Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Manado > Artikel
Putusan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard): Berbagai Macam Cacat Formil yang Melekat pada Gugatan
Yosep Peniel Batubara
Kamis, 17 Juni 2021   |   219999 kali

Bagi sebagian orang yang bekerja di ranah hukum dan litigasi pasti pernah mendengar Putusan Niet Ontvankelijke Verklaard atau yang seringkali disebut sebagai Putusan NO, merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil. Sebagai pelaksana yang bekerja di seksi Hukum dan Informasi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dan bekerja dalam penanganan perkara, maka perlu mengetahui hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan gugatan yang ditangani dapat diputus NO karena mengandung cacat formil. Artikel ini dibuat untuk membantu rekan-rekan dalam proses penanganan perkara untuk lebih teliti terhadap gugatan yang diajukan, bahwa selain isi gugatan secara materiil yang perlu untuk dijawab, namun juga perlu dilihat apakah secara formiil sudah tepat atau belum. Apabila belum tepat, maka dapat diajukan eksepsi untuk putusan tersebut dapat dinyatakan NO oleh Majelis Hakim.

Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata menjelaskan bahwa berbagai macam cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain (hlm. 811):

1.       Gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR;

2.       Gugatan yang tidak memiliki dasar hukum;

3.       Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;

4.       Gugatan mengandung cacat osbcuur libel, ne bis in idem, atau melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif.

Selain itu, suatu gugatan dapat diputus NO apabila terhadap objek gugatan tersebut tidak jelas, maka gugatan tidak dapat diterima. Hal ini didasarkan pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1149/K/Sip/1975 tanggal 17 April 1975 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 565/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1973, jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1149/K/Sip/1979 tanggal 7 April 1979.

1.       Gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR

 

Adapun bunyi Pasal 123 ayat (1) HIR:

Jika dikehendaki, para pihak dapat DIDAMPINGI atau menunjuk seorang kuasa sebagai wakilnya, untuk ini harus diberikan kuasa khusus untuk itu, kecuali jika si pemberi kuasa hadir. Penggugat juga dapat memberi kuasa yang dicantumkan dalam surat gugatan, atau dalam gugatan lisan dengan lisan, dalam hal demikian harus dicantumkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini.”

Apabila dapat dilihat di atas, maka Pasal 123 ayat (1) HIR menyebutkan syarat-syarat pokoknya saja. Dalam perkembangannya terdapat penyempurnaan terkait pembedaan antara surat kuasa khusus dengan surat kuasa umum oleh Mahkamah Agung. Melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yaitu diantaranya: (i) SEMA Nomor 2 Tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959; (ii) SEMA Nomor 5 Tahun 1962, tanggal 30 Juli 1962; (iii) SEMA Nomor 01 Tahun 1971, tanggal 23 Januari 1971; dan (iv) SEMA Nomor 6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994.

 Berdasarkan ke-4 SEMA tersebut diatas, maka secara garis besar syarat-syarat dan formulasi Surat Kuasa Khusus adalah :

1.       Menyebutkan dengan jelas dan spesifik surat kuasa, untuk berperan di pengadilan;

2.       Menyebutkan kompetensi relatif, pada Pengadilan Negeri mana kuasa itu dipergunakan mewakili kepentingan pemberi kuasa;

3.       Menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak (sebagai penggugat dan tergugat);

4.       Menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok dan obyek sengketa yang diperkarakan antara pihak yang berperkara. Paling tidak, menyebutkan jenis masalah perkaranya.

 Adapun syarat-syarat di atas bersifat kumulatif, sehingga bila salah satu syarat tidak dipenuhi mengakibatkan kuasa tidak sah. Dengan demikian maka surat kuasa khusus cacat formil.

 2.       Gugatan yang tidak memiliki dasar hukum;

Beberapa contoh dalil gugatan yang tidak memiliki dasar hukum adalah:

1)      Dalil Gugatan berdasarkan Perjanjian Tidak Halal

Contohnya adalah perjanjian milik beding, yaitu perjanjian antara debitur dan kriditur yang pada intinya apabila debitur gagal melunasi hutangnya, maka agunan debitur akan menjadi milik kreditur, sekalipun harga agunan jauh melampaui nilai hutang-piutang. Hal ini secara tegas dilarang pada Pasal 12 UU No. 4 Tahun 1996 yang berbunyi:

“janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji, batal demi hukum”.

Hal ini ditegaskan oleh Z. Asikin Kusuma Atmadja dalam Putusan Mahkamah Agung No. 3493 K/Pdt/1985 tanggal 9 Desember 1987, antara lain menyatakan:

“… suatu perjanjian utang piutang dengan jaminan sebidang tanah tidak dapat dengan begitu saja menjadi perbuatan hukum jual beli tanah, manakala se debitur tidak melunasi utangnya. Syarat yang dikenal dengan nama milik beding ini sudah lama tidak diperkenankan, terutama dalam suasana hukum adat.”

 2)      Gugatan Ganti Rugi atas Perbuatan Melawan Hukum

Berdasarkan Pasal 1365 KUHPer mengenai Kesalahan Hakim Dalam Melaksanakan Fungsi Peradilan, dianggap tidak mempunyai dasar hukum penegasan tentang ini. Dari segi pendekatan ilmu hukum, pada dasarnya ketentuan Pasal 1365 KUHPerata tidak dapat diterapkan kepada hakim yang salah dalam melaksanakan tugas bidang peradilan. Demikian juga negara, tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas kesalahan hakim dalam melakukan fungsi peradilan.

 3)      Tuntutan Ganti Rugi atas Sesuatu Hasil yang Tidak Dirinci Berdasarkan Fakta

Salah satu contohnya adalah Putusan Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa gugatan yang tidak memberikan dasar dan alasan, dalam arti gugatan tidak menjelaskan berapa hasil sawah tersebut sehingga ia menuntut hasil sebanyak yang tersebut dalam petitum dianggap sebagai gugatan yang tidak jelas dasar hukumnya. Namun demikian, meskipun hal itu tidak dirinci dalam gugatan, akan tetapi di dalam persidangan penggugat mampu merinci berdasarkan pembuktian, kelalaian perincian dalam gugatan dapat ditolerir, sehingga hilang cacat formilnya.

 4)      Dalil Gugatan Yang Saling Bertentangan

Dalil gugatan yang didalamnya terdapat pertentangan antara dalil yang satu dengan dalil lainnya, dapat dinyatakan sebagai gugatan yang tidak mempunyai landasan dasar hukum yang jelas. Kasus yang demikian ditegaskan dalam salah satu Putusan Mahkamah Agung yang memberikan pertimbangan bahwa dalil gugatan penggugat menyebut penggugat sebagai penyewa, dan dalam kedudukan dan kapasitas yang demikian penggugat menggugat pemilik agar Pengadilan Negeri menyatakan penggugat sebagai pemilik dengan alasan daluwarsa, oleh karena itu berhak mengajukan hak pakai. Gugatan yang seperti ini tidak mempunyai dasar hukum karena antara dalil yang satu dengan dalil yang lain saling bertentangan.

 5)      Hak Atas Objek Gugatan Tidak Jelas

Dalil gugatan tidak menegaskan secara jelas dan pasti hak penggugat atas objek yang disengketakan, dianggap tidak memenuhi syarat dan dinyatakan tidak sempurna. Sebagai contoh dapat dikemukakan Putusan Mahkamah Agung yang pada pokoknya menyatakan bahwa suatu gugatan dianggap tidak memenuhi syarat dan tidak sempurna apabila hak penggugat atas tanah yang disengketakan tidak jelas. Dalah hal ini tidak jelas hubungan hukum penggugat dengan barang yang menjadi objek sengketa, sedang seharusnya mesti dijelaskan apakah sebagai pemilik, penyewa, atau pemakai.

 3.       Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;

Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan mengklasifikasikan error in persona sebagai berikut:

1)      Diskualifikasi in Person, yang terjadi apabila yang bertindak sebagai penggugat adalah orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi) karena penggugat dalam kondisi berikut:

1.       Tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan

Gugatan diajukan oleh pihak yang tidak memiliki hak, tidak punya syarat atau tidak berhak. Misal, orang yang tidak ikut dalam perjanjian namun bertindak sebagai penggugat menuntut pembatalan perjanjian.

2.       Tidak cakap melakukan tindakan hukum

Pihak yang masih di bawah umur atau di bawah perwalian tidak cakap melakukan tindakan hukum. Oleh karena itu, mereka tidak dapat bertindak sebagai penggugat tanpa bantuan orang tua atau wali.

 2)      Salah sasaran pihak yang digugat

Adanya kesalahan dalam bentuk menarik orang sebagai tergugat keliru (gemis aanhoeda nigheid). Sebagai contoh kasus, ada pihak A yang meminjam uang, namun yang ditarik sebagai tergugat untuk melunasi pembayaran adalah pihak B. Gugatan yang demikian, salah dan keliru, karena tidak tepat menjadikan pihak B sebagai orang pihak tergugat. Dapat dikatakan juga salah sasaran apabila yang digugat anak di bawah umur atau di bawah perwalian tanpa mengikutsertakan orang tua atau walinya.

 3)      Gugatan Kurang Pihak (plurium litis consortium)

Dapat dikatakan error in persona dalam gugatan kurang pihak apabila Pihak yang bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus bertindak sebagai penggugat atau ditarik tergugat.

 Salah satu contoh kasusnya dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1125 K//Pdt/1984 menyatakan judex facti salah menerapkan tata tertib beracara. Semestinya pihak ketiga yang bernama Oji sebagai sumber perolehan hak Tergugat I, yang kemudian dipindahkan Tergugat I kepada Tergugat II, harus ikut sebagai Tergugat. Alasannya, dalam kasus ini Oji mempunyai urgensi untuk membuktikan hak kepemilikannya maupun asal-usul tanah sengketa serta dasar hukum Oji menghibahkan kepada Tergugat I.

 Adapun Tergugat/Turut Tergugat dapat mengajukan argumen sebagai berikut untuk mendukung eksepsi error in persona: Tergugat dapat menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak terlibat dalam perkara yang diajukan oleh Pengguga, hal mana dapat dibuktikan dengan bukti-bukti dan pengajuan saksi-saksi. Jadi, penempatan dirinya sebagai Tergugat dalam perkara tersebut jelas-jelas keliru dan menyebabkan gugatan menjadi error in persona. Dengan kata lain, Penggugat telah melakukan kekeliruan fatal dengan mengikutsertakan Tergugat dalam perkara tersebut.

 4.       Gugatan mengandung cacat osbcuur libel, ne bis in idem, atau melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif.

a.       Eksepsi Obscuur Libel

M. Yahya Harahap menjelaskan pengertian obscuur libel yang berarti surat gugatan penggugat tidak terang atau isinya gelap (onduidelijk). Disebut juga, formulasi gugatan yang tidak jelas. Padahal agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil, dalil gugatan harus terang dan jelas atau tegas (duidelijk).

 Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. menjelaskan lebih lanjut terkait obscuur libel, bahwa Penggugat harus merumuskan petitum dengan jelas dan tegas. Tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain, yang disebut “obscuur libel” (gugatan yang tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak Tergugat sehingga menyebabkan ditolaknya gugatan) berakibat tidak diterimanya gugatan tersebut.

 Berikut merupakan contoh beberapa Putusan MA terkait eksepsi obscuur libel:

-          Putusan MA No. 582 K/Sip/1973 tanggal 11 November 1975 yang menyatakan:

“Petitum gugatan meminta: 1) menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, 2) menghukum tergugat supaya berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah tersebut. Namun hak apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat ingin ditetapkan sebagai pemilik, pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga petitum berikutnya, tidak jelas tindakan apa yang dihentikan tergugat. MA berpendapat, oleh karena petitum gugatan tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.”

 -          Putusan MA No. 1149 K/SIP/1979 tanggal 17 April 1979 yang menyatakan:

“Bila tidak jelas batas-batas tanah sengketa, maka gugatan tidak dapat diterima.”

 -          Putusan Ma No. 81 K/SIP/1971 tanggal 9 Juli 1973 yang menyatakan:

“Dipertimbangkan berdasarkan pemeriksaan setempat oleh Pengadilan Negeri atas perintah Mahkamah Agung, tanah yang dikuasai tergugat ternyata tidak sama batas-batas dan luasnya dengan yang tercantum dalam gugatan, oleh karena itu gugatan tidak dapat diterima.”

    Untuk memperkuat eksepsi obscuur libel, Tergugat antara lain dapat mengajukan beberapa argument di bawah ini:

·         Adanya ketidakjelasan dasar hukum gugatan

·         Adanya ketidakjelasan objek yang disengketakan oleh Penggugat

·         Adanya ketidakjelasan dalam perincian petitum gugatan

·         Posita dan petitum gugatan tidak relevan dan atau saling bertentangan

 b.      Eksepsi Ne Bis In Idem

Ne Bis In Idem dalam Pasal 1917 KUH Perdata, apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis in idem. Oleh karena itu, terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya.

 Bahwa dari uraian Pasal 1917 KUH Perdata dapat dilihat syarat-syarat yang termuat didalamnya, yakni:

1)      apa yang digugat sudah pernah diperkarakan sebelumnya;

2)      terhadap perkara terdahulu, telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap;

3)      perkara yang disengketakan dalam putusan tersebut telah berakhir dengan tuntas;

4)      subjek atau pihak yang berperkara adalah sama; dan

5)      obyek yang digugat adalah sama.

Adapun syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu diantaranya tidak terpenuhi maka pada putusan tersebut tidak melekat asas ne bis in idem.

 c.       Melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relative

Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan maka hal yang sangat penting untuk melihat apakah Penggugat sudah benar menujukan gugatan tersebut kepada badan peradilan yang berwenang mengadili perkara tersebut atau tidak. Dalam Pasal 134 HIR yang berbunyi:

“Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu dapat diminta supaya hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakim pun wajib mengakuinya karena jabatannya”

 Pada perkara perdata diatur dua macam kewenangan/kompetensi, yaitu kompetensi relatif dan kompetensi absolut.

1)      Kewenangan/Kompetensi Relatif

Kewenangan/kompetensi relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar badan peradilan yang sama, tergantung pada domisili atau tempat tinggal para pihak (distributie van rechtsmacht), terutama tergugat. Pengaturan mengenai kewenangan relatif ini diatur pada Pasal 118 HIR. Kewenangan relatif ini menggunakan asas actor sequitor forum rei yang berarti yang berwenang adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat.

Terhadap kewenangan/kompetensi relatif, apabila Tergugat tidak mengajukan jawaban yaitu eksepsi mengenai kewenangan relatif, maka perkara tetap dapat dilanjutkan pemeriksaannya karena tidak menyangkut hal krusial, yaitu hanya mengenai lokasi pengadilan seharusnya. Contoh terhadap kewenangan/kompetensi relatif, yaitu Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sedangkan diketahui bahwa Tergugat bertempat tinggal di daerah Jakarta Timur. Hal tersebut tidak sesuai dengan asas actor sequitor forum rei.

 2)      Kewenangan/Kompetensi Absolut

Kewenangan/kompetensi absolut merupakan pemisahan kewenangan yang menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht). Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Berdasarkan Pasal 136 HIR, apabila terdapat pengajuan eksepsi mengenai kewenangan absolut maka hakim akan memeriksa dan memutus terlebih dahulu mengenai eksepsi tersebut. Terhadap pengajuan eksepsi mengenai kewenangan absolut tersebut hakim akan menunda pemeriksaan pokok perkara. Hal tersebut disebabkan oleh pemeriksaan serta pemutusan mengenai eksepsi tersebut diambil dan dijatuhkan sebelum pemeriksaan pokok perkara.

Terhadap kewenangan absolut, walaupun Tergugat tidak mengajukan eksepsi kewenangan absolut atas perkara yang diajukan ke suatu badan pengadilan, maka majelis hakim tetap harus memeriksa terkait kewenangan absolutnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Apabila terbukti bahwa perkara tersebut bukan merupakan kewenangan absolut pengadilan yang bersangkutan, maka majelis hakim wajib menghentikan pemeriksaan.

 Demikian macam-macam cacat formil yang dapat membuat putusan untuk dinyatakan NO oleh Majelis Hakim. Semoga bisa bermanfaat bagi rekan-rekan dalam menangani perkara ataupun sekedar mengingat kembali teori-teori yang terkait.

 

Penulis : Pelaksana Seksi HI KPKNL Manado

Sumber :

1. KUHPerdata

2. M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”

3. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata Indonesia”

4. I Nyoman S.S. “Syarat Materil dan Formal Gugatan Rekonvensi dalam Perkara Perdata 1” Lex Privatum, Vol III/No.2/Apr-Jun/2015

5. www.hukumonline.com

6. www.hukumacaraperdata.com

7. Putusan Pengadilan

8. www.fjp-law.com

9. www.irmangenotip.blogspot.com

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini