Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Kisaran > Artikel
Menanti Redenominasi
Mahmud Ashari
Selasa, 28 Juli 2020   |   112359 kali

Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) kembali menggulirkan rencana redenominasi alias penyederhanaan uang rupiah (redenominasi rupiah 2020). Menteri Keuangan, Sri Mulyani telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 yang salah satunya menjelaskan tentang Rancangan Undang-undang tentang Redenominasi Rupiah. Nantinya, penyederhanaan rupiah dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol di belakang, contohnya Rp 1.000 menjadi Rp 1.

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa.

Dari definisi versi KBBI tersebut, dapat disimpulkan bahwa redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan (nilai) uang, sebagaimana yang pernah terjadi di Indonesia pada pengujung 1950-an, tepatnya pada 25 Agustus 1959. Saat itu, uang pecahan 500 dan 1.000 rupiah diturunkan nilainya menjadi 50 rupiah dan 100 rupiah. Dengan kata lain, nilai uang dipangkas hingga 90 persen.. 

Kebijakan sanering pada waktu itu, yang oleh pemerintah disebut dengan istilah “penyehatan uang”, ditempuh untuk mencegah inflasi semakin tinggi, mengendalikan harga, meningkatkan nilai mata uang, dan memungut keuntungan tersembunyi dari perdagangan. Sanering dilakukan juga untuk mengurangi jumlah persediaan dan peredaran uang, dari 34 miliar rupiah menjadi 21 miliar rupiah. (Hariyono, Penerapan Status Bahaya di Indonesia: Sejak Pemerintah Kolonial Belanda hingga Pemerintah Orde Baru, 2008: 271),

Oleh karena itu, berbeda dengan sanering, redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang, sehingga tidak mempengaruhi harga barang. Redenominasi hanyalah menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam bertransaksi. Jadi sanering itu bukan redenominasi. Logikanya, dengan adanya sanering daya beli masyarakat menurun karena nilai uang yang dimiliki berkurang, sementara harga barang tetap normal. Contoh sanering semisal uang Rp10.000, kemudian diturunkan nilainya menjadi Rp10. Jika sebelumnya harga sepotong roti itu Rp10.000 per bungkus, setelah dilakukan sanering maka harga roti tersebut tetap sama, tapi kita mesti merogoh kocek berlipat ganda untuk bisa membeli roti tersebut. Otomatis, daya beli berpotensi menurun drastis saat terjadi sanering.

Sedangkan redenominasi, secara teknis, uang yang sudah diredenominasi, jumlah angkanya akan mengecil tapi nilainya tetap sama. Contoh redenominasi adalah uang Rp10.000, setelah dilakukan redenominasi, maka tiga angka di belakang akan hilang, penulisannya berubah Rp10 saja dan nilai uang masih sama dengan sepuluh ribu rupiah. Jika kita biasanya membeli susu seharga Rp10.000 per kaleng, setelah redenominasi rupiah, maka harga roti tersebut berubah Rp10 per kaleng.

Jika melihat fenomena di masyarakat, pada saat ini tanpa disadari sebenarnya masyarakat secara tidak langsung telah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal. Jika kita berjalan-jalan di mall, restoran, café, atau bioskop, terpampang daftar harga/tarif dengan embel-embel “K” dibelakang digitnya. Contohnya untuk menu nasi soto ayam seharga Rp30.000 per porsi hanya dicantumkan 30 K saja. ‘K’ di sini memiliki arti umum kelipatan seribu. Atau harga kudapan di bioskop, sekantong popcorn seharga Rp 42.000 hanya dicantumkan 42 K saja. Bahkan di pasar-pasar tradisional kalau kita perhatikan, transaksi antara pedagang dan pembeli juga sudah mulai sederhana dalam penyebutan nominal rupiah saat tawar-menawar. Misalnya, pedagang buah menawarkan sekilo jeruk dengan harga Rp30.000, dan pembeli menawarnya hanya menyebut 20 saja yang artinya Rp20.000 per kilogram.

Dari fenomena tersebut, tanpa disadari, sebetulnya masyarakat secara tidak langsung sudah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal. Artinya selama ini tidak ada ketentuan resmi dari otoritas moneter Bank Indonesia, namun masyarakat sudah biasa melakukannya dalam transaksi dan pencatatan rupiah sehari-hari. 


Tujuan Redenominasi

Tujuan utama redenominasi adalah menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam transaksi serta efektif dalam pencatatan pembukuan keuangan. Menurut Permana dalam riset berjudul Prospects of Redenomination Implementation in Indonesia, (Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 2015:115), pecahan mata uang rupiah saat ini merupakan pecahan mata uang terbesar ketiga di dunia setelah Zimbabwe dan Vietnam. Untuk kawasan Asia Tenggara, pecahan Rp100.000 saat ini merupakan pecahan uang terbesar kedua setelah Dong Vietnam dengan denominasi 500.000. Pecahan uang rupiah yang cukup besar ini beberapa waktu belakangan ini mulai menimbulkan permasalahan-permasalahan bagi masyarakat, khususnya dalam melakukan transaksi keuangan. Melalui redenominasi, proses penghitungan menjadi lebih mudah, sebab tiga angka nol yang menyertai di belakang satuan uang tidak digunakan. Dalam hitungan perbankan, penyederhanaan digit mata uang yang dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol pada rupiah akan menghemat biaya teknologi yang digunakan. Selain itu, bentuk penyederhanaan digit juga mempermudah untuk membaca laporan keuangan dalam praktik akuntansi.

Tujuan lainnya, agar perekonomian Indonesia bisa setara dengan negara-negara lain terutama di tingkat regional. Mata uang rupiah terasa lebih bernilai seperti mata uang negara lain. Misalnya, sebelum redenominasi US$1 saat ini adalah Rp15.300, setelah redenominasi maka US$1 menjadi Rp15,3. Di mata internasional, hal ini jelas lebih ringkas, mudah dipahami dan mencerminkan kesetaraan kredibilitas dengan negara maju lainnya di kawasan.


Siapkah Kita?

Salah satu syarat yang diperlukan dalam rangka mempertimbangkan dilaksanakannya program redenominasi adalah kondisi perekonomian negara yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang kuat. Agar pelaksanaan redenominasi tidak memberikan dampak yang negatif bagi perekonomian Indonesia, maka perlu dilakukan pengamatan terhadap stabilitas fundamental ekonomi. Kesiapan suatu negara dalam melaksanakan redenominasi akan tercermin pada indikator makroekonominya.

Selanjutnya yaitu perlunya pemerintah mengintensifkan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak terjadi kebingungan dalam bertransaksi. Sosialisasi redenominasi rupiah ini penting dilakukan sejak dini. Terlebih, proses pelaksanaan redenominasi, menurut BI membutuhkan waktu lebih dari tujuh tahun sebelum aktif sepenuhnya. Berkaca dari beberapa negara yang sukses melakukan redenominasi yaitu Turki (kebijakan denominasi mata uang Lira selama 10 tahun) dan Rumania (kebijakan denominasi mata uang Lira selama hamper 2 tahun), diperlukan sosialisasi sejak dini dan terus menerus kepada masyarakat agar masyarakat memahami bahwa kebijakan redenominasi merupakan pengurangan nominal mata uang - bukan pemotongan nilai mata uang. Hal tersebut niscaya akan membuat tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah tetap terjaga.

Sebenarnya sudah siapkah kita dengan redenominasi rupiah? Sebagai masyarakat yang cerdas, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memahami redenominasi rupiah agar tidak salah paham dan takut uang kita nilainya akan berkurang. Pastinya, redenominasi hanyalah penyederhanaan digit angka rupiah, tidak lebih. Nah, kini, melalui PMK Nomor 77/PMK.01/2020, rencana redenominasi diharapkan benar-benar bisa dibahas dan terealisasi. Masyarakat sudah menunggu, tarif parkir yang dulunya 2.000 rupiah menjadi 2 rupiah saja. Kelak, di masa depan, akan ada satu masa dimana diksi “aku tidak menerima uang serupiah pun” akan menjadi lebih tidak relevan.

 

Penulis: Mahmud Ashari, Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran.

Foto utama: @farizteem

  

Daftar Pustaka:

Hariyono. 2008. Penerapan Status Bahaya di Indonesia: Sejak Pemerintah Kolonial Belanda hingga Pemerintah Orde Baru. Jakarta: Pensil-324.

Permana, Sony Hendra. 2015. Prospects of Redenomination Implementation in Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik. Vol. 6 No. 1, Juni 2015 109 – 122. Jakarta: DPR RI.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini