Oleh Apriliyati Eka Subekti ⃰
Tujuh
dekade silam, tepatnya 1 Juni 1945, Soekarno berhasil membidani kelahiran pancasila
sebagai dasar negara Indonesia. Ketika diminta penjelasan oleh Radjiman
Wedyodiningrat, Soekarno memaparkan bahwa usulan dasar negara yang ia ajukan
dapat diringkas dalam satu azas yakni gotong royong. Bagi Soekarno, gotong
royong dimaknai sebagai perjuangan bersama. Maka, apa-apa yang dilakukan
bersama diperuntukkan pula bagi kebahagiaan dan tentunya kepentingan bersama.
Bung Karno meyakini jika pasang surut
keadaan kelak akan mengiringi perjuangan bangsanya. Proyeksi ini terbukti. Kini,
dalam situasi keprihatinan pandemi, mau tak mau, suka tak suka, semua elemen
bangsa harus bersatu dan bekerja sama.
Merujuk histori yang ada, tak aneh jika
semangat gotong royong kembali diangkat dalam peringatan hari lahir(harlah) Pancasila tahun
ini. Dalam pidato peringatan harlah pancasila 1 Juni 2020, Presiden Jokowi meminta
agar nilai Pancasila diterapkan dalam kehidupan nyata oleh seluruh rakyat
Indonesia. Sebagai orang nomor satu di republik ini, Ia pun meyakinkan publik
bahwa Pancasila selalu menjadi rujukan atas segala bentuk kebijakan pemerintah.
Sebagai sebuah ideologi bangsa,
Pancasila mungkin terlihat bak retorika panjang. Dalam lima asas negara, tak
ada petunjuk praktis bagaimana menyikapi permasalahan berbangsa dan bernegara. Namun,
jika ditinjau lebih jauh, nilai-nilai yang termanifestasi di dalam Pancasila merupakan
rangkuman dari berbagai tradisi dan budi pekerti, yang tumbuh di tanah air. Hal
ini lantas menjadi buah pikir yang kerap disebut sebagai kearifan lokal. Dengan
demikian, memaknai Pancasila seyogyanya harus melihat nilai-nilai luhur yang
tersebar di pelosok negeri.
Nyakai dan Otot gurih merupakan nilai luhur yang masih eksis. Kearifan lokal tersebut menjadi ciri khas Kota Metro yang terletak di Provinsi Lampung. Nyakai memiliki makna tolong menolong tanpa pamrih. Nyakai juga kerap disebut sebagai nulung atau sakai sambaiyan. Sakai sambaiyan sendiri punya makna yang lebih luas dari sekadar tolong menolong. Dalam kehidupan bermasyarakat, sakai sambaiyan dipahami sebagai bentuk guyub rukun atau kebersamaan. Nyakai diimplementasikan dalam perilaku suka membantu. Contohnya, apabila ada tetangga yang punya hajat, masyarakat cenderung menawarkan bantuannya secara sukarela. Hal ini didasari dari sebuah prinsip: tak elok bila alpa dalam kegiatan sosial. Sekecil apapun bantuan yang diberikan, asal membawa manfaat, coba dikerjakan untuk meringankan pekerjaan orang lain.
Setali tiga uang, otot gurih juga
membawa nilai yang sama. Otot melambangkan pekerjaan laki-laki, sedang gurih
menjadi simbol pekerjaan perempuan. Laki-laki bekerja mengeluarkan otot selagi
perempuan memasak makanan yang gurih. Otot gurih memberi penekanan pada bentuk
kerjasama yang dilakukan dalam kehidupan. Dalam kegiatan kerja bakti kebersihan
misalnya. Kaum lelaki bagian angkat pacul dan singsing arit, sementara kaum
perempuan menyiapkan hidangan untuk disantap selepasnya.
Baik
nyakai maupun otot gurih, keduanya menjelaskan rasa keterikatan di
antara individu. Terlepas dari kondisi psikis dan geografis, rasa kepemilikan satu
sama lain memunculkan rasa kepeduliaan. Perlu diketahui bahwa budaya gotong
royong semacam ini sejatinya telah berkembang di tanah Jawa. Paham yang ada lantas
dibawa dan diterapkan oleh para transmigran Jawa yang hijrah ke Kota Metro.
Mereka percaya bahwa hubungan sesama manusia sudah seharusnya berjalan selaras.
Dengan demikian, tiap individu bertanggung jawab untuk menempatkan hak dan
kewajibannya secara seimbang.
Sayang, untuk
mencapai kondisi sosial yang ideal bukan tanpa halangan. Praktik gotong royong nyatanya
mendapat banyak distraksi seiring perkembangan zaman. Dewasa ini, segala sendi kehidupan
telah diikat pada buhul persaingan. Kalah menang menjelma jadi hal ekstrim.
Derasnya arus informasi bahkan membuat sensitivitas publik kerap lepas kontrol.
Meminjam istilah ‘post truth era’ milik Ralph Keyes, kebenaran informasi
lambat laun diperjualbelikan, sehingga batas antara salah dan benar menjadi
kabur. Praktis, perdebatan dan pergolakan makin mudah terjadi. Pada akhirnya, masyarakat
cenderung bersikap dingin dengan lingkungan sekitarnya.
Lalu,
bagaimana mungkin nyakai dan otot gurih yang tradisional masih akan
relevan di era modern yang penuh distraksi? Pada hakikatnya, manusia tak cukup
mudah untuk menghilangkan egoisme yang melekat pada dirinya. Namun, perlu
diperhatikan bahwa hidup selaras dan berelasi dengan masyarakat akan menyempurnakan
fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Individu perlu membuka diri dengan
komunitas dan entitas lain. Keterbukaan ini dapat menciptakan interaksi sosial
yang aktif. Lebih lanjut, interaksi akan menciptakan pemahaman antar sesama.
Individu pun perlu menyelami lingkungan sekitarnya. Individu perlu juga untuk dapat
memposisikan dirinya pada lingkungan tersebut. Kontribusi masing-masing
individu jelas sangat diharapkan. Dengan memberi kontribusi, individu dapat
menyadari urgensi keberadaanya di lingkungan masyarakat. Alhasil, rasa
kepemilikan dan tanggung jawab kepada lingkungan sekitar lama kelamaan akan mulai mengalir
Mengutip kalimat pidato Presiden
Jokowi, Pancasila harus terus bergelora dalam semangat rakyat Indonesia. Pancasila
harus dipandang sebagai identitas nasional. Semangat gotong royong adalah jati
diri bangsa. Oleh sebab itu, menanamkan semangat gotong royong bukan hal semu
di era globalisasi. Kita masih harus banyak belajar, berusaha mengimplementasikan
nyakai dan otot gurih dalam kehidupan nyata. Satu yang harus diingat, manusia
baru dapat dipandang seutuhnya jika telah menjadi arif sehingga layak disebut
humanis.