Bagi sebagian orang yang bekerja di
ranah hukum dan litigasi pasti pernah mendengar Putusan Niet Ontvankelijke
Verklaard atau yang seringkali disebut sebagai Putusan NO, merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak
dapat diterima karena mengandung cacat formil. Sebagai pelaksana yang bekerja
di seksi Hukum dan Informasi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) dan bekerja dalam penanganan perkara, maka perlu mengetahui hal-hal apa
saja yang dapat menyebabkan gugatan yang ditangani dapat diputus NO karena
mengandung cacat formil. Artikel ini dibuat untuk membantu rekan-rekan dalam
proses penanganan perkara untuk lebih teliti terhadap gugatan yang diajukan,
bahwa selain isi gugatan secara materiil yang perlu untuk dijawab, namun juga
perlu dilihat apakah secara formiil sudah tepat atau belum. Apabila belum
tepat, maka dapat diajukan eksepsi untuk putusan tersebut dapat dinyatakan NO
oleh Majelis Hakim.
Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya
Hukum Acara Perdata menjelaskan bahwa berbagai macam cacat formil yang mungkin
melekat pada gugatan, antara lain (hlm. 811):
1.
Gugatan
yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat
yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR;
2.
Gugatan
yang tidak memiliki dasar hukum;
3.
Gugatan
error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;
4.
Gugatan
mengandung cacat osbcuur libel, ne bis in idem, atau melanggar yurisdiksi
(kompetensi) absolut atau relatif.
Selain itu, suatu gugatan dapat
diputus NO apabila terhadap objek
gugatan tersebut tidak jelas, maka gugatan tidak dapat diterima. Hal ini
didasarkan pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1149/K/Sip/1975 tanggal 17
April 1975 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 565/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus
1973, jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1149/K/Sip/1979 tanggal 7 April 1979.
1.
Gugatan
yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat
yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR
Adapun
bunyi Pasal 123 ayat (1) HIR:
“Jika
dikehendaki, para pihak dapat DIDAMPINGI atau
menunjuk seorang kuasa sebagai wakilnya,
untuk ini harus diberikan kuasa khusus untuk
itu, kecuali jika si pemberi kuasa hadir. Penggugat juga dapat memberi
kuasa yang dicantumkan dalam surat gugatan, atau dalam gugatan lisan dengan
lisan, dalam hal demikian harus dicantumkan dalam catatan yang
dibuat surat gugat ini.”
Apabila dapat dilihat di atas,
maka Pasal 123 ayat (1) HIR menyebutkan syarat-syarat pokoknya saja. Dalam
perkembangannya terdapat penyempurnaan terkait pembedaan antara surat kuasa
khusus dengan surat kuasa umum oleh Mahkamah Agung. Melalui Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA), yaitu diantaranya: (i)
SEMA Nomor 2 Tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959; (ii) SEMA Nomor 5 Tahun 1962,
tanggal 30 Juli 1962; (iii) SEMA Nomor 01 Tahun 1971, tanggal 23 Januari 1971;
dan (iv) SEMA Nomor 6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994.
Berdasarkan ke-4 SEMA tersebut diatas, maka secara
garis besar syarat-syarat dan formulasi Surat Kuasa Khusus adalah :
1. Menyebutkan dengan jelas dan spesifik surat kuasa,
untuk berperan di pengadilan;
2. Menyebutkan kompetensi relatif, pada Pengadilan
Negeri mana kuasa itu dipergunakan mewakili kepentingan pemberi kuasa;
3. Menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak
(sebagai penggugat dan tergugat);
4. Menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok dan
obyek sengketa yang diperkarakan antara pihak yang berperkara. Paling tidak,
menyebutkan jenis masalah perkaranya.
Beberapa
contoh dalil gugatan yang tidak memiliki dasar hukum adalah:
1)
Dalil Gugatan berdasarkan Perjanjian Tidak
Halal
Contohnya adalah perjanjian milik beding, yaitu perjanjian antara
debitur dan kriditur yang pada intinya apabila debitur gagal melunasi
hutangnya, maka agunan debitur akan menjadi milik kreditur, sekalipun harga
agunan jauh melampaui nilai hutang-piutang. Hal ini secara tegas dilarang pada
Pasal 12 UU No. 4 Tahun 1996 yang berbunyi:
“janji
yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek
Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji, batal demi hukum”.
Hal ini ditegaskan oleh Z. Asikin Kusuma Atmadja dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 3493 K/Pdt/1985 tanggal 9 Desember 1987, antara lain
menyatakan:
“… suatu
perjanjian utang piutang dengan jaminan sebidang tanah tidak dapat dengan
begitu saja menjadi perbuatan hukum jual beli tanah, manakala se debitur tidak
melunasi utangnya. Syarat yang dikenal dengan nama milik beding ini sudah lama
tidak diperkenankan, terutama dalam suasana hukum adat.”
2)
Gugatan Ganti Rugi atas Perbuatan Melawan
Hukum
Berdasarkan Pasal 1365 KUHPer mengenai Kesalahan Hakim Dalam
Melaksanakan Fungsi Peradilan, dianggap tidak mempunyai dasar hukum penegasan
tentang ini. Dari segi pendekatan ilmu hukum, pada dasarnya ketentuan Pasal
1365 KUHPerata tidak dapat diterapkan kepada hakim yang salah dalam
melaksanakan tugas bidang peradilan. Demikian juga negara, tidak dapat diminta
pertanggungjawaban atas kesalahan hakim dalam melakukan fungsi peradilan.
Salah satu contohnya adalah Putusan Mahkamah Agung yang menegaskan
bahwa gugatan yang tidak memberikan dasar dan alasan, dalam arti gugatan tidak
menjelaskan berapa hasil sawah tersebut sehingga ia menuntut hasil sebanyak
yang tersebut dalam petitum dianggap sebagai gugatan yang tidak jelas dasar
hukumnya. Namun demikian, meskipun hal itu tidak dirinci dalam gugatan, akan
tetapi di dalam persidangan penggugat mampu merinci berdasarkan pembuktian,
kelalaian perincian dalam gugatan dapat ditolerir, sehingga hilang cacat
formilnya.
Dalil gugatan yang didalamnya terdapat pertentangan antara dalil
yang satu dengan dalil lainnya, dapat dinyatakan sebagai gugatan yang tidak
mempunyai landasan dasar hukum yang jelas. Kasus yang demikian ditegaskan dalam
salah satu Putusan Mahkamah Agung yang memberikan pertimbangan bahwa dalil
gugatan penggugat menyebut penggugat sebagai penyewa, dan dalam kedudukan dan
kapasitas yang demikian penggugat menggugat pemilik agar Pengadilan Negeri
menyatakan penggugat sebagai pemilik dengan alasan daluwarsa, oleh karena itu
berhak mengajukan hak pakai. Gugatan yang seperti ini tidak mempunyai dasar
hukum karena antara dalil yang satu dengan dalil yang lain saling bertentangan.
Dalil gugatan tidak menegaskan secara jelas dan pasti hak
penggugat atas objek yang disengketakan, dianggap tidak memenuhi syarat dan
dinyatakan tidak sempurna. Sebagai contoh dapat dikemukakan Putusan Mahkamah
Agung yang pada pokoknya menyatakan bahwa suatu gugatan dianggap tidak memenuhi
syarat dan tidak sempurna apabila hak penggugat atas tanah yang disengketakan
tidak jelas. Dalah hal ini tidak jelas hubungan hukum penggugat dengan barang
yang menjadi objek sengketa, sedang seharusnya mesti dijelaskan apakah sebagai
pemilik, penyewa, atau pemakai.
Yahya
Harahap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata: Tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan mengklasifikasikan error in
persona sebagai berikut:
1)
Diskualifikasi in Person, yang terjadi apabila yang bertindak sebagai penggugat
adalah orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi) karena penggugat dalam
kondisi berikut:
1.
Tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara
yang disengketakan
Gugatan diajukan oleh pihak yang tidak memiliki hak, tidak punya
syarat atau tidak berhak. Misal, orang yang tidak ikut dalam perjanjian namun
bertindak sebagai penggugat menuntut pembatalan perjanjian.
2.
Tidak cakap melakukan tindakan hukum
Pihak yang masih di bawah umur atau di bawah perwalian tidak cakap
melakukan tindakan hukum. Oleh karena itu, mereka tidak dapat bertindak sebagai
penggugat tanpa bantuan orang tua atau wali.
Adanya kesalahan dalam bentuk menarik orang sebagai tergugat
keliru (gemis aanhoeda nigheid). Sebagai
contoh kasus, ada pihak A yang meminjam uang, namun yang ditarik sebagai
tergugat untuk melunasi pembayaran adalah pihak B. Gugatan yang demikian, salah
dan keliru, karena tidak tepat menjadikan pihak B sebagai orang pihak tergugat.
Dapat dikatakan juga salah sasaran apabila yang digugat anak di bawah umur atau
di bawah perwalian tanpa mengikutsertakan orang tua atau walinya.
Dapat dikatakan error in
persona dalam gugatan kurang pihak apabila Pihak yang bertindak sebagai
penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap, masih ada orang
yang harus bertindak sebagai penggugat atau ditarik tergugat.
a.
Eksepsi Obscuur
Libel
M. Yahya Harahap menjelaskan pengertian obscuur libel yang berarti surat gugatan penggugat tidak terang
atau isinya gelap (onduidelijk). Disebut
juga, formulasi gugatan yang tidak jelas. Padahal agar gugatan dianggap
memenuhi syarat formil, dalil gugatan harus terang dan jelas atau tegas (duidelijk).
-
Putusan MA No. 582 K/Sip/1973 tanggal 11
November 1975 yang menyatakan:
“Petitum
gugatan meminta: 1) menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, 2) menghukum
tergugat supaya berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah tersebut. Namun
hak apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat ingin ditetapkan
sebagai pemilik, pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga petitum berikutnya,
tidak jelas tindakan apa yang dihentikan tergugat. MA berpendapat, oleh karena
petitum gugatan tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.”
-
Putusan MA No. 1149 K/SIP/1979 tanggal 17
April 1979 yang menyatakan:
“Bila
tidak jelas batas-batas tanah sengketa, maka gugatan tidak dapat diterima.”
-
Putusan Ma No. 81 K/SIP/1971 tanggal 9 Juli
1973 yang menyatakan:
“Dipertimbangkan
berdasarkan pemeriksaan setempat oleh Pengadilan Negeri atas perintah Mahkamah
Agung, tanah yang dikuasai tergugat ternyata tidak sama batas-batas dan luasnya
dengan yang tercantum dalam gugatan, oleh karena itu gugatan tidak dapat
diterima.”
Untuk memperkuat eksepsi obscuur libel, Tergugat antara lain
dapat mengajukan beberapa argument di bawah ini:
·
Adanya ketidakjelasan dasar hukum gugatan
·
Adanya ketidakjelasan objek yang disengketakan
oleh Penggugat
·
Adanya ketidakjelasan dalam perincian petitum
gugatan
·
Posita dan petitum gugatan tidak relevan dan
atau saling bertentangan
Ne Bis In
Idem dalam Pasal 1917 KUH Perdata, apabila putusan yang dijatuhkan
pengadilan bersifat positif (menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan
tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis in idem. Oleh karena itu,
terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya.
Bahwa dari uraian Pasal 1917 KUH Perdata dapat dilihat syarat-syarat
yang termuat didalamnya, yakni:
1)
apa yang digugat sudah pernah diperkarakan
sebelumnya;
2)
terhadap perkara terdahulu, telah ada putusan
hakim yang telah berkekuatan hukum tetap;
3)
perkara yang disengketakan dalam putusan
tersebut telah berakhir dengan tuntas;
4)
subjek atau pihak yang berperkara adalah sama;
dan
5)
obyek yang digugat adalah sama.
Adapun syarat-syarat
tersebut bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu diantaranya tidak
terpenuhi maka pada putusan tersebut tidak melekat asas ne bis in idem.
Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan maka hal yang sangat
penting untuk melihat apakah Penggugat sudah benar menujukan gugatan tersebut
kepada badan peradilan yang berwenang mengadili perkara tersebut atau tidak. Dalam
Pasal 134 HIR yang berbunyi:
“Jika
perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri
maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu dapat diminta supaya hakim
menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakim pun wajib mengakuinya karena
jabatannya”
1)
Kewenangan/Kompetensi Relatif
Kewenangan/kompetensi relatif mengatur
pembagian kekuasaan mengadili antar badan peradilan yang sama, tergantung pada
domisili atau tempat tinggal para pihak (distributie
van rechtsmacht), terutama tergugat. Pengaturan mengenai kewenangan relatif
ini diatur pada Pasal 118 HIR. Kewenangan relatif ini menggunakan asas actor sequitor forum rei yang berarti
yang berwenang adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat.
Terhadap kewenangan/kompetensi
relatif, apabila Tergugat tidak mengajukan jawaban yaitu eksepsi mengenai
kewenangan relatif, maka perkara tetap dapat dilanjutkan pemeriksaannya karena
tidak menyangkut hal krusial, yaitu hanya mengenai lokasi pengadilan
seharusnya. Contoh terhadap kewenangan/kompetensi relatif, yaitu Penggugat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sedangkan diketahui
bahwa Tergugat bertempat tinggal di daerah Jakarta Timur. Hal tersebut tidak
sesuai dengan asas actor sequitor forum rei.
2)
Kewenangan/Kompetensi Absolut
Kewenangan/kompetensi absolut
merupakan pemisahan kewenangan yang menyangkut pembagian kekuasaan antara
badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian
kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht). Pasal 24 ayat (2) UUD
1945 dan Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan Pasal 136 HIR, apabila
terdapat pengajuan eksepsi mengenai kewenangan absolut maka hakim akan
memeriksa dan memutus terlebih dahulu mengenai eksepsi tersebut. Terhadap
pengajuan eksepsi mengenai kewenangan absolut tersebut hakim akan menunda
pemeriksaan pokok perkara. Hal tersebut disebabkan oleh pemeriksaan serta
pemutusan mengenai eksepsi tersebut diambil dan dijatuhkan sebelum pemeriksaan
pokok perkara.
Terhadap kewenangan absolut, walaupun
Tergugat tidak mengajukan eksepsi kewenangan absolut atas perkara yang diajukan
ke suatu badan pengadilan, maka majelis hakim tetap harus memeriksa terkait
kewenangan absolutnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang
diajukan kepadanya. Apabila terbukti bahwa perkara tersebut bukan merupakan
kewenangan absolut pengadilan yang bersangkutan, maka majelis hakim wajib menghentikan
pemeriksaan.
Penulis : Pelaksana Seksi HI KPKNL
Manado
Sumber
:
1. KUHPerdata
2. M. Yahya Harahap, “Hukum Acara
Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan”
3. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. “Hukum Acara
Perdata Indonesia”
4. I Nyoman S.S. “Syarat Materil dan Formal Gugatan
Rekonvensi dalam Perkara Perdata 1” Lex Privatum, Vol III/No.2/Apr-Jun/2015
7. Putusan Pengadilan
9. www.irmangenotip.blogspot.com