Pers Dalam Lingkaran Kebebasan dan Etika
Mahmud Ashari
Rabu, 09 Februari 2022 |
8373 kali
Tidak bisa dipungkiri, era
digitalisasi telah membidani lahirnya ratusan atau bahkan mungkin ribuan pers
baru. Mulai dari pers dengan platform media cetak, media elektronik, sampai
dengan pers independen yang lebih kental disebut dengan netizen. Di satu sisi,
kemunculan pers-pers (baru) tersebut mendatangkan dampak positif, yaitu publik
mendapatkan informasi yang lebih beragam, baik narasi maupun kontennya. Namun
disisi lain, hal tersebut berpotensi memunculkan pula dampak negatif. Peningkatan kuantitas entitas
pers acap tidak diiringi dengan peningkatan kualitas. Pers sering dituduh
mengabaikan kode etik jurnalistik, bahkan pernah muncul kecaman bahwa pers era
saat ini cenderung mengutamakan click bait dengan mengabaikan unsur etika pers,
yaitu suatu aturan atau kaidah-kaidah yang mengatur suatu media dalam
mempublikasikan suatu sajian program, berita atau informasi.
Penulis pernah mempunyai kawan di
Aceh, yang fotonya diambil dan dipublikasikan dalam sebuah media online lokal Aceh
dengan narasi ”ketidakpedulian masyarakat terhadap protocol kesehatan dan
Covid-19”. Hal tersebut menimbulkan kehebohan karena kawan penulis adalah salah
seorang pejabat di salah satu BUMN, dimana dalam tangkapan foto tersebut yang
bersangkutan sedang duduk di warung kopi tanpa menggunakan masker. Pun demikian
dengan pengunjung yang lain. Setelah ditelisik lebih dalam, ternyata foto
tersebut merupakan foto lama, yang diambil jauh sebelum masa pandemi. Otomatis
hal tersebut memicu perlawanan dari kawan penulis melalui pengajuan somasi
kepada pimpinan redaksi media online tersebut. Padahal hal tersebut bisa saja
dihindari andai sang jurnalistik menyampaikan narasi dan foto yang inline,
kredibel, dan sesuai fakta. Disinilah contoh nyata kode etik pers diabaikan
oleh si jurnalistik, mungkin karena terburu-buru mengejar deadline atau hanya
untuk mengejar “kuota” publikasi. Entahlah.
Namun
kenapa sampai timbul kecaman bahwa pers saat ini cenderung abai terhadap kode
etik mereka sendiri? Padahal kode etik merupakan basis utama profesi
jurnalistik. Merujuk tulisan Alviano
Andrianto (2007), etika pers merupakan suatu aturan atau kaidah-kaidah yang
mengatur suatu media dalam mempublikasikan suatu sajian program, berita atau
informasi. Sumber etika pers berupa kesadaran moral yaitu pengetahuan tentang
baik dan buruk, benar dan salah, tepat dan tidak tepat bagi orang-orang yang
terlibat dalam kegiatan pers. Dari pendapat tersebut, dapat diinterpretasikan
bahwa seorang jurnalistik (pers) harus memilah terlebih dahulu
informasi-informasi yang didapatkan, dan disajikan secara bertanggungjawab agar
berita yang disampaikan dapat benar-benar kredibel dan utuh diterima publik.
Salah satu akar persoalannya yaitu, di zaman kebebasan
pers serta era digitalisasi saat ini, terlalu mudah menerbitkan pers atau menjadi wartawan. Bahkan, Sekretaris Eksekutif Dewan
Pers tahun 2007-2010, Lukas Suwarso pernah mengatakan bahwa menerbitkan pers kini seperti menggelar dagangan kaki lima di
trotoar, dan menjadi ”wartawan” seperti menjadi pengamen di jalanan. Namun
bahkan menjadi pengamen dan berdagang kaki lima relatif lebih sulit ketimbang
menjadi ”wartawan” atau ”menerbitkan pers”; karena menjadi pengamen harus bisa
main gitar dan pedagang kaki lima harus membayar restribusi harian. Sebuah pernyataan yang menohok
tentunya.
Idealnya, wartawan dan pengelola pers perlu memahami etika adalah satu
konvensi, atau kelaziman, yang berlaku dalam tatanan masyarakat yang mengenali
dan memahami etika. Artinya, lazimnya hanya mereka yang paham etika (serta
memiliki ketrampilan dan pengetahuan jurnalisme) yang akan terjun dalam
dunia pers. Situasi menjadi tidak lazim ketika etika sebagai tolok ukur tidak
dihayati atau bisa jadi tidak dikenali. Hal inilah yang mendorong menumpuknya konten-konten
click bait yang belakangan ini merajalela mewarnai media public. Banyak orang menjadi wartawan tanpa memiliki latarbelakang
pengetahuan dan ketrampilan yang cukup tentang jurnalisme. Sejumlah prasyarat
kemampuan dan pengetahuan yang seharusnya melekat pada seseorang ketika ia
menyandang predikat wartawan, kini tidak lagi ada tolok ukurnya.
Selain itu, minimnya pengetahuan masyarakat mengenai
konsep etika turut berkontribusi akan timbulnya hal-hal seperti itu. Mungkin hal tersebut dikarenakan
etika memang bukan perangkat aturan yang
mengikat, sehingga ”aturan main” menjadi wartawan atau menerbitkan pers tidak dipahami secara mendalam oleh public.
Memang perlu waktu untuk membuat masyarakat mengenali
dan menerapkan etika dalam kehidupan sehari-hari. Jika etika secara umum telah
dipahami masyarakat, diharapkan persoalan ”wartawan” dan ”pers baru” yang kurang beretika, lambat laun dapat lenyap sehingga kedepannya jurnalistik seperti yang
diamanatkan oleh UU No.40/1999-lah yang akan beredar dan bekerja untuk memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui, mendapat informasi dan mengembangkan pendapat umum.
Semoga kedepannya pers Indonesia tidak hanya berkembang dari sisi kuantitas, namun juga meningkatkan sisi kualitasnya. Selamat Hari Pers Nasional, 9
Februari 2022.
Penulis: Mahmud Ashari, Kepala Seksi
Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran
Referensi:
Andrianto, Alviano. 2007. Komunikasi Massa. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.
Suwarso, Lukas. 2007. Masyarakat Buta Etika. Publikasi
dalam dewanpers.or.id
Disclaimer |
---|
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja. |