Lampung: Miniatur Indonesia
Oleh:
Hakim SB Mulyono*)
Indonesia ditakdirkan Tuhan bukan hanya sebagai
negeri yang subur makmur loh jinawi,
yang dengannya pada masa lalu menjadi rebutan negara-negara kolonial, melainkan
juga ditakdirkan sebagai negeri dari berbagai kemajemukan. Dengan bentang
wilayahnya yang luas, Indonesia adalah wadah dari kebhinekaan, mulai dari suku
bangsa, marga satwa, budaya, hingga agama. Bukannya menjadi faktor pemecah
belah, kebhinekaan tersebut justru menjadi faktor perekat yang mempersatukan
Indonesia.
Bicara tentang perekat Indonesia adalah bicara
tentang unsur-unsur bangsa yang dengan perannya mampu merekatkan berbagai
kebhinekaan Indonesia. Bicara tentang perekat Indonesia, tiba-tiba terlintas
dalam benak saya satu kata: Lampung. Ya, Lampung adalah salah satu provinsi di
Indonesia, semua tahu itu. Namun ada hal yang hendak saya bicarakan lebih dari
itu di sini. Ini terkait Lampung sebagai miniature perekat Indonesia.
Provinsi Lampung adalah wadah dari keanekaragaman.
Provinsi seluas 35.587 km2 yang dulu pernah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan
Tarumanagara dan Kerajaan Sunda ini, menaungi berbagai etnis, mulai dari Jawa
(60,10%), Lampung sendiri (21,9%), Sunda (10,50%), Minangkabau (3.57%), Bali (1.73%),
Tionghoa, Melayu dan lain-lain (2.15%). Semua etnis tersebut hidup rukun di
tanah Sang Bumi Ruwai Jurai.
Sang Bumi
Ruwai Jurai adalah semboyan masyarakat adat Lampung. Kata sang berasal dari kata sanga yang berarti satu wadah yang berisi
kumpulan unsur kesatuan yang utuh. Sang
menyatakan satu dalam arti kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Sang Bumi, yang berasal dari sanga bumi, berarti Satu Bumi. Sedangkan
ruwa jurai berarti dua aliran
(kelompok) budaya yang berbeda, yaitu aliran (jurai) masyarakat adat sebatin dan pepadun. Secara sederhana, Sang
Bumi Ruwai Jurai bermakna “satu bumi
dua aliran adat budaya” atau wadah persatuan yang menampung berbagai macam
keanekaragaman.
Dalam konsep semboyan Sang Bumi Ruwai Jurai, yang
merupakan simbol keragaman etnis dan budaya Lampung, etnis pendatang tidak
digolongkan sebagai jurai ke-3. Justru
kelompok pendatang diposisikan sebagai ulun
Lampung pada kedua kelompok budaya itu, yaitu pepadun dan sebatin
secara bebas dan terbuka, sesuai pilihan, teritorial pemukinan dan penetapan ke
dalam warga adat (Zainudin Hasan, 2012).
Masyarakat adat Lampung sangat terbuka dengan
kehadiran para pendatang, dan itu menjadi alasan kenapa pada masa pemerintahan
orde baru Lampung dijadikan sebagai tujuan transmigrasi. Baik masyarakat asli
maupun transmigran hidup rukun di tanah ini, tidak mempermasalahkan etnis
maupun agama.
Agama-agama yang diakui Negara; semuanya ada di
Lampung. Mulai dari Islam (93.55%), Kristen Protestan (2.32%), Hindu (1.63%), Katolik
(1.62%), Buddha (0.87%), hingga Konghucu (0.01%). Di Lampung tidak pernah
terdengar ada bentrokan sosial yang bersumber dari perbedaan agama. Semua agama
mendapatkan tempat istimewa di Lampung. Dan meskipun ada wilayah-wilayah tertentu
yang didominasi oleh masyarakat dengan agama tertentu dan di wilayah lain
didominasi oleh masyarakat dengan agama lainnya, di antara kedua wilayah
tersebut tidak pernah terjadi perseteruan. Misalnya masyarakat penganut agama
Hindu bebas mendirikan pura di depan rumahnya tanpa takut diusik oleh penganut
agama lain yang tinggal bersebelahan dengan tanahnya.
Keanekaragaman juga tampak pada ragamnya bahasa
yang ada di Provinsi ini. Selain bahasa Lampung sendiri, masyarakat Lampung
juga menggunakan Bahasa Sunda, Bahasa Jawa, dan Bahasa Bali. Namun uniknya,
dalam keseharian ketika mereka yang secara bahasa ibu memiliki bahasa yang
berbeda-beda itu dalam berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia menjadi bahasa pergaulan bukan hanya di perkantoran atau acara resmi,
namun juga menjadi bahasa pergaulan di pasar dan warung kopi.
Itulah kenapa tidak berlebihan apabila
dikatakan bahwa Lampung merupakan miniatur Indonesia.
Bandar Lampung, 11
Maret 2019
*) Kasi HI KPKNL Bandar Lampung