Agustus
lalu, Tim Humas KPKNL Padang berkesempatan menelurusi jejak kelam para pekerja
tambang di Sawahlunto dengan mengunjungi museum Situs Lubang Tambang Mbah
Soero. Untuk mencapai ke lokasi, membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam
perjalanan dari Kota Padang. Sesampainya di museum, tim pun disambut oleh
pemandu museum. Berbekal helm dan safety
shoes, tim pun mulai ke lokasi bekas pertambangan batubaru, Lubang Mbah
Soero. Lubang yang kembali dibuka pada 2007 oleh pemerintah
daerah ini telah melalui beberapa kali pemugaran untuk keperluan pariwisata.
Saluran air dan udara ditambahkan agar pengunjung dapat memasukinya dengan
nyaman.
Sepanjang perjalanan, sang pemandu bercerita sejarah asal
muasal pertambangan di Sawahlunto hingga kisah kelam para pekerja tambang.
Berawal pada tahun 1858, seorang ahli geologi
kebangsaan Belanda, de Groet, menemukan kandungan batubara di sekitar Sungai Ombilin,
Sumatera Barat. Daerah-daerah di sekitar sungai tersebut mengandung batubara
hingga kisaran puluhan juta. Baru pada tahun 1892, produksi pertambangan
batubara di Ombilin dimulai.
“Soero adalah nama seorang mandor yang dulu bertugas di sini.
Ia dikenal sebagai seorang pekerja keras, tegas, dan disegani oleh para buruh
dan orang-orang di sekitarnya. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama lubang
ini,”tutur sang pemandu. Lubang yang
memiliki tinggi dan lebar sekitar 2 m kedalamannya mencapai 15 m dari permukaan
tanah, dengan total panjang lubang mencapai ratusan meter. Namun karena proses
pemugaran masih berlangsung, panjang lubang yang bisa diakses hanya sejauh 30
m. Di beberapa bagian, pintu lubang yang menuju ke kedalaman lebih ditutup
menggunakan terali besi atau disemen rapat. Termasuk salah satunya adalah
“rongga pengorbanan” yang dulu digunakan untuk menaruh pekerja tambang yang
sekarat. Pintu keluar Lubang Mbah Soero berada di seberang jalan, berhadapan
dengan museum atau yang disebut sebagai Galeri Infobox.
Aktivitas pertambangan di Sawahlunto sendiri sejak 1892
dengan produksi batu bara sebanyak sebanyak 48.000 ton, pemerintah Hindia
Belanda menggunakan para narapidana sebagai tenaga kerja yang diambil dari
penjara-penjara yang ada di Pulau Jawa, Sulawesi, dan Medan (Sumatera Utara). Di
Sawahlunto inilah para narapidana itu dikerahkan habis-habisan tenaganya untuk
membuat terowongan tambang. Pekerja paksa ini dikenal juga dengan sebutan “orang
rantai” karena dalam kegiatan penambangannya kaki mereka tetap dirantai. “Saat mereka bekerja, hanya kaki yang
dirantai. Akan tetapi, setelah bekerja dan kembali ke tahanan, kaki dan tangan
semuanya dirantai," ujar sang pemandu lubang tambang Mbah Soero. Mendengar
kisah tersebut, tim pun mulai merasakan aura mistis di dalam lubang sehingga
tidak berani berswafoto.
Di
dalam galeri Infobox, berbagai macam benda peninggalan sejarah menjadi saksi
bisu betapa tragisnya orang rantai pada masa itu. Mulai dari rantai yang
digunakan, peralatan, pakaian hingga potret kehidupan pada masa itu terpampang
jelas di dinding gedung 2 lantai tersebut. Sebelum meninggalkan museum, kami mendapatkan
sertifikat kunjungan oleh walikota Sawahlunto atas pengalamannya mengunjungi
Terowongan Tambang Tua “Soegar Tunnel”. Dengan mengunjungi museum tersebut,kami belajar banyak sejarah yang tidak boleh kita lupakan. (Foto & Teks : Yurista Vipriyanti)