Miris.
Sedih. Galau. Sedikit dari beberapa diksi yang mewakili perasaan publik saat
ini, khususnya ketika melihat kelangkaan beberapa komoditi yang sangat urgent dibutuhkan
pada saat kondisi dunia diliputi pandemi, tak terkecuali Indonesia. Penulis
terhenyak saat membaca sebuah berita yang menghiasi news portal Indonesia,
dimana puluhan pasien di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta meninggal
akibat krisis stok oksigen di rumah sakit rujukan pasien COVID-19
tersebut. Pihak RSUP Dr Sardjito mengungkap total ada 33 pasien yang meninggal
karena kekurangan oksigen.
Jika
melihat data beberapa waktu terakhir ini, lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia
memang kembali meningkat. Hal tersebut mengakibatkan permintaan oksigen naik,
bahkan berdasarkan data dari website liputan6.com dan bigalpha.id,
permintaannya naik sampai 3-4 kali lipat. Dampaknya? Permintaan yang tinggi pun
memicu kelangkaan supply, dan harga oksigen pun dikabarkan terbang
hingga 900 persen. Melansir informasi dari katadata.co.id, pada tanggal 24 Juni
2021 Indonesia memerlukan 207,3 ribu ton setiap harinya untuk penanganan
Covid-19. Kebutuhan itu melonjak menjadi 306,6 ribu ton per tanggal 1 Juli
2021. Terjadi kenaikan sampai 48 persen, sedangkan stock di
pasar belum ditambah.
Dilansir dari beberapa sumber literasi, pasien Covid-19 memerlukan oksigen
untuk menjaga kadar saturasi oksigen. Jadi, ketika sedang sakit, paru-paru
tidak akan berfungsi secara maksimal. Suplai oksigen ke dalam tubuh akan
berkurang, sehingga mengakibatkan sesak napas sehingga tubuh juga akan melemah
dan pucat. Kondisi inilah yang menyebabkan pasien membutuhkan oksigen untuk
membantunya.
Oksigen
dapat diperoleh melalui pembelian pertama bersama tabungnya (tabung oksigen
atau tangki oksigen portable), maupun dengan isi ulang (jika
konsumen sebelumnya telah memiliki tabung atau tangki portable).
Oksigen biasanya digunakan di rumah sakit dan klinik rawat jalan. Umumnya,
dokter akan merekomendasikan pasien untuk menjalani terapi oksigen melalui
tangki oksigen portable terstandardisasi, karena oksigen di
dalam tubuh manusia berfungsi dalam proses oksidasi makanan. Jadi secara medis,
kebutuhan akan oksigen bukan hanya melulu didominasi oleh pasien Covid-19,
namun juga oleh pasien penyakit lain seperti asma, pneuomia, gagal jantung, dan
beberapa penyakit lainnya.
Kondisi
kelangkaan oksigen ini mengingatkan kita pada kondisi tahun lalu, tepatnya saat
awal-awal pandemi, dimana pada waktu itu dunia-tak terkecuali Indonesia-
dihebohkan dengan kelangkaan masker. Padahal masker, menurut World Health
Organization (WHO) dikampanyekan sebagai perlengkapan yang wajib dipakai untuk
menangkal penyebaran wabah. Pada awalnya terdapat kebijakan bahwa masker hanya
wajib dipakai oleh orang-orang yang sakit. Namun belakangan, masker dianjurkan
untuk seluruh manusia. Akibatnya, masker menjadi salah satu komoditi yang
paling diburu (prime comodity). Dalam waktu singkat, permintaan masker
melonjak. Namun disisi lain, ketersediaannya langka di pasar. Seandainyapun
ada, harganya mengalami lonjakan yang luar biasa.
Masyarakat
pun berbondong-bondong melakukan panic buying, memburu komoditi
masker secara berlebihan, antara takut kehabisan stock maupun
khawatir akan penyebaran virus Corona yang semakin meluas. Berbagai toko ritel
dan apotek diserbu oleh konsumen, mulai dari perburuan masker, sampai dengan
produk medis lain semisal hand sanitizer, obat-obatan, sampai
multivitamin. Bahkan panic buying melebar hingga perburuan
makanan kaleng, mie instan, minuman kemasan, dan diapers.
Fenomena panic
buying waktu itu membuat stok barang berkurang drastis, bahkan ada
yang “ludes”, terutama masker yang dianggap sebagai alat yang efektif mencegah
penularan virus Corona. Kondisi ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum, antara
lain dengan cara menimbun komoditi medis, terutama masker yang menjadi prime
commodity saat itu. Penimbunan tersebut dilakukan tidak lain untuk
memainkan stok dan harga, dengan tujuan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Akibatnya, terjadi kenaikan dan kelangkaan yang luar biasa pada stock masker
saat itu. Salah satu kondisi di pertengahan Februari 2020, di Pasar
Pramuka-Jakarta Timur, yang terkenal sebagai pasar penyedia peralatan medis,
harga masker N95 saat itu menyentuh Rp1,6 juta per boks yang berisi 20 buah.
Padahal, harga normalnya hanya berkisar Rp 195.000 per boks. Selain itu, harga
masker berjenis biasa pun juga tidak kalah melonjak. Harga masker jenis biasa
mencapai Rp170.000 hingga Rp350.000 per boksnya yang berisi 50 buah. Padahal
harga normalnya hanya sekitar Rp15.000 hingga Rp25.000 per boks.
Isu
masker itu pun menjadi perhatian pemerintah, lembaga non pemerintah, polisi,
dan masyarakat. Polisi misalnya melakukan sidak penjualan masker ke pasar-pasar
untuk merespon kelangkaan masker akibat mewabahnya Covid-19. Kementerian
Perindustrian melakukan kebijakan relaksasi perizinan produksi masker untuk
menggenjot produksi masker. Hasilnya, per bulan Mei 2020, produksi masker
meningkat dari kondisi biasa hanya 26 produsen menjadi 83 produsen. Bahkan,
selama periode Juli-Desember 2020, angka produksi masker medis dalam negeri
mencapai sekitar 3,1 miliar lembar, dengan rincian 350,5 juta lembar per bulan.
Sementara, kebutuhan dalam negeri selama periode tersebut hanyalah 129,8 juta
lembar. Artinya, ada kelebihan stok hingga 2,97 miliar lembar. Stock
masker pun melimpah di pasaran, permasalahan masker pun teratasi.
Saat ini, fenomena kelangkaan komoditi kembali terjadi, yaitu pada jenis
oksigen. Apakah hal tersebut dikarenakan panic buying semata,
ataukah memang ada pihak-pihak yang memanfaatkan celah mekanisme pasar, bahwa
semakin besar permintaan atas suatu produk, maka saatnya menimbun produk itu
besar-besaran agar komoditi dimaksud semakin langka sehingga harga dapat
dinaikkan sedemikian rupa? Ataukah memang kombinasi diantara keduanya?
Dilihat
dari aspek hukum, tindakan penimbunan dapat dijerat pasal 107 Undang-Undang
(UU) No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Dalam pasal 107 UU No. 7 Tahun 2014
dijelaskan bahwa para pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok atau
barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu saat terjadi kelangkaan barang,
bisa dipidana paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp
50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah). Namun, ancaman ini sepertinya tidak
menyurutkan para oknum. Hal ini sedikit banyak membuktikan bahwa manusia mulai mengalami
krisis moral khususnya empati terhadap sesama. Ada beberapa pihak yang
disinyalir memang memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk keuntungan,
sebagaimana pernyataan Kepala Kanwil III Komisi Pengawas Persaingan Usaha bahwa
terdapat perilaku toko yang memanfaatkan kesempatan tingginya permintaan untuk
menaikan harga oksigen portable. Hmmm, sungguh perilaku tidak
terpuji dan tanpa empati.
Padahal
empati, menurut Spreng, McKinnon & Levine (2009: 62), adalah salah satu
aspek kognisi sosial yang memainkan peran penting ketika seseorang merespons
emosi orang lain untuk membangun hubungan yang baik. Empati adalah dasar dari
segala jenis interaksi, berwujud penempatan diri pada kondisi orang lain secara
penuh. Dengan kata lain, empati adalah paham dan memahami perasaan orang lain.
Jika
tidak ada empati, maka tidak akan terjadi tolong menolong dan hanya akan
menciptakan indivualisme pada setiap individu. Empati menjadi penting karena
mampu menciptakan kepercayaan dan kenyamanan di planet biru ini. Maka dari itu,
empati sangatlah diperlukan dalam membangun kemanusiaan. Bahkan, bisa dikatakan
empati adalah substansi dari kemanusiaan itu sendiri.
Perilaku
menimbun dan menaikkan harga masker dan (kemungkinan juga) oksigen, atau entah
apa lagi komoditi yang akan ditimbun dan dinaikkan harganya di masa mendatang
oleh oknum-oknum tertentu, sudah pasti menimbulkan keresahan publik. Selain
dibutuhkan upaya pemerintah dalam memberangus perbuatan tidak terpuji tersebut,
kita sebagai masyarakat juga selayaknya melakukan hal-hal empati lainnya
semisal membeli barang sesuai kebutuhan. Tidak melakukan aksi panic buying
secara membabi buta.
Mulailah
membangun empati, tanamkan prinsip: bahwa jikapun pada saat ini tersedia
komoditi tertentu yang menjadi prime comodity, namun perlu disadari
bahwa tidak semua masyarakat mampu membelinya-hari ini. Sehingga, jika kita
memborongnya hari ini, yang mengakibatkan stock menjadi
kosong, saat besok masyarakat lain sudah mempunyai kemampuan untuk membeli
produk tersebut, tentunya mereka tidak akan mendapatkan komoditi itu. Oleh
sebab itu, marilah kita berempati, menempatkan diri jika kita di posisi mereka.
Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang hidup berdampingan,
makhluk yang tidak dapat hidup sendiri. Semoga menjadi perenungan kita bersama.
Penulis:
Mahmud Ashari, Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran
Referensi:
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
Spreng, R Nathan, McKinnon, Margharet, & Levine, Brian. 2009. The Toronto Empathy Questionnaire: Scale Development and Initial Validation of a Factor-Analytic Solution to Multiple Empathy Measures. Journal of Personality Assessment 91(1): 62-71.