Kita tentu familiar
dengan kata hutang, debitur dan kreditur, yang sering dikaitkan dengan
penyediaan dana kepada peminjam (debitur) untuk kemudian dikembalikan kepada
yang memberi pinjaman (kreditur) dalam jangka waktu tertentu. Dari sisi kreditur, uang yang dipinjamkan ini
disebut piutang. Tak jarang kita mendengar ataupun membaca kisah sukses kreditur
mengelola piutangnya sehingga debitur melunasi hutangnya atau bahkan kisah
gagal para kreditur melakukan penagihan atas piutangnya sehingga menjadi
piutang tak tertagih akibat ketidakmampuan atau ketidakmauan debitur untuk
melunasi hutangnya. Hutang memberikan dampak kepada dua pihak yaitu peminjam (debitur)
dan pemberi pinjaman (kreditur) yang diharapkan pada akhirnya kedua pihak ini bertemu dengan
kata ‘LUNAS’. Tentu tak mudah bertemu pada titik yang diinginkan ini. Sering
kita menjumpai di masyarakat pihak ketiga yang dikenal dengan istlah debt collector yang ditugaskan oleh
kreditur untuk memperoleh sumber arus kas mereka sebagai upaya pemulihan hutang
(debt recovery). Mengutip dari kamus Cambridge, “debt recovery is the process of making people or companies pay the
money that they owe to other people or companies, when they have not paid back
the debt at the time that was arranged” yang berarti proses membuat orang
atau perusahaan membayar dengan uang yang mereka miliki kepada orang atau
perusahaan lain dimana mereka belum membayar kembali hutang pada jangka waktu yang
telah ditentukan.
Permasalahan yang sering dijumpai sepanjang upaya debt recovery ini, antara lain debitur
yang tidak memiliki itikad baik untuk melunasi hutangnya, tidak mampu membayar,
tidak diketahui keberadaannya, hutang tidak disertai adanya jaminan, kalaupun
ada, barang jaminan tidak marketable,
dan permasalahan hukum yang melingkupinya sebagai aksi debitur yang keberatan
dengan upaya penagihan dari keditur. Dengan
adanya permasalahan tersebut, debt
recovery bukanlah proses yang mudah sehingga perlu adanya strategi yang
tepat, serta tindakan yang efektif dan efisien.
Dalam lingkup kekayaan negara, debt recovery atas Piutang Negara
memiliki dasar peraturan yaitu Undang-undang No, 49 Prp. Tahun 1960 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara, Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.06/2020
tentang Pengelolaan Piutang Negara Pada Kementerian/Lembaga, Bendahara Umum
Negara Dan Pengurusan Sederhana oleh Panitia Urusan Piutang Negara, Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.06/2022 tentang Penyelesaian Piutang Instansi
Pemerintah yang diurus/dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara dengan Mekanisme Crash
Program Tahun Anggaran 2022 serta ketentuan peraturan perundang-undangan
terkait lainnya.
Undang-undang No. 49 Prp. Tahun 1960 memberikan
payung hukum kepada Panitia Urusan Piutang Negara, selaku lembaga interdepartemental
yang terdiri dari unsur Kementerian Keuangan, Kepolisian Republik Indonesia,
Kejaksaan Negeri Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah, untuk menerbitkan sejumlah
produk hukum yang bertujuan “memaksa” para debitur untuk melunasi hutangnya
kepada negara. Produk-produk hukum tersebut diantaranya meliputi Surat
Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N), Pernyataan Bersama (PB), Penetapan
Jumlah Piutang Negara (PJPN), Surat Paksa (SP), Surat Perintah Penyitaan (SPP),
Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS), Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas (SPPNL), dan Pernyataan Piutang
Negara Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT).
Dalam lapangan operasional, baik proses administrasi
maupun tindak lanjut atas produk-produk hukum tersebut dilaksanakan oleh
Kementerian Keuangan cq. Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara cq. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL),
dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.06/2016 dan
peraturan terkait lainnya yang memberikan panduan dalam melaksanakan upaya debt recovery yang optimal melalui
pengurusan Piutang Negara secara
efektif dan efisien.
Dalam proses pengembalian uang negara melalui pengurusan
Piutang Negara, langkah KPKNL tidak boleh terhenti meskipun masa pandemi
COVID-19 belum berakhir dan dampaknya terhadap ekonomi masyarakat masih
dirasakan bahkan bagi sebagian debitur. KPKNL sebagai instansi vertikal DJKN
memiliki wewenang untuk menyelesaikan piutang instansi pemerintah dengan melakukan
beberapa upaya yang mempertimbangkan ketersediaan anggaran, sumber daya
manusia, dan potential debtor sehingga pengurusan Piutang Negara menjadi lebih
efektif dan efisien. Prakteknya beberapa tindakan nyata KPKNL
antara lain melakukan penyampaian Surat Paksa yang berisikan kewajiban debitur
untuk melunasi hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 jam, tentunya tanpa
meninggalkan sikap ‘melek’ terhadap kultur setempat, secara persuasif melakukan
penagihan langsung, memanfaatkan teknologi untuk membuat jalur komunikasi
kepada debitur, rutin mengingatkan debitur mengangsur atau melunasi dengan
informasi saldo hutang yang terbaru, dan memanfaatkan fitur pada aplikasi FOCUS
PN untuk melakukan Debtor tracing slip
serta menawarkan program keringanan hutang kepada debitur yang memenuhi syarat
untuk melunasi hutangnya.
Dengan demikian, debt recovery sebagai bentuk penyelamatan uang negara dan ‘penyelamatan’ debitur dari jerat hutang perlahan namun pasti akan memperbesar jumlah pelunasan sebagai ending dalam penyelesaian Piutang Negara, alih-alih menerbitkan Pernyataan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT) yang bermuara pada penghapusan Piutang Negara dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Referensi:
UU No. 49 Prp 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara
UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
PMK No. 240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara
Penulis: Desti
Marlindang