Ibu adalah madrasah pertama bagi
anak-anaknya. Kalimat tersebut merupakan penggalan dari syair Arab yang sangat
terkenal. Madrasah atau sekolah, demikian peran ibu bagi anaknya. Madrasah atau
sekolah dapat diartikan sebagai tempat belajar. Bagaimana ibu menjadi
sekolah pertama bagi anaknya?
Peran ini akan dilakukan ibu sejak ia mengandung calon anaknya.
Kemampuannya untuk memilih makanan yang dikonsumsi selama hamil akan
mempengaruhi janin yang dikandungnya sampai dengan kekuatannya mengelola
seluruh badai emosi saat kehamilan hingga melahirkan merupakan pelajaran awal
yang secara tidak langsung diterima oleh anaknya.
Saat anaknya hadir ke muka bumi, bagaimana ibu memberi rasa aman, baik
secara fisik dan emosi. Memberi asupan asi, membelai dan mendekap ketika bayi,
serta melakukan interaksi sentuhan yang akan menguatkan ikatan ibu dan anak.
Saat anak mulai belajar mengeksplorasi sekitar, memberi dukungan dan
kepercayaan bahwa anak mampu telungkup, berangkak dan berjalan, serta
melewati seluruh fase perkembangan fisik dengan penuh keyakinan.
Saat anak mulai mengenal kata, dan mengajarkan atau meluruskan kata pertama
yang berhasil diucapkannya. Menguatkan bahasa ibu akan memudahkan anak dalam
menjalin komunikasi dan keberanian dalam berbicara.
Saat anak dalam masa pubertas, mengalami perubahan fisik, mengenali jenis
kelamin, menghadapi menstruasi ataupun galau karena lawan jenis, hadirnya ibu
akan menenangkan gejolak jiwa.
Saat anak mulai menempuh pendidikan, apakah di PAUD atau TK, atau hari
pertama masuk SD, SLTP, SLTA bahkan mungkin Perguruan Tinggi
Lalu bagaimana anak belajar jika madrasahnya pergi? Jika ibunya Pergi.
Keadaan ini senyatanya banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Ibu yang pergi
disini diartikan sebagai ibu yang melaksanakan tanggung jawabnya tidak saja
sebagai ibu, namun juga sebagai wanita bekerja. Wanita bekerja saat ini bukan
lagi sesuatu yang wah dan menakjubkan. Pada kondisi ini hal utama yang
harus ditumbuhkan dan diperkuat adalah komitmen dalam rumah tangga. Jika
di awal kita dikenalkan dengan istilah ibu adalah sekolah bagi anaknya, maka
dalam komitmen rumah tangga ayah adalah kepala sekolahnya. Memiliki visi
dan misi yang jelas dalam pengasuhan dan pendidikan anak merupakan tanggung
jawab setiap pasangan.
Pada proses pengasuhan, baik fisik, emosi dan sosial orang tua diharapkan
hadir dan bersama anak saat mereka melewati fase tersebut. Pengasuhan fisik
bertujuan untuk mengajarkan anak bertahan hidup, memperkenalkan anak pada
konsep memenuhi kebutuhan fisik, membiasakan kebersihan, keteraturan istirahat
dan “toilet training.”
Pengasuhan ini akan terjadi pada periode awal pertumbuhan, usia 1 s.d. 5
tahun. Pada prosesnya, kehadiran ibu menjadi hal yang utama. Lalu bagaimana
anak memperlajarinya jika pada masa ini ada kewajiban yang harus dilaksanakana
ibu yang membuat pendampingan tidak dilaksanakan 24 jam oleh ibu? Kembali pada
komitmen tentunya. Peran ini bisa digantikan oleh ayah di saat-saat ibu tidak
bisa melaksanakannya, atau digantikan oleh mereka-mereka yang terlatih dengan
konsep pengasuhan tersebut, sehingga anak tetap mampu melewati proses yang
harus dijalaninya. Jika pilihannya dilakukan oleh mereka-mereka yang berada di
luar garis darah, maka ada PR tambahan bagi Ibu untuk memperkuat bonding dengan
anak.
Pengasuhan emosi yang mencakup pendampingan ketika anak mengalami
kejadian-kejadian yang mendorong lahirnya reaksi emosi, harus dilakukan
sepanjang masa. Anak tetaplah anak bagi setiap orang tua. Kegelisahan,
kegalauan, ketidaknyamanan yang akhirnya membutuhkan pelepasan menuntut
kehadiran, utamanya Ibu. Sebab ibulah yang memiliki ikatan emosi yang kuat
dengan anak. Pengasuhan Emosi yang baik akan melahirkan anak yang
memiliki rasa percaya diri, merasa dihargai dan dicintai, memiliki emosi yang
stabil, dan mampu menjalin interaksi dengan lingkungannya.
Pengasuhan Sosial bertujuan agar anak merasa nyaman dengan lingkungan
sosialnya. Pengasuhan ini menjadi sangat penting karena pengasuhan sosial yang
diberikan dengan baik, akan mengajarkan anak untuk memahami tanggung jawab
sosial yang diembannya. Proses ini dapat dilakukan orang tua dengan memberikan
contoh peran yang dilakukan ayah dan ibu, kakak dan adik, pun kakek dan nenek.
Dari tiga jenis kegiatan pengasuhan, apabila komitmen telah terbentuk
antara suami dan istri, saat keputusan dilematis harus diambil –istri keluar
rumah- maka hal yang harus dilakukan adalah meminimalisir terkendalanya proses.
Meski tidak bersama ibu anak akan tetap mendapatkan rasa aman dan nyaman ketika
bersama ayah. Meski tidak bersama ibu, anak akan tetap memperoleh makan yang
teratur ketika bersama ayah, atau anak akan tetap memahami tugas dan tanggung
jawabnya, meski tidak diingatkan oleh ibu.
Pengasuhan dalam 5 tahun pertama kehidupan tetap diharapkan melibatkan
kedua orang tua dan didominasi oleh ibu, sehingga menjadi penting bagi suami
istri menerapkan strategi agar proses ini dapat berjalan baik. Bagaimana Ibu yang bekerja menguatkan ikatan
dengan anak disaat waktu-waktu yang seharusnya bersama anak tersita oleh
pekerjaan.
· Diawal kelahiran, ibu benar-benar harus
mengoptimalkan waktu cuti melahirkan sepenuhnya untuk anak. Menyusui bayi dan
mempertahankan asupan asi ekslusif sampai dengan memandikan, memijat dan
melakukan kegiatan-kegiatan dengan sentuhan fisik maksimal.
· Menyambut masa bicara dengan aktif
berinteraksi menggunakan satu bahasa. Jika ibu dan ayah memiliki bahasa ibu
yang sama ini akan memudahkan, namun jika ibu dan ayah memiliki dua bahasa ibu,
sebaiknya disepakati anak akan dikenalkan dengan bahasa yang mana, sehingga
proses berbicaranya tidak ambigu.
· Mempersiapkan mental anak saat akan
memasuki lingkungan yang berbeda.
· Ibu sebaiknya mengkomunikasikan hal-hal
baru yang akan dialami anak saat mereka akan memasuki lingkungan baru, baik
lingkungan formal maupun non formal.
· Mengenalkan anak akan konsep dan norma
yang berlaku tidak saja melalui dongeng dan percakapan, namun juga dari sikap
dan perilaku yang ditampilkan
· Menyambut masa pubertas dengan membuka
komunikasi tentang sex dan jenis kelamin. Terbuka dengan konsep pergaulan yang
diceritakan anak. Mengarahkan dan melakukan pendekatan dari sisi keagamaan
dengan tulus.
· Menciptakan pola komunikasi yang terbuka,
dan tidak menjadi ibu superior, namun ibu yang demokratis dan asyik diajak
berdiskusi. Hal ini dapat dilakukan ibu dengan melepas konsep ibu yang tahu
segalanya dan harus dipatuhi, menjadi ibu yang freindly, enak diajak bicara,
tidak cepat menyimpulkan apalagi menghakimi, dan menyediakan waktu
seluas-luasnya saat anak ingin berbicara.
· Mengembangkan diri menjadi ibu yang tidak
gaptek, yang berteman dengan anak di Facebook, punya akun instagram atau
twitter, mengenal K Pop atau pun Anime, serta mengikuti
perkembangan-perkembangan dunia digital, sehingga aktivitas apapun yang
dilakukan anak Ibu dapat memahami dan mampu mengikutinya, dan jika harus
mengontrol tahu caranya.
Masih banyak kiat dan cara bagi ibu bekerja untuk mempertahankan ikatan
dengan anak, yang akan diperoleh ibu, selama ibu terus menerus meningkatkan
diri. Ibu harus terus menerus belajar, dan memiliki pendidikan yang baik
agar perannya sebagai Ibu dapat dilaksanakan.Pada saat ibu bekerja dan harus meninggalkan anak, hal yang perlu
dikembangkan adalah mengurangi rasa bersalah. Karena cukup banyak ibu yang
kemudian mengkompensasi ketidakhadirannya bersama anak, dengan siraman
materi yang berlebihan, atau perilaku permisive dalam pengasuhan; dimana ibu
lebih sering memenuhi keinginan anak daripada kebutuhannya.
Saat ini cukup banyak hasil penelitian yang menyatakan anak-anak memiliki
kebanggaan atas status ibu yang bekerja, dan mereka meneladani kebiasaan ibu
bekerja yang lebih efektif dalam mengelola kegiatan rumah tangga.Menjadi ibu yang bekerja, berarti memberi
manfaat bagi sekitar dengan pekerjaan yang dilakukannya, memberikan
kebanggaan bagi keluarga dengan kemandirian pribadi yang ditunjukkannya.
dan pasti memiliki kemampuan lebih untuk tetap layak dipanggil “Ibu”
sehingga anak-anak tetap mendapatkan pengasuhan optimal.
Memanglah surga di telapak kaki ibu.
Penulis : Maulina Fahmilita/ KPKNL Pekanbaru
Sumber: Seroja Magazine