Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Metro > Artikel
Yang Arif dari ‘Nyakai dan Otot Gurih’
Apriliyati Eka Subekti
Selasa, 09 Juni 2020   |   768 kali

Oleh Apriliyati Eka Subekti ⃰

Tujuh dekade silam, tepatnya 1 Juni 1945, Soekarno berhasil membidani kelahiran pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Ketika diminta penjelasan oleh Radjiman Wedyodiningrat, Soekarno memaparkan bahwa usulan dasar negara yang ia ajukan dapat diringkas dalam satu azas yakni gotong royong. Bagi Soekarno, gotong royong dimaknai sebagai perjuangan bersama. Maka, apa-apa yang dilakukan bersama diperuntukkan pula bagi kebahagiaan dan tentunya kepentingan bersama.

Bung Karno meyakini jika pasang surut keadaan kelak akan mengiringi perjuangan bangsanya. Proyeksi ini terbukti. Kini, dalam situasi keprihatinan pandemi, mau tak mau, suka tak suka, semua elemen bangsa harus bersatu dan bekerja sama.

Merujuk histori yang ada, tak aneh jika semangat gotong royong kembali diangkat dalam peringatan hari lahir(harlah) Pancasila tahun ini. Dalam pidato peringatan harlah pancasila 1 Juni 2020, Presiden Jokowi meminta agar nilai Pancasila diterapkan dalam kehidupan nyata oleh seluruh rakyat Indonesia. Sebagai orang nomor satu di republik ini, Ia pun meyakinkan publik bahwa Pancasila selalu menjadi rujukan atas segala bentuk kebijakan pemerintah.

Sebagai sebuah ideologi bangsa, Pancasila mungkin terlihat bak retorika panjang. Dalam lima asas negara, tak ada petunjuk praktis bagaimana menyikapi permasalahan berbangsa dan bernegara. Namun, jika ditinjau lebih jauh, nilai-nilai yang termanifestasi di dalam Pancasila merupakan rangkuman dari berbagai tradisi dan budi pekerti, yang tumbuh di tanah air. Hal ini lantas menjadi buah pikir yang kerap disebut sebagai kearifan lokal. Dengan demikian, memaknai Pancasila seyogyanya harus melihat nilai-nilai luhur yang tersebar di pelosok negeri.

Nyakai dan Otot gurih merupakan nilai luhur yang masih eksis. Kearifan lokal tersebut menjadi ciri khas Kota Metro yang terletak di Provinsi Lampung.  Nyakai memiliki makna tolong menolong tanpa pamrih. Nyakai juga kerap disebut sebagai nulung atau sakai sambaiyan. Sakai sambaiyan sendiri punya makna yang lebih luas dari sekadar tolong menolong. Dalam kehidupan bermasyarakat, sakai sambaiyan dipahami sebagai bentuk guyub rukun atau kebersamaan. Nyakai diimplementasikan dalam perilaku suka membantu. Contohnya, apabila ada tetangga yang punya hajat, masyarakat cenderung menawarkan bantuannya secara sukarela. Hal ini didasari dari sebuah prinsip: tak elok bila alpa dalam kegiatan sosial. Sekecil apapun bantuan yang diberikan, asal membawa manfaat, coba dikerjakan untuk meringankan pekerjaan orang lain. 

Setali tiga uang, otot gurih juga membawa nilai yang sama. Otot melambangkan pekerjaan laki-laki, sedang gurih menjadi simbol pekerjaan perempuan. Laki-laki bekerja mengeluarkan otot selagi perempuan memasak makanan yang gurih. Otot gurih memberi penekanan pada bentuk kerjasama yang dilakukan dalam kehidupan. Dalam kegiatan kerja bakti kebersihan misalnya. Kaum lelaki bagian angkat pacul dan singsing arit, sementara kaum perempuan menyiapkan hidangan untuk disantap selepasnya.

Baik nyakai maupun otot gurih, keduanya menjelaskan rasa keterikatan di antara individu. Terlepas dari kondisi psikis dan geografis, rasa kepemilikan satu sama lain memunculkan rasa kepeduliaan. Perlu diketahui bahwa budaya gotong royong semacam ini sejatinya telah berkembang di tanah Jawa. Paham yang ada lantas dibawa dan diterapkan oleh para transmigran Jawa yang hijrah ke Kota Metro. Mereka percaya bahwa hubungan sesama manusia sudah seharusnya berjalan selaras. Dengan demikian, tiap individu bertanggung jawab untuk menempatkan hak dan kewajibannya secara seimbang.

Sayang, untuk mencapai kondisi sosial yang ideal bukan tanpa halangan. Praktik gotong royong nyatanya mendapat banyak distraksi seiring perkembangan zaman. Dewasa ini, segala sendi kehidupan telah diikat pada buhul persaingan. Kalah menang menjelma jadi hal ekstrim. Derasnya arus informasi bahkan membuat sensitivitas publik kerap lepas kontrol. Meminjam istilah ‘post truth era’ milik Ralph Keyes, kebenaran informasi lambat laun diperjualbelikan, sehingga batas antara salah dan benar menjadi kabur. Praktis, perdebatan dan pergolakan makin mudah terjadi. Pada akhirnya, masyarakat cenderung bersikap dingin dengan lingkungan sekitarnya. 

Lalu, bagaimana mungkin nyakai dan otot gurih yang tradisional masih akan relevan di era modern yang penuh distraksi? Pada hakikatnya, manusia tak cukup mudah untuk menghilangkan egoisme yang melekat pada dirinya. Namun, perlu diperhatikan bahwa hidup selaras dan berelasi dengan masyarakat akan menyempurnakan fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Individu perlu membuka diri dengan komunitas dan entitas lain. Keterbukaan ini dapat menciptakan interaksi sosial yang aktif. Lebih lanjut, interaksi akan menciptakan pemahaman antar sesama. Individu pun perlu menyelami lingkungan sekitarnya. Individu perlu juga untuk dapat memposisikan dirinya pada lingkungan tersebut. Kontribusi masing-masing individu jelas sangat diharapkan. Dengan memberi kontribusi, individu dapat menyadari urgensi keberadaanya di lingkungan masyarakat. Alhasil, rasa kepemilikan dan tanggung jawab kepada lingkungan sekitar lama kelamaan akan  mulai mengalir

Mengutip kalimat pidato Presiden Jokowi, Pancasila harus terus bergelora dalam semangat rakyat Indonesia. Pancasila harus dipandang sebagai identitas nasional. Semangat gotong royong adalah jati diri bangsa. Oleh sebab itu, menanamkan semangat gotong royong bukan hal semu di era globalisasi. Kita masih harus banyak belajar, berusaha mengimplementasikan nyakai dan otot gurih dalam kehidupan nyata. Satu yang harus diingat, manusia baru dapat dipandang seutuhnya jika telah menjadi arif sehingga layak disebut humanis. 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini