Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bontang > Artikel
Pejabat Lelang sebagai Gatekeeper
Hadyan Iman Prasetya
Senin, 24 Oktober 2022   |   184 kali

Telah disadari bahwa lelang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai sarana tindak pidana pencucian uang dari harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana. Kesadaran ini tercermin dari telah adanya beberapa regulasi yang diundangkan guna memitigasi penyalahgunaan lelang untuk pencucian uang. Beberapa regulasi tersebut diantaranya adalah Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 2/KN/2016 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 156/PMK.06/2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Balai Lelang. Bahkan regulasi yang disebutkan terakhir secara eksplisit menyebutkan bahwa regulasi tersebut diundangkan dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Berdasarkan fakta di atas, tulisan ini akan menguraikan bahwa dengan adanya keharusan pelaporan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dan Balai Lelang telah memposisikan Pejabat Lelang sebagai Gatekeeper. Selanjutnya secara khusus, tulisan ini akan menjelaskan bahwa Pejabat Lelang yang terdapat pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang memiliki karakteristik yang khusus sebagai gatekeeper apabila ditinjau dari gagasan collaborative gatekeepers.

Pejabat Lelang sebagai Gatekeeper

Disinyalir bahwa belum terdapat definisi tunggal terhadap istilah gatekeeper, namun demikian secara singkat gatekeeper dapat didefinisikan sebagai designated non-financial businesses and professions, including lawyers, notaries, real estate agents, trust, casino, accountants, and other independent legal professionals who perform the role of a trusted third party.[1] Mengingat belum terdapat definisi tunggal, terdapat pula pendapat yang mengkategorikan pelaku-pelaku usaha privat yang berskala besar yang mampu mendorong kepatuhan pelaku usaha lainnya terhadap regulasi sektoral sebagai gatekeeper, pelaku usaha ini mencakup pelaku usaha yang bergerak di bidang teknologi, perbankan, migas, dan farmasi,[2]

Tulisan ini akan membahas gatekeeper dalam sebagai pihak yang berperan penting dalam konteks pencegahan pencucian uang. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah mengatur berbagai pihak yang dapat dikategorikan sebagai gatekeeper. Pasal 2 Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan bahwa salah satu pihak pelapor adalah balai lelang. Dengan menggunakan metode penafsiran ekstensif, tentu balai lelang yang disebutkan dalam Peraturan tersebut mencakup pula Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang juga melakukan kegiatan lelang.

Selanjutnya, Pasal 3 PP 43/2015 hanya menyebutkan beberapa profesi yang menjadi pihak pelapor,yaitu advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik, dan perencana keuangan. Berdasarkan pengaturan tersebut pejabat lelang tidak disebutkan secara eksplisit sebagai pihak pelapor, namun dalam kenyataannya regulasi saat ini telah mewajibkan pejabat lelang untuk melakukan pelaporan sebagaimana dimandatkan kepada para pihak pelapor lainnya. Hal ini dapat dipahami dengan menganalogikan karakteristik pejabat lelang dengan notaris, mengingat bahwa tugas, fungsi, dan kewenangan pejabat lelang adalah tidak ubahnya tugas, fungsi, dan kewenangan notaris yang menghasilkan akta otentik, yang dalam konteks lelang adalah risalah lelang. Oleh karenanya, pejabat lelang dapat dikategorikan pula sebagai gatekeeper.

Karakteristik Pejabat Lelang pada KPKNL

Regulasi dalam bidang lelang saat ini mengenal adanya pembedaan pejabat lelang, yaitu Pejabat Lelang Kelas I dan Pejabat Lelang Kelas II. Berdasarkan Pasal 1 angka 45 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Pejabat Lelang Kelas I adalah Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian Keuangan yang diangkat sebagai Pejabat Lelang. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 46, Pejabat Lelang Kelas II adalah orang perorangan yang berasal dari swasta/umum yang diangkat sebagai Pejabat Lelang oleh Menteri.

Perbedaan ini berimplikasi pada kewenangan pelaksanaan lelang oleh masing-masing pejabat lelang. Dari 3 (tiga) jenis lelang, yaitu Lelang Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib, dan Lelang Noneksekusi Sukarela, Pejabat Lelang Kelas I berwenang melaksanakan semua jenis lelang, sedangkan Pejabat Lelang Kelas II berwenang melaksanakan Lelang Noneksekusi Sukarela saja.

Berdasarkan regulasi sebagaimana dijelaskan secara singkat di atas, diketahui bahwa kedudukan Pejabat Lelang Kelas I yang berkedudukan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) memiliki karakteristik tersendiri. Dibandingkan dengan pejabat lelang lainnya yang berstatus perorangan atau swasta dan tidak berkedudukan pada sebuah instansi pemerintah, Pejabat Lelang Kelas I merupakan pejabat yang berkedudukan dalam instansi pemerintah yang berperan sebagai regulator dalam bidang lelang, yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Lebih luas, kedudukan Pejabat Lelang Kelas I yang terdapat dalam ranah eksekutif juga berada pada satu ranah yang sama dengan penegak hukum tindak pidana pencucian uang, baik kejaksaan atau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Berkaitan dengan kedudukan tersebut, sejatinya Pejabat Lelang Kelas I yang berkedudukan di KPKNL dapat memainkan peran yang lebih efektif dalam rangka pencegahan tindak pidana pencucian uang. Hal ini didasarkan pada sebuah konsep collaborative gatekeepers yang diyakini dapat menjadi bentuk kegiatan gatekeeping yang paling efektif dibandingkan dengan bentuk lainnya. Konsep collaborative gatekeepers dapat dijabarkan sebagai konsep yang mendorong adanya kerjasama kolaboratif antara pihak pelapor dengan pihak regulator atau penegak hukum dalam bidang tindak pidana pencucian uang.[3] Tentunya dalam konsep ini diasumsikan bahwa pihak pelapor atau gatekeeper adalah pihak swasta.

Tentunya, kedudukan Pejabat Lelang Kelas I yang berada pada ranah regulator lelang apabila dianalisa dengan konsep collaborative gatekeepers akan menjadi sebuah kondisi yang ideal dalam rangka mencapai tujuan pencegahan atau penegakan tindak pidana pencucian uang. Jika konsep collaborative gatekeepers yang mengasumsikan pihak pelapor dari ranah swasta saja diyakini sebagai konsep ideal dalam pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang, maka apabila pihak pelapor berada dan regulator atau penegak hukum berada pada satu ranah dapat diasumsikan akan semakin menghasilkan keluaran yang lebih optimal.

Kedudukan Pejabat Lelang Kelas I yang juga berada pada ranah regulator dapat memangkas berbagai rintangan yang mungkin timbul apabila pihak pelapor adalah pihak swasta. Beberapa rintangan tersebut diantaranya adalah pertimbangan pihak pelapor dalam menjaga relasi bisnis dengan kliennya yang mungkin dapat rusak karena tindakan pelaporan yang dilakukannya kepada otoritas pemerintah atau pemahaman pihak pelapor yang masih belum holistik terkait regulasi dan tata cara pelaporan kepada penegak hukum. Tentu rintangan-rintangan tersebut dapat secara signifikan dihilangkan apabila pihak pelapor dan regulator berada pada ranah yang sama.

Penutup

Sebagaimana dijabarkan sebelumnya, Pejabat Lelang dapat dikategorikan sebagai gatekeeper dan khusus Pejabat Lelang Kelas I yang berkedudukan pada KPKNL, apabila dilihat dengan perspektif konsep collaborative gatekeepers, memiliki karakteristik yang seharusnya dapat mewujudkan pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang lebih optimal. Dengan demikian, diharapkan Pejabat Lelang dapat berkontribusi sesuai peran yang diharapkan dalam ranah pencegahan atau penegakan hukum tindak pidana pencucian uang.

 

Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)



[1] Paku Utama, 2016, Gatekeeper’s Roles as a Fundamental Key in Money Laundering, Indonesia Law Review Vol. 6 No. 2, hal. 182.

[2] Rory Van Loo, 2020, The New Gatekeepers: Private Firms as Public Enforcers, 106 Virginia Law Review 467.

[3] Stavros Gadinis dan Colby Mangels, 2016, Collaborative Gatekeepers, 73 Washington & Lee Law Review 797.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini