiden RI No.449/1961,
pemerintah kemudian menetapkan
pemberian amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan
pemberontakan, termasuk PRRI. Syafruddin sendiri dipenjara sampai tanggal
26 Juli 1966, meskipun dia diberikan amnesti resmi pada tahun 1961.
Setelah
dibebaskan, Syafruddin
cenderung lebih mengekspresikan dirinya melalui agama, dakwah melawan korupsi,
dan memimpin Petisi 50. Syafrudin
Prawiranegara memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dalam
aktivitas keagamaannya, ia pernah menjabat sebagai Ketua Korp Mubalig Indonesia
(KMI). Kegiatan-kegiatannya yang berkaitan dengan pendidikan, keislaman, dan
dakwah, antar lain:
1. Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembinaan
Manajemen (PPM), kini dikenal dengan nama PPM Manajemen (1958).
2. Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam
(1978).
3. Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984-……..)
Ia juga
sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia. Syafruddin
Prawiranegara meninggal karena serangan jantung di Jakarta, tanggal 15 Februari
1989, pada umur 77 tahun. Jenazah
almarhum dimakamkan di Tempat
Pemakaman Umum Tanah Kusir. Pada 7 November 2011, berdasarkan Keppres
No.113/TK/2011, pemerintah menobatkan Syafruddin Prawiranegara sebagai Pahlawan
Nasional.
Dari tokoh Syafruddin
Prawiranegara, kita bisa meneladani karakter seorang anak keturunan bangsawan
yang tidak lantas ongkang ongkang kaki menikmati trah kebangsawanannya, tetapi
Syafruddin justru memaksimalkan pendidikan formal yang ia peroleh, sehingga
kelak ia menghasilkan ide-ide brilian buah pemikirannya yang kemudian ia sumbangkan
untuk negeri tercinta. Sebagai seorang pemimpin, Syafruddin Prawiranegara juga
tidak ragu mengambil kebijakan yang tidak populer, berdasarkan keilmuan yang dimiliki,
ia yakin telah mengambil keputusan yang terbaik untuk bangsa dan negara. Pun demikian
ketika ternyata pemikiran kebangsaan yang diyakinnya, tidak sejalan dengan penguasa
saat itu, setelah melalui berbagai dinamika, pada akhirnya Syafruddin memilih
untuk berkontribusi bagi negara dan masyarakat melalui jalan yang lain yaitu melalui
bidang Pendidikan.
Bila demikian adanya, masih
perlukah kita mengidolakan pahlawan yang berasal dari mancanegara, atau malah
dari cerita-cerita fiksi semata, padahal bangsa Indonesia memiliki pahlawan-pahlawan
yang sangat luar biasa, dan mereka nyata adanya, salah satunya sosok Syafruddin
Prawiranegara. Tentu tidak ada
larangan mengidolakan pahlawan dari mancanegara, atau dari cerita fiksi, namun
satu hal yang pasti harus diingat terutama generasi muda kita saat ini yaitu,
jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ambil pelajaran dari setiap jejak sejarah
negeri ini, karena dengan cara itulah, maka negeri Indonesia ini masih punya
harapan untuk mencapai kejayaannya sebagaimana cita-cita para pendahulu negara
kita tercinta ini.
Penulis
: Rahmat Ibnu Wibowo (Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Palopo)
Referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Syafruddin_Prawiranegara
https://www.daerahkita.com/artikel/288/syafruddin-prawiranegara-pemimpin-pemerintahan-darurat-ri-masa-agresi-belanda-ii