Beberapa tahun terakhir, coba kita perhatikan, di setiap kontrak kinerja pimpinan
sampai dengan staf yang mendapatkan mandat cascading, selalu terdapat salah
satu indikator kinerja utama bertajuk indeks kepuasan pengguna layanan (IKPL). Walaupun
jika kita buka sisi historis, mungkin identitas IKU tersebut beberapa kali
mengalami perubahan diksi, namun substansinya tidak berubah. Empat kata yang
membentuk IKU tersebut jika diperhatikan lebih dalam, sangat menarik untuk
dikupas.
Yang pertama yaitu indeks. Dalam bidang statistik, indeks merupakan metode
pengukuran atas kinerja sekelompok data. Indeks tidak mengukur kinerja data
individual, namun mengukur suatu set data composite. Yang kedua yaitu
kepuasan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diksi kepuasan berasal dari
kata puas yang berarti merasa senang karena sudah terpenuhi hasrat hatinya.
Yang ketiga yaitu pengguna,
yang berarti orang yang menggunakan sesuatu. Dan yang keempat yaitu layanan.
Menurut Purwadarminta (1984), layanan mengandung arti menyediakan segala apa
yang dibutuhkan orang lain.
Keempat kata tersebut membentuk kalimat yang kurang lebih berarti suatu ukuran
dalam angka numerik yang menunjukkan kadar kepuasan dari orang yang menggunakan
produk yang disediakan oleh orang lain. Dari sisi kuantitatif, deskripsi tersebut
akan diterjemahkan melalui deretan angka-angka numerik. Namun jika dilihat
dengan kasat mata, penulis menganalogikan, deretan angka-angka numerik itu
dapat dilukiskan dengan suatu hal yang manusiawi yang melekat pada feedback
spontan dari orang yang telah menerima jasa dari orang lain, yaitu senyuman
yang tersungging dari wajah para pengguna jasa/layanan. Yaa betul, senyuman.
Gesture yang hampir setiap hari dapat kita jumpai atau malah kita praktikkan
sendiri saat menemukan sesuatu hal yang menyenangkan hati kita. Sangat lumrah dan manusiawi jika kita
mendapatkan yang diinginkan, yang muncul pertama kali adalah senyuman. Mungkin dibarengi
dengan ucapan kata-kata Alhamdulillah, puji Tuhan, syukurlah dan lain
sebagainya. Namun raut senyuman tidak akan terlepas dari narasi-narasi ucapan
syukur yang terlontar dari bibir kita, maupun pengguna jasa.
Nyaris semua orang akan berperan ganda, di satu sisi akan berperan sebagai
penyedia layanan, di sisi lain akan berperan sebagai pengguna layanan. Seorang
guru misalnya, di sekolah akan berperan sebagai penyedia jasa. Jasa pendidikan,
menciptakan manusia-manusia agar lebih beradab dan terdidik. Namun disisi lain, pahlawan
tanpa tanda jasa itu akan membutuhkan jasa orang lain, alias menjadi pengguna
layanan. Misalnya saat mereka ingin melakukan transfer melalui teller perbankan,
setelah mengantre, dilayani teller, dan bukti transfer telah berpindah ke
tangan, raut senyuman akan membayar semua tahapan prosedural yang telah mereka lalui.
Atau saat mereka melakukan pengurusan surat izin mengemudi. Setelah melalui
tahapan-tahapan administrasi dan praktek, dan selanjutnya benda mungil bernama SIM
sudah berpindah tangan dari petugas ke dalam dompet mereka, penulis yakin pada
saat mereka keluar dari gedung otoritas penerbit SIM, senyum sumringah dan
wajah cerah akan tersuar dari gesture mereka. Hal tersebut memang manusiawi.
Dan dari senyuman-senyuman tersebut, niscaya secara tidak langsung citra atau
branding institusi yang telah disambangi akan secara suka rela mereka ceritakan
ke kawan nongkrong, tetangga sebelah rumah, klub arisan, bahkan sampai ke
status di media sosial. Tanpa disadari, mereka akan menjadi “buzzer” yang
menyebarkan iklan tak berbayar tentang intitusi tersebut ke lingkungan masing-masing.
Pun demikian dengan jajaran KPKNL sebagai ujung tombak penyedia jasa
layanan DJKN. Sebagai produsen, semangat dan mental “smiling creator” tersebut
harus ditanamkan ke dalam jiwa-jiwa garda terdepan penyedia layanan. Jika
secara kuantitatif, senyum-senyum pelanggan diukur dalam numerik indeks
kepuasan pengguna layanan yang akan dibukukan pada akhir kuartal IV, maka
secara kualitatif senyum-senyum pelanggan akan terekam dalam ingatan, tertancap
dalam sanubari, dan tersajikan pada saat itu juga tanpa menunggu penghitungan
di akhir tahun sehingga menjadikan kepuasan dan motivasi tersendiri dalam
melayani dan terus melayani. Dan dari senyuman pengguna jasa, kita langsung
bisa mengukur diri, seberapa baikkah layanan yang telah kita berikan barusan?
Penulis: Mahmud Ashari (Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran)
Referensi:
Poerwadarminta.1984.Kamus Umum Bahasa Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka.