Pada awal tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 pertama kali mengejutkan dunia, pasar saham di seluruh belahan dunia mengalami kejatuhan yang dramatis. Sebut saja pasar saham Indonesia yang diwakili oleh Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), mengalami depresiasi ekstrim sebesar 31,6% sejak tanggal 5 Maret 2020 hingga 24 Maret 2020. Penurunan tersebut terjadi bersamaan dengan ketakutan investor karena Covid-19 telah memasuki Indonesia.
Di sisi yang lain, setelah mengalami kejatuhan yang signifikan, IHSG kembali mengalami pemulihan. Jumlah investor yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) melonjak dan sosial media pun dipenuhi dengan kisah-kisah orang yang mendapatkan keuntungan. Bagaimana sebenarnya hubungan antara naik-turunnya harga dengan psikologi kolektif para investor di dalam bursa?
Psikologi investor di dalam Bullish
Market dan Bearish Market
Bullish dan bearish
merupakan terminologi yang digunakan untuk menunjukkan tren harga pada bursa. Bullish
artinya tren mengalami kecenderungan naik, terjadi karena tekanan beli lebih
besar dibandingkan tekanan jual. Sebaliknya, bearish artinya tren memiliki
kecenderungan untuk turun sebagai akibat dari besarnya tekanan jual
dibandingkan tekanan beli.
John Templeton, investor
sekaligus pendiri Templeton Growth Fund, pernah mengatakan “Bull markets are born
on pessimism, grow on skepticism, mature on optimism and die on euphoria.” Diawali dengan perasaan yang pesimistis
setelah mengalami kejatuhan atau kerugian di dalam bursa, investor akan
cenderung takut untuk berinvestasi atau sekadar menambah modal investasi. Hal
tersebut biasa membuat harga memasuki fase tanpa tren (sideways).
Setelah beberapa lama di dalam pesimismenya,
investor kemudian akan melihat harga yang mulai merangkak naik. Namu, pada fase ini investor
masih sangat skeptis dengan segala kemungkinan di masa depan, apakah harga akan naik
atau turun. Investor akan mulai optimis di dalam investasinya jika mereka melihat
kenaikan harga yang cukup konsisten. Optimisme tersebut membuat partisipasi investor di
dalam bursa semakin besar dan harga bergerak semakin tinggi.
Kenaikan harga hingga menuju
puncaknya dapat membuat para investor menjadi terlalu percaya diri. Pada fase ini, investor
berada di dalam euphoria kemenangan dan sangat yakin bahwa harga yang sudah naik akan terus melanjutkan
kenaikan. Dengan kepercayaan diri yang berlebihan tersebut, tidak sedikit pula
investor yang mengambil banyak risiko dengan terus menambah modal investasinya di bursa.
Denial (penyangkalan)
menuju panik pada bearish market
Ketika para investor mengalami euforia di dalam bursa, sebagian
investor lainnya akan mengambil kesempatan untuk melakukan penjualan untuk merealisasikan keuntungan. Sebagian
investor tersebut biasanya memiliki kapitalisasi investasi yang sangat besar
hingga sering disebut sebagai big fund. Para Big fund tersebut, yang
biasanya merupakan institusi-institusi pengelola dana investasi, memiliki daya
yang cukup besar untuk menggerakkan sebuah bursa. Ketika big fund
melakukan distribusi/penjualan aset investasinya di bursa, harga akan mengalami
penurunan dimana penurunan tersebut cenderung direspon dengan penyangkalan
investor retail (investor non-institusi).
Penyangkalan, yang diikuti oleh
perasaan cemas apakah penurunan harga akan berlangsung singkat atau tidak, akan
menghasilkan perasaan takut yang semakin kuat bagi para investor ketika menyaksikan
investasinya terdepresiasi semakin dalam. Rasa takut itu kemudian meyakinkan
investor untuk beralih ke investasi minim risiko, sehingga tekanan jual dan
penurunan harga semakin tidak terelakkan. Rasa takut yang diiringi penurunan
harga akan membuat para investor panik dan menyerah dengan melakukan penjualan
meskipun dalam keadaan rugi.
Pada dasarnya, siklus harga di
dalam bursa berhubungan erat dengan emosi dan psikologi setiap investor di
dalamnya. Oleh karena itu, memahami siklus harga akan memberikan perspektif
yang lebih luas mengenai arah dan pergerakan harga di dalam bursa. Pemahaman itu
pula yang akan menghindarkan investor dari jebakan ketamakan, sehingga kerugian
akibat FOMO (fear of missing out) dapat diminimalisir dengan baik.
Illustrasi: https://prosperion.us/commentary/timeless-truths-cycle-market-emotions/