Sebagai
instansi vertikal dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) memiliki tugas dan fungsi teknis yang
terdiri dari pelayanan di bidang kekayaan negara, lelang, penilaian, dan
piutang negara. Kemajemukan tugas dan fungsi teknis ini menyebabkan dalam
pelaksanaannya sangat erat bersinggungan dengan hukum. Umumnya, jika terdapat
ketidakpuasan atas pelaksanaan tugas dan fungsi yang bersinggungan dengan
hukum, para penerima layanan akan menuangkannya dalam bentuk gugatan perdata.
Di
KPKNL sendiri, terdapat satu bagian khusus yang menangani gugatan-gugatan yang KPKNL
terima, yakni Seksi Hukum dan Informasi. Nantinya, Seksi Hukum dan Informasi-lah
yang akan menangani gugatan tersebut hingga melaksanakan proses beracara di
persidangan. Selama 2021 lalu hingga saat ini, KPKNL Lahat telah menangani sepuluh gugatan perdata, dimana beberapa di antaranya telah inkracht dan
ada pula yang lanjut pada proses banding hingga kasasi.
Dari sepuluh perkara tersebut, terdapat satu perkara yang menarik bagi
penulis untuk dapat dibahas lebih lanjut, mengingat perkara tersebut tidak
putus melalui putusan akhir, melainkan melalui putusan sela. Lalu, apa yang
dimaksud dengan Putusan Sela?
Putusan
Sela adalah putusan yang diadakan sebelum hakim memutus perkaranya, yaitu yang
memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Jadi, putusan
sela ini diambil oleh hakim sebelum ia menjatuhkan putusan akhir. Berdasarkan
Pasal 185 HIR/196 RBg, putusan sela adalah putusan yang bukan merupakan putusan
akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan, tidak dibuat secara terpisah
melainkan hanya tertulis dalam berita acara persidangan saja dan kedua belah
pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari putusan itu
dengan ongkos sendiri. Dari ketentuan Pasal 185 HIR/196 RBg tersebut, dapat
diketahui bahwa:
a. Semua
putusan sela diucapkan dalam sidang;
b. Semua
putusan sela merupakan bagian dari berita acara;
c. Salinan
otentik dapat diberikan dari berita acara yang memuat putusan sela kepada kedua
belah pihak.
Berdasarkan
teori dan praktiknya, putusan sela dapat dibedakan ke dalam empat golongan,
di antaranya:
1. Putusan
Preparatoir;
Putusan
preparatoir (preparatoir vonnis) merupakan salah satu bentuk spesifikasi
yang terkandung dalam putusan sela. Tujuan putusan ini merupakan persiapan
jalannya pemeriksaan. Misalnya sebelum hakim memulai pemeriksaan, lebih dahulu
menerbitkan putusan perparatoir tentang tahap-tahap proses atau jadwal
persidangan. Umpamanya pembatasan tahap jawab-menjawab atau replik-duplik dan
tahap pembuktian. Dalam praktik, hal ini jarang terjadi. Proses pemeriksaan
berjalan dan langsung sesuai dengan kebijakan dengan memperhitungkan tenggang
pemunduran persidangan oleh hakim tanpa lebih dahulu ditentukan tahap-tahapnya
dalam suatu putusan sela yang disebut putusan preparatoir.
Selanjutnya,
sesuai dengan tuntutan peradilan modern, sangat beralasan mengembangkan putusan
preparatoir, dengan jalan menggabungkan prinsip manajemen dalam sistem
peradilan, seperti yang pernah disinggung di beberapa negara, misalnya di
Inggris, telah dimunculkan konsep timetable program. Sebelum proses
persidangan dimulai, hakim terlebih dahulu menetapkan timetable itu,
hakim dan para pihak terkait melaksanakannya. Tidak seperti yang berlaku
sekarang, jadwal pemeriksaan tidak pasti, tergantung pada selera hakim.
Terkadang meskipun hakim sendiri yang menetapkan pemunduran sidang, tanpa
alasan yang masuk akal, pemeriksaan tidak dilangsungkan dan dimundurkan lagi
pada hari yang lain.
2. Putusan
Interlocutoir;
Menurut
R. Soepomo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, seringkali
Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan interlocutoir saat proses pemeriksaan
tengah berlangsung. Putusan ini merupakan bentuk khusus putusan sela (een
interlocutoir vonnis is een special sort tussen vonnis) yang dapat berisi
bermacam-macam perintah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai hakim, antara
lain sebagai berikut:
a. Putusan
interlocutoir yang memerintahkan pendengaran keterangan ahli.
Berdasarkan Pasal 154 HIR, apabila hakim secara ex officio maupun atas
perintah salah satu pihak, menganggap perlu mendengar pendapat ahli yang
kompeten menjelaskan hal yang belum jelas tentang masalah yang disengketakan,
hal itu dituangkan dalam putusan sela yang disebut putusan interlocutoir;
b. Memerintahkan
pemeriksaan setempat (greechtelijke plaatssopmening). Berdasarkan Pasal
153 HIR, jika hakim berpendapat atau atas permintaan salah satu pihak, perlu
dilakukan pemeriksaan setempat maka pelaksanaannya dituangkan dalam putusan interlocutoir
yang berisi perintah kepada hakim komisaris dan panitera untuk melaksanakannya;
c. Memerintahkan
pengucapan atau pengangkatan sumpah baik sumpah penentu atau tambahkan. Berdasarkan
Pasal 155 HIR dan Pasal 1929 KUHPerdata, maka pelaksanaannya dituangkan dalam
putusan interlocutoir;
d. Bisa
juga memerintahkan pemanggilan saksi sebagaimana termuat pada Pasal 139 HIR,
yakni saksi yang diperlukan penggugat atau tergugat tetapi tidak dapat
menghadirkannya, maka berdasarkan Pasal 121 HIR, pihak yang berkepentingan
dapat meminta kepada hakim supaya saksi tersebut dipanggil secara resmi oleh
juru sita. Apabila permintaan ini dikabulkan, hakim menerbitkan surat perintah
untuk itu yang dituangkan dalam bentuk putusan interlocutoir;
e. Putusan
interlocutoir dapat juga diterbitkan hakim untuk memerintahkan
pemeriksaan pembukuan perusahaan yang terlibat dalam suatu sengketa oleh
akuntan publik yang independen.
3. Putusan
Insidentil; dan
Putusan insidentil (incidenteel
vonnis) merupakan putusan sela yang berkaitan langsung dengan gugatan
insidentil atau yang berkaitan dengan penyitaan yang dibebankan pemberian uang
jaminan dari pemohon sita agar sita dilaksanakan yang disebut cautio
judicatum solvi.
Umumnya dikenal dua bentuk putusan
insidentil, antara lain:
a. Putusan
insidentil dalam gugatan intervensi.
Dalam Pasal 279 Rv mengatur lembaga gugatan intervensi,
yaitu:
1) Memberi
hak kepada pihak ketiga yang berkepentingaan untuk menggabungkan diri dalam
suatu perkara yang masih berlangsung proses pemeriksaannya pada pengadilan
tingkat pertama.
2) Bentuk
gugatan intervensi yang dapat diajukan pihak ketiga yang berkepentingan dapat
berupa: voeging, tussenkomst, dan verjaring.
3) Cara
ikut sertanya bergabung melalui gugatan intervensi diatur dalam Pasal 280 Rv.
b. Putusan
insidentil dalam pemberian jaminan atas pelaksanaan sita jaminan.
Putusan insidentil yang dikaitkan
dengan pelaksanaan sita jaminan (conservatoir beslaag) disebut cautio
judicatum solvi. Sebagai contoh, Pasal 722 Rv yakni penyitaan atas barang
debitur. Menurut pasal ini, hakim dalam mengabulkan permohonan sita jaminan
yang diajukan penggugat dapat memerintahkan kepada tergugat agar membayar uang
jaminan meliputi kerugian dan bunga yang mungkin timbul akibat penyitaan,
dengan ketentuan dan ancaman selama uang jaminan belum dibayar penggugat,
penyitaan tidak dilaksanakan. Jika hakim bermaksud menerapkan ketentuan Pasal
722 Rv tersebut, harus dituangkan dalam bentuk putusan insidentil.
Begitu juga apabila hakim hendak
menerapkan ketentuan Pasal 763 Rv tentang pengangkatan sita yang diletakkan
atas pesawat terbang, harus dituangkan dalam putusan insidentil. Menurut pasal
ini hakim dapat mengangkat sita atas pesawat terbang dengan syarat pihak
tersita memberi sejumlah uang jaminan yang cukup menutup jumlah gugatan dan
bunga yang harus dibayarkan kepada kreditur (penggugat). Apabila syarat ini
terpenuhi, hakim dapat segera mengeluarkan perintah pengangkatan sita, yang
dituangkan dalam putusan insidentil.
4. Putusan
Provisi
Diatur
dalam Pasal 180 HIR dan Pasal 191 RBg disebut juga provisionele beschikking,
yakni putusan yang bersifat sementara atau interim award (temporary
disposal) yang berisi tindakan sementara menunggu sampai putusan akhir
mengenai pokok perkara dijatuhkan. Dengan demikian putusan provisi ini tidak boleh
mengenai materi pokok perkara, tetapi hanya terbatas mengenai tindakan
sementara berupa larangan melanjutkan suatu kegiatan, misalnya melarang
meneruskan pembangunan di atas tanah berperkara dengan ancaman hukuman membayar
uang paksa. Penegasan itu dikemukakan dalam Putusan MA No. 1788 K/Sip/1976, begitu
juga penegasan putusan MA No. 279 K/Sip.1976. Gugatan provisi seharusnya bertujuan
agar ada tindakan sementara dari hakim mengenai hal yang tidak termasuk pokok
perkara. Gugatan atau permohonan provisi yang berisi pokok perkara harus
ditolak. Putusan provisi diambil dan dijatuhkan berdasarkan gugatan provisi (provisionele
eis) atau disebut juga provisionele vordering bisa diajukan berdiri
sendiri dalam gugatan tersendiri, berbarengan dengan gugatan pokok, namun
bisanya diajukan bersama-sama dengan satu kesatuan dengan gugatan pokok. Tanpa
gugatan pokok, gugatan provisi tidak mungkin diajukan, karena gugatan tersebut
asesor dengan gugatan pokok.
-Seksi
Hukum dan Informasi-