Kehadiran lelang
di Indonesia sudah ada sejak lama, tepatnya pada saat zaman Hindia Belanda yang
dibuktikan dengan adanya peraturan mengenai lelang yaitu Vendue Reglement Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3 (Undang-Undang Lelang).
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang (PMK No. 213/2020), Lelang adalah penjualan barang yang
terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ atau lisan yang
semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului
dengan Pengumuman Lelang. Menurut jenisnya, lelang secara umum terdiri dari 3
jenis, yaitu:
1) Lelang Eksekusi;
2) Lelang Noneksekusi Wajib;
dan
3) Lelang Noneksekusi
Sukarela.
Lelang eksekusi
sendiri terbagi lagi ke dalam beberapa jenis, salah satunya adalah Lelang
Eksekusi Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan. Sebelum membahas lebih lanjut
mengenai lelang eksekusi, kiranya perlu bagi kita untuk memahami definisi dari eksekusi
itu sendiri. Istilah eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau
menjalankan putusan pengadilan, namun nyatanya eksekusi tidak hanya berkaitan
dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan grosse akta
saja, namun juga terdapat dalam bidang hukum jaminan yang merupakan pelaksanaan
hak kreditur pemegang hak jaminan terhadap objek jaminan dengan cara menjual
jaminannya, apabila debitur cidera janji atau wanprestasi.[1]
Berdasarkan Pasal
6 UUHT, yang menyatakan :
“Apabila
debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”, maka kreditur
selaku pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek
Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa
memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada
kreditur-kreditur yang lain. Selain itu dipertegas pula dalam Pasal 20 ayat (1)
huruf (a) UUHT yang menyebutkan bila pemegang Hak Tanggungan pertama berhak
untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Atas
dasar inilah, lelang eksekusi Pasal 6
UUHT yang diselenggarakan oleh KPKNL dilakukan dengan dasar konsep Parate Executie.
Istilah parate executie sendiri secara implisit tidak pernah tertuang dalam
peraturan perundang-undangan. Secara etimologis parate
executie berasal dari kata paraat yang
berarti siap di tangan, sehingga parate
executie dikatakan sebagai sarana yang siap di tangan. Menurut kamus hukum,
parate executie mempunyai arti
pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses pengadilan atau hakim. Sedangkan berdasarkan doktrin ilmu hukum, parate executie memiliki
arti sebagai kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri, atau bisa juga
diberikan arti bahwa jika debitur wanprestasi maka kreditur bisa melakukan
eksekusi objek jaminan tanpa harus meminta fiat dari ketua pengadilan, tanpa
harus mengikuti aturan dalam hukum acara perdata, tanpa perlu melibatkan juru
sita dan oleh karenanya prosedurnya jauh lebih mudah dan biaya lebih
murah.
Sebagaimana
disampaikan di atas, bahwa Pasal 6 UUHT dipedomani sebagai ketentuan bagi para pemegang
hak tanggungan pertama dalam hal ini kreditur yang memiliki hak untuk menjual objek
hak tanggungan atas dasar kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan tersebut apabila debitur
cidera janji. Dengan kata lain, baik kekuasaan pemegang hak tanggungan pertama
tersebut dicantumkan atau tidak dicantumkan di dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai kekuasaan/wewenang untuk
dapat melakukan penjualan melalui pelelangan.
Hal
ini sejalan dengan pendapat Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan bahwa hak untuk
menjual atau kekuasaan sendiri menguntungkan dalam 2 hal, yaitu:
a) Tidak
dibutuhkan Titel Eksekutorial dalam melaksanakan haknya/eksekusi.
b) Dapat
melaksanakan eksekusi sendiri secara langsung (mandiri) tidak peduli adanya
kepailitan dari debitur (di luar pengadilan) karena tergolong separatis.[2]
Merujuk pada ketentuan Angka 4 Penjelasan
Umum UUHT yang memuat:
“Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas
tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa
jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual
melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada
kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu
tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku.”
Dengan demikian, sesuai uraian di atas, di
dalam UUHT diatur bahwa apabila debitur wanprestasi, dengan tujuan untuk
melindungi kreditur, maka kreditur dapat melakukan eksekusi Hak Tanggungan.
Sehingga apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan Pertama
mempunyai hak menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan mereka.
Kreditur sebagai pemohon eksekusi dapat
melakukan eksekusi objek Hak Tanggungan melalui parate executie, dengan
syarat dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) terdapat janji bahwa
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan
sendiri objek Hak Tanggungan.
Dengan adanya janji menjual atas kekuasaan
sendiri yang tercantum dalam APHT dan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT), maka
jika debitur cidera janji, kreditur dapat melakukan eksekusi objek Hak
Tanggungan secara langsung melalui Kantor Lelang Negara (dalam hal ini Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang/KPKNL) tanpa
perlu fiat Pengadilan Negeri.
Oleh karena itu, dengan merujuk Pasal 6 UUHT,
Pasal 20 ayat (1) huruf (1) UUHT, dan Angka 4 Penjelasan Umum UUHT, setiap
eksekusi objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan melalui pelelangan umum,
karena dengan cara ini dapat diperoleh harga yang paling tinggi, dan kreditur
berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan objek Hak
Tanggungan. Dalam hal hasil penjualan itu melebihi piutang tersebut, maka
sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.
Parate executie juga mempunyai keuntungan dan kelebihan, menurut
Pitlo yang dikutip oleh J. Satrio kelebihan itu terdiri dari:
1) Penjualan
itu berdasarkan kuasa (Mandaat) atau sebagai pelaksanaan haknya sendiri
(Eksekusi), yang diperjanjikan dengan pemberi jaminan;
2) Di luar
wilayah hukum acara, dengan konsekuensinya hukum acara, sepanjang mengenai
eksekusi, tidak wajib diturut. Ini membawa konsekuensi-konsekuensi lain lagi;
3) Tidak
perlu melalui atau didahului dengan persitaan;
4) Tidak
perlu menunjukkan grosse acte;
5) Tidak
perlu ada fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan;
6) Tidak
perlu somasi, kalau dalam perjanjian kredit diperjanjikan, bahwa dengan
lewatnya waktu/tanggal tertentu saja, debitor sudah dianggap dalam keadaan
lalai (sekalipun sebaiknya diberikan).[3]
Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat diambil suatu pengertian bahwa prinsip yang mendasari parate executie sebagai sarana untuk mempercepat pelunasan piutang kreditor, adalah prinsip perlindungan hukum bagi pemegang hak jaminan pertama. Perwujudan prinsip perlindungan hukum tersebut, tercermin dalam pelaksanaan parate executie, yaitu adanya kemudahan, waktu yang cepat dan biaya yang murah untuk mendapatkan piutang kreditor, dibandingkan dengan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial, hal ini sehubungan prosedur penjualan objek hak jaminan atas kekuasaan sendiri, tanpa didahului sita jaminan dan sita eksekusi serta tanpa fiat pengadilan.
Penulis : Prilla Geonestri Ramlan
Sumber
:
1.
Anton Suyatno, kepastian hukum dalam
penyelesaian kredit macet melalui eksekusi hak tanggungan tanpa proses gugatan
pengadilan, (Jakarta, kencana, 2016)
2.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum
Perdata : Hukum Benda (Yogyakarta: Liberty, 2000)
3.
J
Satrio, (2002), Janji-Janji (Bedingeng) Dalam Akta Hipotek dan Hak Tanggungan,
Media Notariat Edisi Januari-Maret, Jakarta: Ikatan Notaris Indonesia.
[1]
Anton Suyatno, kepastian hukum
dalam penyelesaian kredit macet melalui eksekusi hak tanggungan tanpa proses
gugatan pengadilan, (Jakarta, kencana, 2016) h.54
[2]
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda (Yogyakarta: Liberty,
2000), h.32
[3]
J Satrio, (2002), Janji-Janji (Bedingeng) Dalam Akta Hipotek dan Hak
Tanggungan, Media Notariat Edisi Januari-Maret, Jakarta: Ikatan Notaris
Indonesia, hlm.12