Kurang
lebih satu bulan yang lalu, di platform twitter terjadi adu pendapat (twitwar)
mengenai salah satu statement pengguna medsos yang menjustifikasi bahwa
perempuan bisa menyerah dengan hidupnya dan memilih menjadi “full-time mother”.
Ungkapan tersebut seolah membangunkan jiwa-jiwa yang selama ini memuliakan kaum
perempuan, termasuk penulis tentunya, untuk sekedar mengomentari sampai dengan
mendebat statement tersebut. Penulis sendiri menyayangkan statement yang “merendahkan”
peran perempuan sebagai ibu rumah tangga. Sangat tidak elok statement tersebut
terlontar, atau terketik dari jari jemari makhluk yang dahulu kala terlahir
dari rahim kaum perempuan.
Peran
sebagai ibu rumah tangga bagi perempuan memerlukan pengorbanan yang luar biasa
besar. Perempuan harus merelakan banyak hal, terutama demi mengurus anak.
Betapa dipusingkannya perempuan dengan jadwal 1x24 jam, 7 hari seminggu, setahun penuh tanpa
waktu libur untuk mengurus keluarga. Dan yang membuat kagum adalah, tidak ada
seorang perempuanpun dalam sejarah menyerah dengan kondisi tersebut, tidak ada
dalam sejarah seorang perempuan resign menjadi seorang ibu. Bahkan, salah satu ibu
dosen penulis sewaktu di kampus pernah berkelakar, jika kaum bapak saat diberikan
surat sakit dari dokter yang “hanya” tiga hari akan memperpanjang durasinya menjadi
empat atau lima hari untuk rehat sejenak dari pekerjaan kantor, kaum ibu justru
akan memangkas waktu tiga hari itu menjadi dua atau bahkan satu hari agar
segera dapat beraktivitas kembali mengurus rumah tangganya. Luar biasa.
Sejatinya,
menjadi seorang ibu rumah tangga tidak lantas hanya berdiam diri saja di dalam
rumah. Bahkan menjadi seorang ibu rumah tangga membutuhkan bekal ilmu yang
cukup, yang terkadang didapatnya tidak melulu melalui buku, majalah, google,
atau youtube, namun justru melalui pengalaman yang dijalaninya alias otodidak. Dan
kembali lagi, mereka tidak pernah menyerah pada kehidupan. Mereka terus
mempertahankan perannya sebagai seorang ibu.
Ibu
rumah tangga adalah “profesi” multi peran. Pagi-pagi buta seorang perempuan
sudah diharuskan berperan sebagai housekeeping. Dilanjutkan menjadi koki,
menyiapkan sarapan atau bekal untuk anak maupun suaminya. Setelah itu, beberapa perempuan akan berperan sebagai driver untuk mengantar anaknya
sekolah. Atau bagi beberapa perempuan yang meniti karier, disaat suami dan
anaknya sekolah, dia pun beranjak mencari nafkah di bidang kariernya. Malamnya
perempuan akan berperan menjadi seorang guru bagi anak-anaknya. Selepas itu,
perannya akan berubah menjadi perawat disaat salah satu anggota keluarganya
sedang sakit. Dan masih banyak lagi peran-peran yang dimainkan perempuan di
kehidupan sehari-hari.
Oleh
karena itu, tidak berlebihan jika penulis menyebut bahwa peran perempuan
sebagai ibu rumah tangga adalah profesi yang paling berisiko. Berisiko disini
adalah dalam perspektif positif. Perempuan berperan mengurus dan mendidik anak.
Terdapat risiko besar yang dipanggul oleh kaum perempuan, bagaimana jika mereka
keliru dalam proses mengurus anak, mendidik anak, dan membesarkan anak? Percayalah, kekeliruan pada pekerjaan yang lain
masih memungkinkan untuk diperbaiki, tetapi tidak dengan
seorang ibu yang “bertugas” mengasuh, mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Sebagai
perenungan, mari kita kembali melihat ibu-ibu kita. Perempuan-perempuan perkasa
yang selama ini tidak pernah menyerah akan kehidupan. Para supermom yang
selalu utuh ada dan hadir untuk anak-anaknya.
Selamat
Hari Kartini. Kalian, ibu-ibu kami, baik perempuan yang berkarier, maupun
tidak, baik perempuan yang seharian mengurus keluarga, maupun perempuan yang
membagi waktunya untuk menopang pencarian nafkah keluarga. Kalian adalah kartini-kartini
kami yang luar biasa. Kalianlah sang pemenang dan tetap selalu mulia. Dan kami akan
selalu bangga memanggil kalian dengan sebutan “ibu”.
(Penulis:
Mahmud Ashari, Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran)