Semenjak Tahun
2020, Perekenomian di dunia tiba-tiba memburuk karena adanya pandemi yang
mematikan jalannya proses bisnis hampir di semua sektor. Berdasarkan Survei
Kemnaker pada akhir tahun 2020, Banyak perusahaan yang terdampak langsung oleh
pandemi dengan data 88 % perusahaan yang terdaftar. Perusahaan ritel memang paling terkena dampaknya karena
terdapat penurunan permintaan pasar, produksi, dan keuntungan yang terjadi pada
perusahaan. Meski demikian, sebagian besar perusahaan tetap mempekerjakan
pekerjanya. Hanya terdapat 17,8 % perusahaan yang memberlakukan pemutusan
hubungan kerja, 25,6 % perusahaan yang merumahkan pekerjanya dan 10 % yang
melakukan keduanya. Dari sini, mulai terdapat perubahan cara kerja perusahaan
seperti diberlakukannya work form home/teleworking yang menjadi pilihan utama
bagi perusahaan, sehingga menjadi lebih fleksibel meskipun efisiensi jumlah
tenaga kerja dan pengurangan upah menjadi tidak bisa dihindarkan. Hal ini juga
menyebabkan beberapa perusahaan mulai tidak menggunakan kantor fisik untuk
menekan biaya karena telah dimudahkan dengan teknologi Informasi dan
Komunikasi.
Dalam kesempatan ini, dijelaskan
bahwa hasil survei ini juga menyampaikan enam rekomendasi .Pertama, pemerintah
perlu mengidentifikasikan perusahaan yang terdampak lebih detail lagi agar
mendapat akses yang lebih luas atas beragam program pemulihan ekonomi
khususnya, insentif perpajakan, restrukturisasi pinjaman KUR dan non KUR,
subsidi gaji, hingga akses terhadap kartu pra kerja. Kedua, perlunya pemerintah
memberikan perhatian yang lebih bagi perusahaan UMKM yang terdampak pandemi
meskipun saat ini pemerintah telah memberikan bantuan dalam bentuk subsidi
bunga KUR, restukturisasi pinjaman dan pengurangan pajak. Ketiga, pemerintah
perlu memperluas informasi pasar tenaga kerja yang berorientasi pada jenis
pekerjaan, dan perusahaan juga perlu didorong untuk menentukan spesifikasi
keahlian yang dibutuhkan agar terinformasikan skills demand secara lebih luas.
Keempat, kebutuhan pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan setelah pandemi
berkaitan dengan teknologi, baik teknologi informasi maupun teknologi industri.
Seperti terkait digital marketing, dan digital working. Kelima, dibutuhkan
kebijakan dan peraturan yang menjadi landasan flexible working arrangement yang
menyangkut jabatan dan jenis pekerjaan tertentu. Keenam, diperlukan kebijakan
yang cukup komprehensif terkait penyatuan beberapa jaminan sosial bagi pekerja,
baik terkait pendidikan dan kesehatan, termasuk program untuk masa pandemi yang
lebih persisten.
Setelah 2 tahun berlalu, berbagai
usaha telah dilakukan untuk mempertahankan perekonomian Indonesia dengan
beberapa rekomendasi diatas. Berdasarkan World Bank, Pemulihan ekonomi
Indonesia dari pandemi COVID-19 terjadi di tengah lingkungan global yang
semakin menantang. Pertumbuhan Indonesia meningkat pada akhir tahun 2021
mencapai 3.7 % ketika Indonesia keluar dari gelombang varian Delta yang cukup
parah pada bulan Juli-Agustus Momentum tersebut terbawa hingga triwulan pertama
tahun 2022 dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5 % (yoy) dan menyerap dampak
peningkatan kasus COVID terkait varian Omicron yang singkat dan tajam. Sumber
pertumbuhan sejak akhir tahun 2021 juga perlahan berpindah dari ekspor dan
konsumsi pemerintah ke konsumsi dan investasi swasta. Sejak bulan Februari,
perang di Ukraina telah mengganggu lingkungan ekonomi global melalui naiknya
harga-harga komoditas dan langkah-langkah untuk mengurangi risiko (de-risking)
di pasar keuangan global. Dampak positif dari nilai tukar perdagangan (terms of
trade) telah menguntungkan Indonesia dalam waktu dekat melalui penerimaan
ekspor dan fiskal yang lebih tinggi. Tetapi negara ini merasakan tekanan dari
kenaikan harga dan pengetatan keuangan eksternal.
Setelah lebih dari dua tahun
pandemi, dampak dari invasi Rusia ke Ukraina akan memperlambat kegiatan ekonomi
global secara tajam. Pertumbuhan global sekarang diperkirakan akan melambat
dari 5,7 % pada tahun 2021 menjadi 2,9 % pada tahun 2022. Sebagai akibat dari
perang di Ukraina, harga untuk sebagian besar komoditas diperkirakan akan jauh
lebih tinggi di tahun 2022 daripada di tahun 2021, sementara harga-harga
komoditas diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2022, dalam jangka
menengah harga-harga tersebut diproyeksikan tetap tinggi. Hal ini meningkatkan
kekhawatiran atas kerawanan ketahanan pangan dan kemiskinan, serta meningkatnya
inflas. Ini dapat menyebabkan kondisi keuangan yang lebih ketat, yang
memperbesar kerentanan sektor keuangan. Pertumbuhan di negara-negara pasar
berkembang dan negara-negara berkembang
tahun ini telah diturunkan menjadi 3,4 %, sebagai dampak negatif dari
invasi di Ukraina lebih dari mengimbangi dorongan jangka pendek untuk beberapa
eksportir komoditas dari harga energi yang lebih tinggi. Tidak ada percepatan
pertumbuhan yang diproyeksikan tahun depan: pertumbuhan global diperkirakan masih
lemah, hanya naik tipis menjadi 3 % yang pada tahun 2023, karena banyak
hambatan – khususnya harga-harga komoditas yang tinggi dan pengetatan moneter
yang berkelanjutan – diperkirakan akan bertahan.
Prospek global tersebut
menimbulkan risiko merugikan yang signifikan bagi pertumbuhan di Indonesia.
Pada skenario baseline, pertumbuhan PDB yang diproyeksikan sebesar 5,1 % pada
tahun 2022, meningkat menjadi 5,3 % pada tahun 2023. Ini diasumsukan oleh
beberapa hal: pelepasan permintaan yang tertahan (pent-up demand), kepercayaan
konsumen yang meningkat, dan nilai tukar perdagangan (terms of trade) yang
lebih baik. Inflasi diproyeksikan meningkat menjadi 3,6 % (rata-rata tahunan)
seiring peningkatan permintaan dalam negeri dan harga-harga komoditas yang
lebih tinggi. Kondisi pembiayaan eksternal diperkirakan akan mengetat meskipun
ekspor komoditas diproyeksikan berkontribusi terhadap surplus transaksi
berjalan. Lingkungan ekonomi global dapat menciptakan tekanan-tekanan utama
terhadap pertumbuhan. Hal ini dapat memicu skenario penurunan dengan tekanan
inflasi yang lebih tinggi yang memaksa realokasi fiskal dari pembelanjaan
pro-pertumbuhan ke subsidi yang tidak ditargetkan, penurunan permintaan untuk
ekspor komoditas, dan pembiayaan eksternal yang ketat yang berdampak pada biaya
pinjaman dan keinginan investasi sektor swasta. Dalam skenario seperti itu,
pertumbuhan Indonesia bisa lebih rendah dari yang diantisipasi dan mencapai 4,6
% pada tahun 2022 dan 4,7 % pada tahun 2023.
Berikut ada beberapa saran
kebijakan reformasi sektor keuangan dari Bank Dunia:
I. Meningkatkan
permintaan dan penawaran pembiayaan
1. Meningkatkan akses dan penggunaan jasa keuangan
a) Membangun platform data pemerintah dan membuat ID
digital.
b) Membangun sistem pembayaran yang berfungsi dengan baik (yang
sepenuhnya bisa berinteraksi dengan aplikasi lainnya) dan mengembangkan
infrastruktur kredit yang dapat menggunakan data alternatif.
c) Mendorong layanan dan kebijakan perbankan terbuka yang menciptakan
permintaan terhadap layanan keuangan digital (seperti digitalisasi pembayaran
G2P dan P2G).
2. Memperluas dan meningkatkan kualitas produk-produk pasar keuangan
a) Terus memperkenalkan produk-produk pasar keuangan baru (misalnya
obligasi berwawasan lingkungan; obligasi berbasis hipotik rumah; obligasi
proyek infrastruktur; obligasi daerah). JM
b) Mengembangkan pasar terkait perlindungan risiko untuk menarik investor
internasional, termasuk dengan mendirikan lembaga central counterparty untuk
kliring (clearing) dan close-out netting.
3. Memobilisasi tabungan jangka panjang
a) Mengumpulkan tabungan melalui investor institusi, dengan memperluas
cakupan, meningkatkan kontribusi dan mengurangi penarikan.
b) Mendorong pengelolaan yang profesional dan investasi jangka panjang
yang tepat atas aset dana pensiun dan tabungan hari tua.
II. Meningkatkan
alokasi sumber daya melalui sektor keuangan
1. Mendorong persaingan di sektor perbankan
a) Memperkuat kapasitas pemberi pinjaman untuk mengadopsi penetapan harga
berbasis risiko.
b) Membuka layanan bisnis pemerintah bagi para penyedia layanan yang
paling mampu, terlepas dari jenis kepemilikannya.
c) Memperluas penjaminan kredit parsial bagi UMKM dan mendukung kebijakan
kelulusan yang efektif dari program KUR.
2. Memperkuat kerangka kepailitan
a) Memberikan insentif terhadap restrukturisasi informal, seperti
langkah-langkah di luar pengadilan, yang tidak menggunakan sistem pengadilan
untuk mengatasi kesulitan keuangan.
b) Memastikan perlindungan yang memadai atas kepentingan kreditur melalui
perubahan-perubahan utama Undang-Undang Kepailitan.
3. Melindungi konsumen
a) Menerapkan perundang-undangan dan peraturan perlindungan konsumen
keuangan yang dipantau dan ditegakkan melalui pengawasan perilaku pasar
b) Memfinalisasikan undang-undang perlindungan data pribadi, yang saat
ini tertunda sejak tahun 2019.
III.
Meningkatkan kapasitas untuk menahan guncangan finansial dan non-finansial
1. Peningkatan efektivitas pengawasan sektor keuangan
a) Mengatasi kesenjangan dan keterbatasan dalam pengawasan konglomerasi
keuangan.
b) Meningkatkan perlindungan hukum bagi pengawas
keuangan.
2. Memperkuat kerangka kesiapan krisis dan penyelesaian/ resolusi
a) Meningkatkan kerangka hukum untuk menetapkan sistem
penyelesaian/resolusi permasalahan bank dan koordinasi antarlembaga yang
efektif
b) Memberikan pengaturan yang jelas untuk pendanaan
penyelesaian/resolusi, termasuk ketentuan untuk pendanaan diluar yang biasa
bila diperlukan.
3. Mendorong pengelolaan risiko terkait iklim dan bencana alam
a) Mengembangkan kebijakan-kebijakan (termasuk penilaian, pengungkapan
dan pelaporan) untuk mengelola risiko-risiko terkait iklim untuk sektor
keuangan.
b) Memperdalam pasar asuransi bencana untuk memberikan jasa pengelolaan
risiko keuangan kepada pemerintah, bisnis, dan rumah tangga.
Sumber dan
referensi :
https://kemnaker.go.id/news/detail/survei-kemnaker-88-%-perusahaan-terdampak-pandemi-covid-19