Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Dumai > Artikel
Ketika Ibu Harus Pergi
Machmud Yunus
Jum'at, 21 Juli 2017   |   5056 kali

Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kalimat tersebut merupakan penggalan dari syair Arab yang sangat terkenal. Madrasah atau sekolah, demikian peran ibu bagi anaknya. Madrasah atau sekolah dapat diartikan sebagai tempat belajar. Bagaimana ibu menjadi sekolah pertama bagi anaknya?

 

Peran ini akan dilakukan ibu sejak ia mengandung calon anaknya.  Kemampuannya untuk memilih makanan yang dikonsumsi selama hamil akan mempengaruhi janin yang dikandungnya sampai dengan kekuatannya mengelola seluruh badai emosi saat kehamilan hingga melahirkan merupakan pelajaran awal yang secara tidak langsung diterima oleh  anaknya.

 

Saat anaknya hadir ke muka bumi, bagaimana ibu memberi rasa aman, baik secara fisik dan emosi. Memberi asupan asi, membelai dan mendekap ketika bayi, serta melakukan interaksi sentuhan yang akan menguatkan ikatan ibu dan anak.

 

Saat anak mulai belajar mengeksplorasi sekitar, memberi dukungan dan kepercayaan bahwa anak mampu telungkup, berangkak dan berjalan, serta melewati seluruh fase perkembangan fisik dengan penuh keyakinan.

 

Saat anak mulai mengenal kata, dan mengajarkan atau meluruskan kata pertama yang berhasil diucapkannya. Menguatkan bahasa ibu akan memudahkan anak dalam menjalin komunikasi dan keberanian dalam berbicara.

 

Saat anak dalam masa pubertas, mengalami perubahan fisik, mengenali jenis kelamin, menghadapi menstruasi ataupun galau karena lawan jenis, hadirnya ibu akan menenangkan gejolak jiwa.

Saat anak mulai menempuh pendidikan, apakah di PAUD atau TK, atau hari pertama masuk SD,  SLTP, SLTA bahkan mungkin Perguruan Tinggi

 

Lalu bagaimana anak belajar jika madrasahnya pergi? Jika ibunya Pergi. Keadaan ini senyatanya banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Ibu yang pergi disini diartikan sebagai ibu yang melaksanakan tanggung jawabnya tidak saja sebagai ibu, namun juga sebagai wanita bekerja. Wanita bekerja saat ini bukan lagi sesuatu yang wah dan menakjubkan.  Pada kondisi ini hal utama yang harus ditumbuhkan dan diperkuat adalah komitmen dalam rumah tangga.  Jika di awal kita dikenalkan dengan istilah ibu adalah sekolah bagi anaknya, maka dalam komitmen rumah tangga ayah adalah kepala sekolahnya. Memiliki visi dan misi yang jelas dalam pengasuhan dan pendidikan anak merupakan tanggung jawab setiap pasangan.

 

Pada proses pengasuhan, baik fisik, emosi dan sosial orang tua diharapkan hadir dan bersama anak saat mereka melewati fase tersebut. Pengasuhan fisik bertujuan untuk mengajarkan anak bertahan hidup,  memperkenalkan anak pada konsep memenuhi kebutuhan fisik, membiasakan kebersihan, keteraturan istirahat dan “toilet training.”

 

Pengasuhan ini akan terjadi pada periode awal pertumbuhan, usia 1 s.d. 5 tahun. Pada prosesnya, kehadiran ibu menjadi hal yang utama. Lalu bagaimana anak memperlajarinya jika pada masa ini ada kewajiban yang harus dilaksanakana ibu yang membuat pendampingan tidak dilaksanakan 24 jam oleh ibu? Kembali pada komitmen tentunya. Peran ini bisa digantikan oleh ayah di saat-saat ibu tidak bisa melaksanakannya, atau digantikan oleh mereka-mereka yang terlatih dengan konsep pengasuhan tersebut, sehingga anak tetap mampu melewati proses yang harus dijalaninya. Jika pilihannya dilakukan oleh mereka-mereka yang berada di luar garis darah, maka ada PR tambahan bagi Ibu untuk memperkuat bonding dengan anak.

 

Pengasuhan emosi yang mencakup pendampingan ketika anak mengalami kejadian-kejadian yang mendorong lahirnya reaksi emosi, harus dilakukan sepanjang masa. Anak tetaplah anak bagi setiap orang tua. Kegelisahan, kegalauan, ketidaknyamanan yang akhirnya membutuhkan pelepasan menuntut kehadiran, utamanya Ibu. Sebab ibulah yang memiliki ikatan emosi yang kuat dengan anak.  Pengasuhan Emosi yang baik akan melahirkan anak yang memiliki rasa percaya diri, merasa dihargai dan dicintai, memiliki emosi yang stabil, dan mampu menjalin interaksi dengan lingkungannya.

 

Pengasuhan Sosial bertujuan agar anak merasa nyaman dengan lingkungan sosialnya. Pengasuhan ini menjadi sangat penting karena pengasuhan sosial yang diberikan dengan baik, akan mengajarkan anak untuk memahami tanggung jawab sosial yang diembannya. Proses ini dapat dilakukan orang tua dengan memberikan contoh peran yang dilakukan ayah dan ibu, kakak dan adik, pun kakek dan nenek.

 

Dari  tiga jenis kegiatan pengasuhan, apabila komitmen telah terbentuk antara suami dan istri, saat keputusan dilematis harus diambil –istri keluar rumah- maka hal yang harus dilakukan adalah meminimalisir terkendalanya proses. Meski tidak bersama ibu anak akan tetap mendapatkan rasa aman dan nyaman ketika bersama ayah. Meski tidak bersama ibu, anak akan tetap memperoleh makan yang teratur ketika bersama ayah, atau anak akan tetap memahami tugas dan tanggung jawabnya, meski tidak diingatkan oleh ibu.

 

Pengasuhan dalam 5 tahun pertama kehidupan tetap diharapkan melibatkan kedua orang tua dan didominasi oleh ibu, sehingga menjadi penting bagi suami istri menerapkan strategi agar proses ini dapat berjalan baik. Bagaimana Ibu yang bekerja menguatkan ikatan  dengan anak disaat waktu-waktu yang seharusnya bersama anak tersita oleh pekerjaan.

 

· Diawal kelahiran, ibu benar-benar harus mengoptimalkan waktu cuti melahirkan sepenuhnya untuk anak. Menyusui bayi dan mempertahankan asupan asi ekslusif sampai dengan memandikan, memijat dan melakukan kegiatan-kegiatan dengan sentuhan fisik maksimal.

· Menyambut masa bicara dengan aktif berinteraksi menggunakan satu bahasa. Jika ibu dan ayah memiliki bahasa ibu yang sama ini akan memudahkan, namun jika ibu dan ayah memiliki dua bahasa ibu, sebaiknya disepakati anak akan dikenalkan dengan bahasa yang mana, sehingga proses berbicaranya tidak ambigu.

· Mempersiapkan mental anak saat akan memasuki lingkungan yang berbeda.

· Ibu sebaiknya mengkomunikasikan hal-hal baru yang akan dialami anak saat mereka akan memasuki lingkungan baru, baik lingkungan formal maupun non formal.

· Mengenalkan anak akan konsep dan norma yang berlaku tidak saja melalui dongeng dan percakapan, namun juga dari sikap dan perilaku yang ditampilkan

· Menyambut masa pubertas dengan membuka komunikasi tentang sex dan jenis kelamin. Terbuka dengan konsep pergaulan yang diceritakan anak. Mengarahkan dan melakukan pendekatan dari sisi keagamaan dengan tulus.

· Menciptakan pola komunikasi yang terbuka, dan tidak menjadi ibu superior, namun ibu yang demokratis dan asyik diajak berdiskusi. Hal ini dapat dilakukan ibu dengan melepas konsep ibu yang tahu segalanya dan harus dipatuhi, menjadi ibu yang freindly, enak diajak bicara, tidak cepat menyimpulkan apalagi menghakimi, dan menyediakan waktu seluas-luasnya saat anak ingin berbicara.

· Mengembangkan diri menjadi ibu yang tidak gaptek, yang berteman dengan anak di Facebook, punya akun instagram atau twitter, mengenal K Pop atau pun Anime, serta mengikuti perkembangan-perkembangan dunia digital, sehingga aktivitas apapun yang dilakukan anak Ibu dapat memahami dan mampu mengikutinya, dan jika harus mengontrol tahu caranya.

 

Masih banyak kiat dan cara bagi ibu bekerja untuk mempertahankan ikatan dengan anak, yang akan diperoleh ibu, selama ibu terus menerus meningkatkan diri. Ibu  harus terus menerus belajar, dan memiliki pendidikan yang baik agar perannya sebagai Ibu dapat dilaksanakan.Pada saat ibu bekerja dan harus meninggalkan anak, hal yang perlu dikembangkan adalah mengurangi rasa bersalah. Karena cukup banyak ibu yang kemudian mengkompensasi ketidakhadirannya bersama anak,  dengan siraman materi yang berlebihan, atau perilaku permisive dalam pengasuhan; dimana ibu lebih sering memenuhi keinginan anak daripada kebutuhannya.

 

Saat ini cukup banyak hasil penelitian yang menyatakan anak-anak memiliki kebanggaan atas status ibu yang bekerja, dan mereka meneladani kebiasaan ibu bekerja yang lebih efektif dalam mengelola kegiatan rumah tangga.Menjadi ibu yang bekerja, berarti memberi  manfaat bagi sekitar dengan pekerjaan yang dilakukannya, memberikan kebanggaan bagi keluarga dengan kemandirian pribadi yang ditunjukkannya.  dan pasti memiliki kemampuan lebih untuk tetap layak dipanggil “Ibu” sehingga anak-anak tetap mendapatkan pengasuhan optimal.

 

Memanglah surga di telapak kaki ibu. 

 

 Penulis  :  Maulina Fahmilita/ KPKNL Pekanbaru

 Sumber: Seroja Magazine

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini