Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Kisaran > Artikel
Asas lex superior derogate legi inferiori dan Kedudukan Surat Edaran dalam Perundang-undangan
Garry Fischer Silitonga
Kamis, 09 Juni 2022   |   104894 kali

Asas lex superior derogate legi inferiori dapat diartikan bahwa peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. Salah satu kebijakan yang menguatkan asas ini yakni Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 7 membagi jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan berurutan dari yang derajat tertinggi, yaitu: UUD Negara RI Tahun 1945; Ketetapan MPR; Undang-Undang/PerPU; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; Peraturan Daerah Kabupaten/kota. Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan herarki tersebut.

Sebagai Negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum sehingga diperlukan tatanan yang tertib termasuk di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus dirintis sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya. Bentuknya harus berkaitan dengan system, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan maupun pemberlakuannya.

Sebagaimana UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 22A mendasarkan,” Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.” Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 diundangkan untuk mengatur pembentukan kebijakan di bawah UUD Negara RI Tahun 1945, secara terencana, bertahap, terarah, dan terpadu. Sehingga UUD Negara RI Tahun 1945 menjadi sumber hukum bagi kebijakan di bawahnya.

Lantas, bagaimana kedudukan Surat Edaran (SE) dalam hierarki peraturan perundang-undangan?

Sebelumnya, Surat Edaran tidak dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, dan hanya memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap mendesak. Sebagaimana disebutkan dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas, cetakan Edisi I Januari 2004 dan Peraturan Menteri (Kemenpan) Nomor 22 Tahun 2008.

Setelahnya, berdasarkan Permendagri No. 55 Tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan bahwa SE adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan, dan/ atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Surat Edaran tidak juga dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, bukan juga suatu norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga Surat edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan menteri, apalagi peraturan berhierarki lainnya. Sehingga di dalam Surat edaran, sebagaimana kita ketahui dari dasar pembentukan kebijakan di atas, dan untuk memperjelas makna dari kebijakan yang dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, jelas dan seharusnya di dalam Surat Edaran tidak memiliki sanksi.

Surat edaran lebih dapat diartikan sebagai surat pengantar untuk mengantarkan suatu produk kebijakan dan di dalam isinya tidak merubah, tidak menambah-nambahi, tidak menganulir peraturan yang dihantarkannya, sehingga peraturan yang dihantarkan tetap utuh dan tidak bermakna ambigu (ganda) akibat dari surat edaran dimaksud.

Sebagaimana kita ketahui, telah banyak beredar berbagai Surat Edaran yang berkemungkinan menambah-nambahi sehingga berpotensi menganulir berbagai produk kebijakan yang didasarinya. Sebagaimana mestinya, muatan dalam Surat Edaran tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam produk perundang-undangan yang didasarinya.

Landasan filosofis untuk segera menghapus dan membatalkan berbagai Surat Edaran yang menyimpang, adalah kecepatan dan ketepatan serta kemampuan Pimpinan Lembaga penerbit Surat Edaran dalam mengembangkan pertimbangan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945.

Penulis : Garry Fischer Silitonga

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini