Asas lex
superior derogate legi inferiori dapat diartikan bahwa peraturan
perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. Salah satu
kebijakan yang menguatkan asas ini yakni Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 7 membagi jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan berurutan dari yang derajat
tertinggi, yaitu: UUD Negara RI Tahun 1945; Ketetapan MPR; Undang-Undang/PerPU;
Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; Peraturan
Daerah Kabupaten/kota. Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai
dengan herarki tersebut.
Sebagai Negara hukum, segala aspek kehidupan
dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus
senantiasa berdasarkan atas hukum sehingga diperlukan tatanan yang tertib
termasuk di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus dirintis
sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya. Bentuknya harus berkaitan
dengan system, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan
maupun pemberlakuannya.
Sebagaimana UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal
22A mendasarkan,” Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.” Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2011 diundangkan untuk mengatur pembentukan
kebijakan di bawah UUD Negara RI Tahun 1945, secara terencana, bertahap,
terarah, dan terpadu. Sehingga UUD Negara RI Tahun 1945 menjadi sumber hukum
bagi kebijakan di bawahnya.
Lantas,
bagaimana kedudukan Surat Edaran (SE) dalam hierarki peraturan
perundang-undangan?
Sebelumnya,
Surat Edaran tidak dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, dan
hanya memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap mendesak. Sebagaimana disebutkan dalam
buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas, cetakan Edisi I Januari 2004 dan Peraturan
Menteri (Kemenpan) Nomor 22 Tahun 2008.
Setelahnya,
berdasarkan Permendagri No. 55
Tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan bahwa SE adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan, dan/ atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu
yang dianggap penting dan mendesak. Surat
Edaran tidak juga dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, bukan
juga suatu norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan
perundang-undangan. Sehingga Surat edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum
untuk menganulir peraturan menteri, apalagi peraturan berhierarki lainnya. Sehingga
di dalam Surat edaran, sebagaimana kita ketahui dari dasar pembentukan
kebijakan di atas, dan untuk memperjelas makna dari kebijakan yang dikategorikan
sebagai peraturan perundang-undangan, jelas dan seharusnya di dalam Surat
Edaran tidak memiliki sanksi.
Surat
edaran lebih dapat diartikan sebagai surat pengantar untuk mengantarkan suatu
produk kebijakan dan di dalam isinya tidak merubah, tidak menambah-nambahi, tidak
menganulir peraturan yang dihantarkannya, sehingga peraturan yang dihantarkan
tetap utuh dan tidak bermakna ambigu (ganda) akibat dari surat edaran dimaksud.
Sebagaimana
kita ketahui, telah banyak beredar berbagai Surat Edaran yang berkemungkinan
menambah-nambahi sehingga berpotensi menganulir berbagai produk kebijakan yang
didasarinya. Sebagaimana mestinya, muatan dalam Surat Edaran tidak boleh
menyimpang dari materi yang diatur dalam produk perundang-undangan yang
didasarinya.
Landasan filosofis untuk segera menghapus dan membatalkan berbagai Surat Edaran yang menyimpang, adalah kecepatan dan ketepatan serta kemampuan Pimpinan Lembaga penerbit Surat Edaran dalam mengembangkan pertimbangan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945.