Telah disadari bahwa lelang dapat
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai sarana tindak pidana pencucian
uang dari harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana. Kesadaran ini
tercermin dari telah adanya beberapa regulasi yang diundangkan guna memitigasi
penyalahgunaan lelang untuk pencucian uang. Beberapa regulasi tersebut
diantaranya adalah Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 2/KN/2016
tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 156/PMK.06/2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi
Balai Lelang. Bahkan regulasi yang disebutkan terakhir secara eksplisit
menyebutkan bahwa regulasi tersebut diundangkan dalam rangka melaksanakan
ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Berdasarkan fakta di atas, tulisan ini akan
menguraikan bahwa dengan adanya keharusan pelaporan yang dilakukan oleh Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dan Balai Lelang telah
memposisikan Pejabat Lelang sebagai Gatekeeper. Selanjutnya secara
khusus, tulisan ini akan menjelaskan bahwa Pejabat Lelang yang terdapat pada
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang memiliki karakteristik yang khusus
sebagai gatekeeper apabila ditinjau dari gagasan collaborative
gatekeepers.
Pejabat Lelang sebagai Gatekeeper
Disinyalir bahwa belum terdapat definisi
tunggal terhadap istilah gatekeeper, namun demikian secara singkat gatekeeper
dapat didefinisikan sebagai designated non-financial businesses and
professions, including lawyers, notaries, real estate agents, trust, casino,
accountants, and other independent legal professionals who perform the role of
a trusted third party.[1]
Mengingat belum terdapat definisi tunggal, terdapat pula pendapat yang mengkategorikan
pelaku-pelaku usaha privat yang berskala besar yang mampu mendorong kepatuhan
pelaku usaha lainnya terhadap regulasi sektoral sebagai gatekeeper,
pelaku usaha ini mencakup pelaku usaha yang bergerak di bidang teknologi, perbankan,
migas, dan farmasi,[2]
Tulisan ini akan membahas gatekeeper
dalam sebagai pihak yang berperan penting dalam konteks pencegahan pencucian
uang. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor Dalam
Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah mengatur
berbagai pihak yang dapat dikategorikan sebagai gatekeeper. Pasal 2
Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan bahwa salah satu pihak pelapor adalah
balai lelang. Dengan menggunakan metode penafsiran ekstensif, tentu balai
lelang yang disebutkan dalam Peraturan tersebut mencakup pula Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang juga melakukan kegiatan lelang.
Selanjutnya, Pasal 3 PP 43/2015 hanya
menyebutkan beberapa profesi yang menjadi pihak pelapor,yaitu advokat, notaris,
pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik, dan perencana keuangan.
Berdasarkan pengaturan tersebut pejabat lelang tidak disebutkan secara
eksplisit sebagai pihak pelapor, namun dalam kenyataannya regulasi saat ini
telah mewajibkan pejabat lelang untuk melakukan pelaporan sebagaimana
dimandatkan kepada para pihak pelapor lainnya. Hal ini dapat dipahami dengan
menganalogikan karakteristik pejabat lelang dengan notaris, mengingat bahwa
tugas, fungsi, dan kewenangan pejabat lelang adalah tidak ubahnya tugas,
fungsi, dan kewenangan notaris yang menghasilkan akta otentik, yang dalam
konteks lelang adalah risalah lelang. Oleh karenanya, pejabat lelang dapat
dikategorikan pula sebagai gatekeeper.
Karakteristik Pejabat Lelang pada KPKNL
Regulasi dalam bidang lelang saat ini
mengenal adanya pembedaan pejabat lelang, yaitu Pejabat Lelang Kelas I dan
Pejabat Lelang Kelas II. Berdasarkan Pasal 1 angka 45 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Pejabat
Lelang Kelas I adalah Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian Keuangan yang
diangkat sebagai Pejabat Lelang. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 46,
Pejabat Lelang Kelas II adalah orang perorangan yang berasal dari swasta/umum
yang diangkat sebagai Pejabat Lelang oleh Menteri.
Perbedaan ini berimplikasi pada
kewenangan pelaksanaan lelang oleh masing-masing pejabat lelang. Dari 3 (tiga)
jenis lelang, yaitu Lelang Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib, dan Lelang
Noneksekusi Sukarela, Pejabat Lelang Kelas I berwenang melaksanakan semua jenis
lelang, sedangkan Pejabat Lelang Kelas II berwenang melaksanakan Lelang
Noneksekusi Sukarela saja.
Berdasarkan regulasi sebagaimana
dijelaskan secara singkat di atas, diketahui bahwa kedudukan Pejabat Lelang
Kelas I yang berkedudukan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) memiliki karakteristik tersendiri. Dibandingkan dengan pejabat lelang
lainnya yang berstatus perorangan atau swasta dan tidak berkedudukan pada
sebuah instansi pemerintah, Pejabat Lelang Kelas I merupakan pejabat yang
berkedudukan dalam instansi pemerintah yang berperan sebagai regulator dalam
bidang lelang, yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Lebih luas, kedudukan
Pejabat Lelang Kelas I yang terdapat dalam ranah eksekutif juga berada pada
satu ranah yang sama dengan penegak hukum tindak pidana pencucian uang, baik
kejaksaan atau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Berkaitan dengan kedudukan tersebut,
sejatinya Pejabat Lelang Kelas I yang berkedudukan di KPKNL dapat memainkan
peran yang lebih efektif dalam rangka pencegahan tindak pidana pencucian uang. Hal
ini didasarkan pada sebuah konsep collaborative gatekeepers yang
diyakini dapat menjadi bentuk kegiatan gatekeeping yang paling efektif
dibandingkan dengan bentuk lainnya. Konsep collaborative gatekeepers dapat
dijabarkan sebagai konsep yang mendorong adanya kerjasama kolaboratif antara
pihak pelapor dengan pihak regulator atau penegak hukum dalam bidang tindak
pidana pencucian uang.[3] Tentunya dalam konsep ini
diasumsikan bahwa pihak pelapor atau gatekeeper adalah pihak swasta.
Tentunya, kedudukan Pejabat Lelang Kelas
I yang berada pada ranah regulator lelang apabila dianalisa dengan konsep collaborative
gatekeepers akan menjadi sebuah kondisi yang ideal dalam rangka mencapai
tujuan pencegahan atau penegakan tindak pidana pencucian uang. Jika konsep collaborative
gatekeepers yang mengasumsikan pihak pelapor dari ranah swasta saja
diyakini sebagai konsep ideal dalam pencegahan dan penegakan hukum tindak
pidana pencucian uang, maka apabila pihak pelapor berada dan regulator atau
penegak hukum berada pada satu ranah dapat diasumsikan akan semakin
menghasilkan keluaran yang lebih optimal.
Kedudukan Pejabat Lelang Kelas I yang
juga berada pada ranah regulator dapat memangkas berbagai rintangan yang
mungkin timbul apabila pihak pelapor adalah pihak swasta. Beberapa rintangan
tersebut diantaranya adalah pertimbangan pihak pelapor dalam menjaga relasi
bisnis dengan kliennya yang mungkin dapat rusak karena tindakan pelaporan yang
dilakukannya kepada otoritas pemerintah atau pemahaman pihak pelapor yang masih
belum holistik terkait regulasi dan tata cara pelaporan kepada penegak hukum. Tentu
rintangan-rintangan tersebut dapat secara signifikan dihilangkan apabila pihak
pelapor dan regulator berada pada ranah yang sama.
Penutup
Sebagaimana dijabarkan sebelumnya,
Pejabat Lelang dapat dikategorikan sebagai gatekeeper dan khusus Pejabat
Lelang Kelas I yang berkedudukan pada KPKNL, apabila dilihat dengan perspektif
konsep collaborative gatekeepers, memiliki karakteristik yang seharusnya
dapat mewujudkan pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang
lebih optimal. Dengan demikian, diharapkan Pejabat Lelang dapat berkontribusi
sesuai peran yang diharapkan dalam ranah pencegahan atau penegakan hukum tindak
pidana pencucian uang.
Hadyan
Iman Prasetya (KPKNL Bontang)
[1] Paku Utama, 2016, Gatekeeper’s Roles as
a Fundamental Key in Money Laundering, Indonesia Law Review Vol. 6 No.
2, hal. 182.
[2] Rory Van Loo, 2020, The New
Gatekeepers: Private Firms as Public Enforcers, 106 Virginia Law Review 467.
[3] Stavros Gadinis dan Colby Mangels,
2016, Collaborative Gatekeepers, 73 Washington & Lee Law Review 797.