Selain
terkenal sebagai destinasi wisata, Bali juga kaya akan kerajinan tangan mulai
dari ornamen, pernak-pernik, aksesoris, hingga fashion. Salah satu
kerajinan tangan yang telah melambung namanya baik di Indonesia maupun
mancanegara adalah kain tenun Endek Bali. Nama “Endek” diambil dari kata gendekan
atau ngendek yang maknanya diam atau tetap, tidak berubah warnanya. Endek telah
dikenal sejak abad ke-16 dan terus berkembang hingga saat ini. Pada prinsipnya
kain endek digunakan sebagai pakaian, simbol persaudaraan, dan juga cindera
mata. Dalam kehidupan sehari-hari kain endek memiliki berbagai fungsi. Kain
endek digunakan sebagai pakaian sakral dalam kegiatan upacara besar dan
sembahyang di pura. Selain itu endek juga digunakan untuk seragam sekolah dan
kantor. Zaman semakin modern, kain endek pun mengikuti dinamikanya. Banyak
inovasi yang dikembangkan antara lain tas, kipas, pernak-pernik dekorasi, dan
masker.
Motif yang
dipakai untuk membuat kain endek beragam, antara lain motif geometris, flora,
fauna, figuratif, dan dekoratif. Motif geometris merupakan motif tertua yang
digunakan sebagai symbol keyakinan masyarakat Bali. Motif geometris
dilambangkan dengan garis lurus, garis putus, garis lengkung, dan berbagai
bidang geometri. Motif flora mengadaptasi bentuk tumbuhan dan tampilannya
cenderung rapat dan harmonis. Sementara motif fauna mengadaptasi bentuk hewan
baik darat, laut, maupun udara. Motif figuratif biasanya mengadaptasi tokoh
manusia atau pewayangan yang digambarkan lebih sederhana baik secara utuh
maupun sebagian. Gabungan dari motif-motif yang telah ada sebelumnya dan
disesuaikan dengan keyakinan masyarakat dinamakan motif dekoratif.
Kain endek
tergolong karya seni yang membutuhkan waktu cukup lama dalam pembuatannya. Hal
tersebut dikarenakan tahapan-tahapnnya yang cukup rumit dan sepenuhnya
menggunakan tangan manusia (handmade). Secara ringkas pembuatan kain
endek diawali dengan pemintalan benang kemudian membentuk motif dan pattern
yang diinginkan dengan cara mengikat benang menggunakan tali rafia. Selanjutnya
benang-benang tersebut dicelupkan ke dalam zat pewarna, proses pencelupan dapat
dilakukan berkali-kali sesuai dengan banyaknya warna yang akan diaplikasikan
dalam motif . Benang kemudian diangkat, dikeringkan, dan dipisahkan
sesuai pola untuk selanjutnya ditenun menggunakan alat tenun bukan mesin
(ATBM). Karena proses panjang tersebut maka tidak heran untuk satu lembar kain endek dibutuhkan waktu hingga satu bulan.
Memiliki
keindahan dan daya tarik yang besar, tidak menutup kemungkinan kain endek akan
digunakan dan diakui sebagai karya seni negara lain. Maka sebagai bentuk
perlindungan terhadap kekayaan budaya dan apresiasi terhadap pengrajin kain
endek, pada Februari 2021 Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian
Hukum dan HAM telah menerbitkan surat pencatatan kekayaan intelektual komunal
(KIK) kepada Gubernur Bali. Legalitas hukum atas kain endek akan mendatangkan
berbagai manfaat diantaranya melindungi budaya Indonesia khususnya budaya lokal
Bali, meningkatkan perekonomian melalui komersialisasi kekayaan intelektual,
dan menambah daya tarik wisatawan asing.
Tidak
dipungkiri bahwa kain endek memiliki “taksu” yang memikat daya tarik pasar
internasional. Beberapa negara tujuan ekspor kain endek antara lain Amerika
Serikat, Korea Selatan, Arab Saudi, Belanda dan negara Eropa lainnya. Bahkan rumah
mode Christian Dior menggunakan endek dalam pameran busananya pada September
2020 lalu. Dampaknya tentu kain endek akan dikenal lebih luas dan mengangkat
nama Bali di kancah internasional dan membuka gerbang baru bagi kain endek
menambah pangsa pasar dengan ragam motif dan kreasi yang baru. Hal ini menjadi
motivasi dan peluang bagi UMKM dan para pengrajin kain endek terlebih selama
pandemi mayoritas sektor pariwisata mengalami “kelumpuhan” yang juga berdampak
pada penurunan omset secara drastis pelaku UMKM.