Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Lahat > Artikel
Mengenal Putusan Sela dan Jenisnya
Prilla Geonestri Ramlan
Rabu, 19 Januari 2022   |   86693 kali

Sebagai instansi vertikal dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) memiliki tugas dan fungsi teknis yang terdiri dari pelayanan di bidang kekayaan negara, lelang, penilaian, dan piutang negara. Kemajemukan tugas dan fungsi teknis ini menyebabkan dalam pelaksanaannya sangat erat bersinggungan dengan hukum. Umumnya, jika terdapat ketidakpuasan atas pelaksanaan tugas dan fungsi yang bersinggungan dengan hukum, para penerima layanan akan menuangkannya dalam bentuk gugatan perdata.

Di KPKNL sendiri, terdapat satu bagian khusus yang menangani gugatan-gugatan yang KPKNL terima, yakni Seksi Hukum dan Informasi. Nantinya, Seksi Hukum dan Informasi-lah yang akan menangani gugatan tersebut hingga melaksanakan proses beracara di persidangan. Selama 2021 lalu hingga saat ini, KPKNL Lahat telah menangani sepuluh gugatan perdata, dimana beberapa di antaranya telah inkracht dan ada pula yang lanjut pada proses banding hingga kasasi.

Dari sepuluh perkara tersebut, terdapat satu perkara yang menarik bagi penulis untuk dapat dibahas lebih lanjut, mengingat perkara tersebut tidak putus melalui putusan akhir, melainkan melalui putusan sela. Lalu, apa yang dimaksud dengan Putusan Sela?

Putusan Sela adalah putusan yang diadakan sebelum hakim memutus perkaranya, yaitu yang memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Jadi, putusan sela ini diambil oleh hakim sebelum ia menjatuhkan putusan akhir. Berdasarkan Pasal 185 HIR/196 RBg, putusan sela adalah putusan yang bukan merupakan putusan akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan, tidak dibuat secara terpisah melainkan hanya tertulis dalam berita acara persidangan saja dan kedua belah pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari putusan itu dengan ongkos sendiri. Dari ketentuan Pasal 185 HIR/196 RBg tersebut, dapat diketahui bahwa:

a.       Semua putusan sela diucapkan dalam sidang;

b.      Semua putusan sela merupakan bagian dari berita acara;

c.       Salinan otentik dapat diberikan dari berita acara yang memuat putusan sela kepada kedua belah pihak.

Berdasarkan teori dan praktiknya, putusan sela dapat dibedakan ke dalam empat golongan, di antaranya:

1.       Putusan Preparatoir;

Putusan preparatoir (preparatoir vonnis) merupakan salah satu bentuk spesifikasi yang terkandung dalam putusan sela. Tujuan putusan ini merupakan persiapan jalannya pemeriksaan. Misalnya sebelum hakim memulai pemeriksaan, lebih dahulu menerbitkan putusan perparatoir tentang tahap-tahap proses atau jadwal persidangan. Umpamanya pembatasan tahap jawab-menjawab atau replik-duplik dan tahap pembuktian. Dalam praktik, hal ini jarang terjadi. Proses pemeriksaan berjalan dan langsung sesuai dengan kebijakan dengan memperhitungkan tenggang pemunduran persidangan oleh hakim tanpa lebih dahulu ditentukan tahap-tahapnya dalam suatu putusan sela yang disebut putusan preparatoir.

Selanjutnya, sesuai dengan tuntutan peradilan modern, sangat beralasan mengembangkan putusan preparatoir, dengan jalan menggabungkan prinsip manajemen dalam sistem peradilan, seperti yang pernah disinggung di beberapa negara, misalnya di Inggris, telah dimunculkan konsep timetable program. Sebelum proses persidangan dimulai, hakim terlebih dahulu menetapkan timetable itu, hakim dan para pihak terkait melaksanakannya. Tidak seperti yang berlaku sekarang, jadwal pemeriksaan tidak pasti, tergantung pada selera hakim. Terkadang meskipun hakim sendiri yang menetapkan pemunduran sidang, tanpa alasan yang masuk akal, pemeriksaan tidak dilangsungkan dan dimundurkan lagi pada hari yang lain.

 

2.       Putusan Interlocutoir;

Menurut R. Soepomo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, seringkali Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan interlocutoir saat proses pemeriksaan tengah berlangsung. Putusan ini merupakan bentuk khusus putusan sela (een interlocutoir vonnis is een special sort tussen vonnis) yang dapat berisi bermacam-macam perintah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai hakim, antara lain sebagai berikut:

a.     Putusan interlocutoir yang memerintahkan pendengaran keterangan ahli. Berdasarkan Pasal 154 HIR, apabila hakim secara ex officio maupun atas perintah salah satu pihak, menganggap perlu mendengar pendapat ahli yang kompeten menjelaskan hal yang belum jelas tentang masalah yang disengketakan, hal itu dituangkan dalam putusan sela yang disebut putusan interlocutoir;

b.     Memerintahkan pemeriksaan setempat (greechtelijke plaatssopmening). Berdasarkan Pasal 153 HIR, jika hakim berpendapat atau atas permintaan salah satu pihak, perlu dilakukan pemeriksaan setempat maka pelaksanaannya dituangkan dalam putusan interlocutoir yang berisi perintah kepada hakim komisaris dan panitera untuk melaksanakannya;

c.     Memerintahkan pengucapan atau pengangkatan sumpah baik sumpah penentu atau tambahkan. Berdasarkan Pasal 155 HIR dan Pasal 1929 KUHPerdata, maka pelaksanaannya dituangkan dalam putusan interlocutoir;

d.     Bisa juga memerintahkan pemanggilan saksi sebagaimana termuat pada Pasal 139 HIR, yakni saksi yang diperlukan penggugat atau tergugat tetapi tidak dapat menghadirkannya, maka berdasarkan Pasal 121 HIR, pihak yang berkepentingan dapat meminta kepada hakim supaya saksi tersebut dipanggil secara resmi oleh juru sita. Apabila permintaan ini dikabulkan, hakim menerbitkan surat perintah untuk itu yang dituangkan dalam bentuk putusan interlocutoir;

e.     Putusan interlocutoir dapat juga diterbitkan hakim untuk memerintahkan pemeriksaan pembukuan perusahaan yang terlibat dalam suatu sengketa oleh akuntan publik yang independen.

3.       Putusan Insidentil; dan

Putusan insidentil (incidenteel vonnis) merupakan putusan sela yang berkaitan langsung dengan gugatan insidentil atau yang berkaitan dengan penyitaan yang dibebankan pemberian uang jaminan dari pemohon sita agar sita dilaksanakan yang disebut cautio judicatum solvi.

Umumnya dikenal dua bentuk putusan insidentil, antara lain:

a.     Putusan insidentil dalam gugatan intervensi.

Dalam Pasal 279 Rv mengatur lembaga gugatan intervensi, yaitu:

1)    Memberi hak kepada pihak ketiga yang berkepentingaan untuk menggabungkan diri dalam suatu perkara yang masih berlangsung proses pemeriksaannya pada pengadilan tingkat pertama.

2)    Bentuk gugatan intervensi yang dapat diajukan pihak ketiga yang berkepentingan dapat berupa: voeging, tussenkomst, dan verjaring.

3)    Cara ikut sertanya bergabung melalui gugatan intervensi diatur dalam Pasal 280 Rv.

b.     Putusan insidentil dalam pemberian jaminan atas pelaksanaan sita jaminan.

Putusan insidentil yang dikaitkan dengan pelaksanaan sita jaminan (conservatoir beslaag) disebut cautio judicatum solvi. Sebagai contoh, Pasal 722 Rv yakni penyitaan atas barang debitur. Menurut pasal ini, hakim dalam mengabulkan permohonan sita jaminan yang diajukan penggugat dapat memerintahkan kepada tergugat agar membayar uang jaminan meliputi kerugian dan bunga yang mungkin timbul akibat penyitaan, dengan ketentuan dan ancaman selama uang jaminan belum dibayar penggugat, penyitaan tidak dilaksanakan. Jika hakim bermaksud menerapkan ketentuan Pasal 722 Rv tersebut, harus dituangkan dalam bentuk putusan insidentil.

Begitu juga apabila hakim hendak menerapkan ketentuan Pasal 763 Rv tentang pengangkatan sita yang diletakkan atas pesawat terbang, harus dituangkan dalam putusan insidentil. Menurut pasal ini hakim dapat mengangkat sita atas pesawat terbang dengan syarat pihak tersita memberi sejumlah uang jaminan yang cukup menutup jumlah gugatan dan bunga yang harus dibayarkan kepada kreditur (penggugat). Apabila syarat ini terpenuhi, hakim dapat segera mengeluarkan perintah pengangkatan sita, yang dituangkan dalam putusan insidentil.

4.       Putusan Provisi

Diatur dalam Pasal 180 HIR dan Pasal 191 RBg disebut juga provisionele beschikking, yakni putusan yang bersifat sementara atau interim award (temporary disposal) yang berisi tindakan sementara menunggu sampai putusan akhir mengenai pokok perkara dijatuhkan. Dengan demikian putusan provisi ini tidak boleh mengenai materi pokok perkara, tetapi hanya terbatas mengenai tindakan sementara berupa larangan melanjutkan suatu kegiatan, misalnya melarang meneruskan pembangunan di atas tanah berperkara dengan ancaman hukuman membayar uang paksa. Penegasan itu dikemukakan dalam Putusan MA No. 1788 K/Sip/1976, begitu juga penegasan putusan MA No. 279 K/Sip.1976. Gugatan provisi seharusnya bertujuan agar ada tindakan sementara dari hakim mengenai hal yang tidak termasuk pokok perkara. Gugatan atau permohonan provisi yang berisi pokok perkara harus ditolak. Putusan provisi diambil dan dijatuhkan berdasarkan gugatan provisi (provisionele eis) atau disebut juga provisionele vordering bisa diajukan berdiri sendiri dalam gugatan tersendiri, berbarengan dengan gugatan pokok, namun bisanya diajukan bersama-sama dengan satu kesatuan dengan gugatan pokok. Tanpa gugatan pokok, gugatan provisi tidak mungkin diajukan, karena gugatan tersebut asesor dengan gugatan pokok.

 

-Seksi Hukum dan Informasi-

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini