Good
Team Player: Belajar Dari Etos Kerja MLM
Oleh: Hakim Setyo Budi Mulyono
Network
marketing adalah suatu
cara memasarkan produk dengan sistem keanggotaan berjenjang. Network marketing disebut juga sebagai sistem
pemasaran jaringan atau juga Multi Level Marketing (MLM). Disebut Multi Level
Marketing karena keuntungan dari margin harga produk didistribusikan sedemikian
rupa sehingga bukan hanya penjual langsung yang mendapatkan komisi atas
penjualan melainkan siapa yang berada di jenjang atas dari sang penjual
tersebut juga mendapatkan komisi. Dalam satu jaringan pemasar ada posisi upline
dan downline. Upline berada di jenjang atas, sementara downline berada di
jenjang bawahnya. Namun artikel ini tidak akan membahas lebih jauh tentang sistem
MLM berikut produknya.Artikel ini akan membahas tentang sisi
positif dari MLM.
Tak dapat dipungkiri bahwa tidak semua
orang memiliki kesan positif terhadap MLM, namun betapapun banyaknya asumsi
masyarakat umum tentang MLM, yang sebagian besar menganggapnya sebagai
bisnis mencurigakan, faktanya ada sisi positif dari MLM yang dapat kita tiru
dan mungkin dapat kita terapkan dalam menjalankan organisasi non-profit,
misalnya sektor publik.
Satu hal yang sama antara organisasi sektor
publik dengan MLM adalah sama-sama memasarkan sesuatu. Bedanya MLM memasarkan
produk, organisasi sektor publik memasarkan jasa. Dan keduanya punya misi sama:
pelayanan.
Inspirasi dari Etos
Kerja "Orang-orang" MLM
Hal pertama yang dapat diambil
pelajaran dari MLM adalah etos kerja orang-orangnya. "Orang-orang" MLM, demikian
masyarakat sering menyebutnya, seringkali didapati sebagai pribadi yang sangat militan,
memiliki motivasi kuat untuk mengejar target, prima dalam pelayanan, dan mengutamakan
sinergi. Empat kualitas tersebut penting dalam sukses tidaknya seseorang di
dalam MLM. Dan empat kualitas tersebut juga penting dalam organisasi manapun,
termasuk sektor publik.
Kenapa empat kualitas positif tersebut
menjadi warna dominan di dunia MLM namun terasa sulit mewarnai organisasi sektor
publik? Sebagai seorang mantan pelaku MLM, saya mengamati bahwa kualitas tersebut
muncul karena atmosfir kerja di MLM memungkinkan untuk itu, dan melalui artikel
ini saya berharap keempat kualitas tersebut dapat kita terapkan di sektor publik.
Izinkan saya menganalogikan. Upline di
dunia MLM mirip dengan seorang atasan di organisasi sektor publik, misalnya kantor
pelayanan. Sementara downline mirip dengan bawahan. Namun dalam prakteknya,
mereka tak menempatkan diri sebagai atasan dan bawahan. Upline sangat
berkepentingan untuk membuat downline-nya sukses karena hanya dengan cara
membuat downline-nya sukses maka sang aupline akan sukses. Sederhananya, jika
downline mendapatkan keuntungan secara langsung (mereka menyebutnya active
income), maka barulah upline mendapatkan pula keuntungan (mereka menyebutnya passive
income).
Tentu saja dalam organisasi sektor publik,
kantor pelayanan misalnya, yang bukan organisasi profit, keuntungan dimaksud
bukanlah berarti material. Seorang atasan misalnya mendapatkan beban target,
demikian pula bawahan. Maka konsepnya, dengan membantu bawahan mencapai target
maka sang atasan pun akan memenuhi apa yang ditarget oleh organisasi untuknya.
Miltansi akan terbangun jika hubungan atasan dan bawahan, sebagaimana telah
lama dipraktekkan antara upline dan downline di MLM, demikian sinergis demi
mencapai target bersama-sama.
Di MLM, tak ada satu jenjang pun yang
tidak memahami visi dan misi grop. Satu group, yang dipimpin seorang leader,
akan menetapkan visi dan misi yang seluruh pemasar di dalam group tersebut
sangat memahami dan termotivasi untuk mencapainya. Di dalam organisasi sektor publik,
jika hal ini diterapkan maka motivasi akan merata di semua lini. Semua pegawai
akan memiliki motivasi tinggi jika visi dan misi organisasi telah tertanam di
benak setiap orang. Istilahnya, visi dan misi organisasi bukanlah hanya
diketahui oleh tingkatan struktural, namun juga oleh seluruh pegawai. Hanya
jika setiap pegawai di organisasi sektor publik memahami visi dan misi
organisasi, maka sinergi dapat dengan mudah diterapkan.
Sekolah Bisnis: Pertemuan,
Seminar, dan Membaca Buku
Rahasia lain dari MLM, yang mungkin
dapat diterapkan di organisasi sektor publik, adalah tiga kegiatan utama berikut:
pertemuan, seminar, dan membaca buku. Belakangan, membaca buku dapat diganti
menjadi mendengarkan rekaman motivasi para leader. Tiga kegiatan ini, di MLM,
sangat ditekankan untuk memeratakan pengetahuan para anggotanya. Ketiganya
seringkali dirangkum dalam apa yang namanya Business
School, alias sekolah bisnis.
Sekolah bisnis dalam MLM ini juga
disebut sebagai Support System, yakni
wadah bagi para anggota MLM untuk menjalankan bisnis secara seragam.
Keseragaman itu dibangun dari pertemuan, seminar, dan membaca buku yang sama.
Dalam organisasi sektor publik, balai diklat merupakan analogi dari sekolah
bisnis dimaksud. Melalui balai diklat, para pegawai di-upgrade agar memiliki
tingkat skill yang merata di semua lini. Namun sekali lagi, yang membuat tiga
kegiatan di MLM tersebut demikian antusias diikuti oleh para anggotanya adalah
karena setiap anggota MLM demikian termotivasi untuk mencapai goal atau apa
yang ditargetkan.
Mereka sangat antusias mengikuti
pertemuan (yang analoginya di organisasi sektor publik mirip knowledge
sharing), mereka sangat semangat mengikuti seminar (yang analogi di organisasi
sektor publik mirip pendidikan dan pelatihan), dan mereka sangat termotivasi
untuk membaca buku tertentu yang direkomendasikan (yang analogi di organisasi
sektor publik mirip membaca peraturan dan perundang-undangan). Mereka
sangat termotivasi karena mereka
meresapi apa visi dan misi bisnis yang mereka jalani. Artinya, jika setiap
pegawai di organisasi sektor publik juga meresapi visi dan misi organisasinya
maka mereka juga akan sangat termotivasi untuk mengikuti knowledge sharing,
mengikuti diklat, dan atau membaca berbagai peraturan menyangkut pekerjaannya.
Good
Team Player
Rahasia lain dari MLM yang mungkin
dapat kita terapkan dalam organisasi sektor publik adalah apa yang mereka
namakan Good Team Player. Tanpa kerja sama tim yang kuat dan bagus, cepat atau
lambat jaringan bisnis MLM yang dibangun akan rontok pada akhirnya; yang dalam organisasi
sektor publik “rontok” di sini dapat bermakna penurunan kinerja. Dalam
membangun Good Team Player, para pelaku MLM menerapkan 3 prinsip utama ini:
Konsultasi, Edifikasi, No Crosslining. Dengan kata lain, tiga prinsip tersebut menjadi
pilar penyangga terbangunnya Good Team Player. Dan mari kita bahas satu
persatu.
Konsultasi adalah prinsip mengutarakan
kendala dari downline kepada upline. Dalam hal ini berlaku jalur dari bawah ke
atas. Setiap kendala di lapangan yang ditemukan oleh downline wajib
dikonsultasikan kepada upline. Sebanyak apapun jumlah downline dari seorang
upline, sang upline akan menerima konsultasi tersebut. Dan di dalam MLM, downline
hanya boleh berkonsultasi kepada upline. Di dalam MLM pula, upline diasumsikan
sebagai pihak yang paling memahami kondisi kesehatan jaringan bisnisnya, yang
di dalam jaringan tersebut sang downline berada.
Dalam prinsip konsultasi tersebut,
upline dilarang mengkonsultasikan kendala kepada downline. Jalur konsultasi
adalah dari bawah ke atas, sementara jalur dari atas ke bawah adalah motivasi. Jika
prinsip ini dibalik, maka yang terjadi adalah demotivasi. Ketika upline tampak
sering mengkonsultasi kendala kepada downline, maka jaringan para downline
cepat atau lambat akan mengalami demotivasi. Itu yang berlaku di dunia MLM, dan
mungkin juga berlaku di organisasi sektor publik.
Upline sangat memperhatikan kinerja
downline, karena hasil kinerja downline berefek langsung dengan omset group
yang ujungnya berpengaruh pada pendapatan sang upline. Itulah kenapa upline
akan mati-matian membela downline-nya, mendukungnya penuh, bahkan jika perlu
datang ke rumah downline ketika downline meminta bantuan. Itu berarti, downline
juga sangat berkepentingan kepada upline karena sewaktu-waktu ketika ia butuh
bantuan, ia dapat berekspektasi kepada upline. Itulah kenapa, upline selalu
membuka pintunya untuk memberikan konsultasi kepada downline. Cascading
IKU misalnya adalah semacam bentuk hubungan upline dan downline.
Downline dapat mengkonsultasikan
apapun menyangkut permasalahan groupnya kepada upline, dan upline akan sangat
peduli untuk mengatasi permasalahan group sang downline karena group tersebut
juga merupakan group jaringannya sendiri.
Edifikasi adalah prinsip di mana
downline memberikan rasa hormat yang layak kepada upline.
Prinsip ini demikian dijaga sedemikian rupa sehingga tidak ada satu pun
downline yang membicarakan hal-hal negatif terhadap upline. Hal ini penting
karena jika seorang downline sekali saja tidak memberikan rasa hormat kepada
upline-nya, apalagi sampai menceritakan hal-hal negative tentang sang upline
kepada para downline di bawahnya, maka seluruh jaringan downline di bawahnya
akan juga tak menaruh rasa hormat kepada sang upline. Hasilnya, sang upline
akan kehilangan otoritasnya di hadapan seluruh jaringan downline.
Sebagai contoh, si A memiliki upline
bernama B. Sementara si A memiliki downline X, Y, Z. Jika sekali saja si A
tidak meng-edifikasi si B selaku upline-nya, maka si B akan kehilangan otoritas
moral di hadapan X, Y, Z yang merupakan downline si B maupun si A. Ketika si A
merasa perlu mendapatkan dukungan dari si B untuk memotivasi X, Y, Z, maka
mereka sudah tidak lagi mau mendengar apa kata si B. Maka ujung-ujungnya, yang
rugi adalah si A sendiri.
Edifikasi bukan hanya penting di dunia
MLM, di organisasi sektor publik juga penting. Seorang pimpinan harus mendapat
edifikasi yang layak dari bawahannya yang bawahan tersebut notabene juga punya
bawahan lagi di bawahnya. Sekali saja ada satu bawahan tidak menunjukkan rasa
hormat kepada pimpinan, maka sang bawahan tersebut akan rugi sendiri ketika
suatu saat kelak membutuhkan peran pimpinan dalam membantunya menangani
permasalahan bawahan dari sang bawahan tersebut. Seseorang baru dapat dikatakan
sebagai Good Team Player jika ia senantiasa berkonsultasi kepada atasannya sekaligus
meng-edifikasi-nya di hadapan bawahannya sendiri.
Edifikasi terhadap upline juga dapat
bermakna mengabarkan hal-hal baik tentang upline kepada siapapun di groupnya
dengan tujuan semua anggota group akan menaruh rasa hormat kepada upline. Hal
ini penting karena apabila ada satu orang dari anggota group tidak menaruh
hormat kepada upline, maka group tersebut tidak akan efektif ketika sang upline
datang memberikan motivasi. Edifikasi mendukung konsultasi. Efek tidak ada
edifikasi adalah potensi terjadinya crosslining.
Prinsip ketiga untuk menciptakan Good
Team Player adalah No Crosslining. Sebagaimana diketahui, dalam suatu jaruingan
MLM akan tercipta banyak group dari jalur upline yang berbeda. Dalam organisasi
sektor publik, hal ini mirip bagian atau seksi yang berbeda. Crosslining adalah
peristiwa ketika seseorang melewati batas bagian atau seksinya untuk saling
membicarakan celah kepemimpinan. Crosslining terjadi adalah akibat dari tidak
dijalankannya konsultasi. Alih-alih mengkonsultasikan permasalahan kepada
pimpinan (upline), seseorang di dalam organisasi justru membicarakan hal
tersebut di antara bagian atau seksi yang berbeda (crossline) tanpa melibatkan
pimpinan. Crosslining bukan hanya tidak produktif namun juga akan menghancurkan
suatu jaringan bisnis MLM. Jika sinergi dapat menghasilkan dampak positif, crosslining
dapat menhasilkan dampak negatif. Itulah kenapa prinsip yang ditekankan adalah
No Crosslining.
Konsultasi, edifikasi, dan No Crosslining
adalah tiga pilar penjaga utuhnya suatu group jaringan. Tiga prinsip pembangun
Good Team Player.