Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bontang > Artikel
Empati Dalam Pelayanan Publik: Pelajaran Bagi KPKNL
Hadyan Iman Prasetya
Rabu, 16 Maret 2022   |   3718 kali

Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, dalam sebuah kuliah umum yang disampaikan olehnya pada tahun 2018 berlokasi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, menyatakan bahwa dalam membangun Indonesia menuju tahun 2045, terdapat dua hal yang tidak bisa digantikan oleh teknologi, yaitu pemikiran kritis dan rasa empati[1]. Pada kesempatan yang lain, Menteri Keuangan menyatakan pula bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki komponen utama yaitu kompetensi dan komponen tambahannya dalah empati[2]. Menurutnya, empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif khususnya dari sumber daya manusia organisasi yang dipimpinnya[3].

Dalam ranah internasional, kesadaran akan arti penting empati dalam kebijakan publik juga menjadi perhatian para pemimpin dunia. Sebagai contoh, Barack Obama, mantan Presiden Amerika Serikat, dalam bukunya yang berjudul The Audacity of Hope menyatakan bahwa salah satu karakter yang dia nilai atau hargai sebagai jantung dari kode moralnya, adalah sense of empathy[4]. Selain klaim dirinya sendiri, pengkritiknya juga mengakui bahwa Obama membincang tentang empati dengan sangat sering, seperti pada saat dirinya menyatakan kualifikasi yang ia cari untuk nominasi sebagai hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat dan kebijakan-kebijakannya[5]. Bahkan, Obama telah menyatakan betapa pentingnya rasa empati dalam kehidupan publik sebelum dirinya terpilih sebagai Presiden dalam sebuah pidato di acara kelulusan Universitas Northwestern[6].

Berkaca pada dua pernyataan tokoh di atas mengenai pentingnya empati dalam ranah publik, perlu digali lebih mendalam mengenai arti penting empati dalam konteks pelayanan publik. Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat mengenai arti penting empati dalam pelayanan publik secara umum dan mendiskusikannya dalam konteks pelayanan publik yang dilaksanakan KPKNL selaku kantor yang menyelenggarakan pelayanan publik dalam bidang kekayaan negara dan lelang.

Empati dalam Pelayanan Publik

Kata empati, disinyalir pertama kali muncul pada tahun 1909 dalam sebuah ceramah yang disampaikan oleh psikolog dari Cornell University bernama Edward B. Titchener. Dalam mendefiniskan empati, dirinya merujuk pada penjelasan dari seorang filsuf dan psikolog Cambridge University bernama James Ward, yang memaknai empati sebagai “feeling into” dan membedakannya dengan makna simpati[7].

Dalam mengukur sebuah layanan, Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1988) telah merumuskan adanya 5 (lima) dimensi skala. Kelima ukuran tersebut adalah tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy[8]. Empati sebagai salah satu ukuran, dijelaskan dalam sebuah kalimat yang berbunyi “Caring, individualized attention the firm provides its customers[9]. Selanjutnya dijelaskan pula dalam artikel tersebut, bahwa dimensi assurance dan empathy merepresentasikan adanya 7 (tujuh) unsur, yaitu communication, credibility, security, competence, courtesy, understanding/knowing customers, dan access[10]. Penelitian lain, mengoperasionalkan dimensi empati dalam konteks pelayanan publik dengan merumuskan adanya 3 (tiga) indikator, yaitu melayani masyarakat dengan sopan, pegawai melayani dengan ramah, dan sikap pegawai melayani masyarakat yang komplain[11].

Pendapat lainnya juga mendukung bahwa empati menjadi salah satu komposisi yang krusial untuk mencapai kesuksesan dalam kebijakan publik[12]. Menurut pendapat ini, pelayan publik juga hendaknya membangun dan menghargai kapasitas empati ini sebagaimana para perumus kebijakan mengimplementasikan empati dalam merumuskan kebijakan publik serta mengkomunikasikan kebijakan tersebut. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, empati dianggap merupakan sebuah unsur yang penting dalam merumuskan kebijakan, selanjutnya kebijakan publik yang dirumuskan tersebut akan diterapkan secara praksis oleh pelayan publik dalam rangkaian pelayanan publik, dengan demikian pelayan publik juga harus menerapkan empati dalam pelaksanaan tugasnya[13].

Pelayanan publik yang memanifestasikan rasa empati didasarkan pada pemahaman terhadap kebutuhan konkrit dari masyarakat[14]. Sehingga pelayanan publik tidak semata harus diasosiasikan dengan inovasi, big data, transparansi, teknologi, melainkan juga berkaitan dengan masyarakat. Pelayanan publik yang penuh dengan empati akan dapat memprioritaskan masyarakat dan apa yang dibutuhkan oleh mayarakat itu, meskipun perubahan ke arah pelayanan publik yang empatetik ini akan memakan waktu yang lama[15].

Edlins (2019) merangkum peran penting empati dalam administrasi publik[16]. Pertama, empati mencegah adanya sifat egoisme, sehingga akan mewujudkan kesetaraan. Dalam pandangan Penulis, kesetaraan ini akan mewujudkan pula keadilan dalam memberikan pelayanan publik dan tidak memberikan perlakuan yang berbeda diantara para pengguna layanan. Kedua, empati adalah komponen kunci dari moral imagination, sehingga memberi kemampuan bagi pelayan publik untuk mengatasi dilemma secara kreatif dan membuat pelayanan publik menjadi lebih efektif. Ketiga, empati akan mendorong perumus kebijakan untuk merumuskan kebijakan dengan mempertimbangkan perspektif masyarakat yang memiliki pengalaman lain dari para perumus kebijakan.

Apa Relevansinya bagi Kita?

Setelah memahami arti penting empati dalam pelayanan publik, pertanyaan yang muncul adalah apa relevansinya bagi kita? Tentunya pertanyaan tersebut perlu diperhatikan, mengingat bahwa KPKNL adalah kantor pelayanan, sehingga perlu memikirkan pelajaran apa yang dapat kita petik dari berbagai pendapat sebagaimana dikutip di atas. Bagian ini akan menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan pertanyaan tersebut.

Pertama, Sullivan (2017) menyatakan bahwa empati sebagai sebuah nilai kebajikan dalam ranah politik dan kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari integritas dan keahlian[17]. Integritas akan menghantarkan pada rasa empati yang tidak manipulatif, sedangkan keahlian atau kompetensi akan dapat membawa rasa empati pada objektifitas. Kedua nilai tersebut, tentu akan mengingatkan kita pada 2 (dua) nilai di dalam Nilai-Nilai Kementerian Keuangan, yaitu Integritas dan Profesionalisme. Dengan telah adanya kedua nilai ini, tentunya bagi KPKNL sebagai bagian dari Kementerian Keuangan telah memiliki modal sebagai prakondisi dalam mewujudkan rasa empati dalam pemberian layanan kepada publik. Para pegawai KPKNL sebagai pelayanan publik, dapat memupuk rasa empati dan pada saat yang sama memperkuat pemahamannya terhadap nilai Integritas dan Profesionalisme, sehingga arti penting empati dalam pelayanan publik dapat terwujud dalam setiap pelayanan KPKNL.

Kedua, sebagaimana menjadi kegundahan Ranchordas (2022)[18] bahwa pelayanan publik yang dilakukan saat ini telah banyak beralih kepada pelayanan berbasis teknologi, dengan demikian dikhawatirkan pula hal ini dapat mengikis rasa empati dari para pelayan publik, mengingat bahwa tidak lagi terdapat komunikasi secara langsung antara masyarakat dengan pelayan publik. Hal ini kiranya menjadi salah satu hal yang relevan untuk dipikirkan dalam konteks pelayanan publik yang diselenggarakan oleh KPKNL. Sebagai contoh, pelayanan lelang yang saat ini sebagian besar sudah dilaksanakan melalui aplikasi lelang.go.id atau rencana digitalisasi penyerahan pengurusan Piutang Negara. Kedua contoh tersebut dapat menjadi kontemplasi bagi KPKNL berkaitan dengan arti pentingnya rasa empati dalam pelayanan publik.

Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul adalah, lalu bagaimanakah cara untuk membangun rasa empati itu bagi peningkatan pelayanan KPKNL? Berkaitan dengan ini, Penulis akan mengutip pendapat dari Edlins (2019) dan Collingwood (2017).

Pertama, menurut Edlins (2019)[19] model pembangunan empati dalam sebuah entitas publik mengandung 4 (empat) komponen, yaitu opportunity, identify, connect, dan communicate. Komponen opportunity merupakan prasyarat untuk membangun empati bagi pelayanan publik, yaitu keadaan atau kondisi yang secara secara eksplisit maupun implisit timbul dalam pelaksanaan pelayanan publik yang memungkinkan pelayan publik untuk merasakan atau mengalami emosi, pikiran dan perspektif orang lain, dalam hal ini adalah masyarakat yang membutuhkan layanan. Komponen selanjutnya, yaitu identify, dalam konteks ini pelayan publik diharapkan untuk mengidentifikasi emosi dari masyarakat dari isyarat-isyarat yang dimunculkan oleh masyarakat. Kemudian, komponen connect dipahami bahwa pelayan publik dapat menghubungkan emosi masyarakat yang telah teridentifikasi dengan emosi atau pengalaman serupa yang telah atau mungkin akan pelayanan publik itu rasakan sebagaimana yang sedang masyarakat rasakan. Terakhir, pada komponen communicate, pelayan publik mengkomunikasikan kesepahaman dirinya atas emosi masyarakat yang dapat dinyatakan dalam ungkapan seperti,”Kami memahami bahwa dokumen administrasi ini menyusahkan anda” dan sebagainya.

Kedua, menurut Collingwood (2017) [20]dalam ranah praktis, rasa empati dalam pelayanan publik dapat dibangun melalui 3 (tiga) cara. Pertama, pelayan publik perlu untuk berbicara langsung dan sesering mungkin dengan masyarakat yang terdampak dengan pekerjaan yang dilakukannya. Kedua, pelayanan publik perlu meyakinkan dirinya bahwa dirinya telah cukup representatif untuk melayani masyarakat. Ketiga, perlu adanya role model dan penghargaan terhadap sikap-sikap empatik yang dipraktikkan. Selain itu, dapat pula dilakukan memperkuat adanya kebijakan dan desain pelayanan publik yang empatetik, membuat bahasa-bahasa atau gesture yang lebih humanis dan emosional sebagai sesuatu yang lazim bagi publik, dan membuat ruang bagi masyarakat untuk membagikan pandanganya dan berkolaborasi bersama.

Penutup

Tulisan singkat ini setidaknya menyatakan bahwa empati, sebagaimana diperkuat dengan pendapat-pendapat yang telah dikutip, adalah salah satu unsur penting dalam pelayanan publik, meskipun saat ini pelayanan publik telah banyak beralih pada platform elektronik. Sejalan dengan pemahaman yang demikian, KPKNL sebagai kantor pelayanan publik diharapkan dapat menggali pelajaran dari berbagai pandangan ahli yang menyatakan bahwa empati memilik nilai penting dalam pelayanan publik. Dengan demikian, diharapkan pelayanan publik yang memanifestasikan rasa empati dapat diwujudkan oleh KPKNL dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dalam pelayanan publik di bidang kekayaan negara dan lelang.

Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)


[3] Ibid.

[4] Barack Obama, 2006, The Audacity of Hope: Thoughts on Reclaiming the American Dream, Crown Publishing: New York, hal. 66.

[5] Gary Bauer, 2010, Obama and the Politics of Empathy, diakses dari https://www.politico.com/story/2010/04/obama-and-the-politics-of-empathy-035499.

[7] Mark Honigsbaum, 2013, Barack Obama and the ‘Empathy Deficit’, diakses dari https://www.theguardian.com/science/2013/jan/04/barack-obama-empathy-deficit.

[8] A. Parasuraman, et.al., (1988), SERVQUAL: A Multiple-Item Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality, Journal of Retailing, Januari 1988, 12-40 (23).

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Selvi Rianti, et.al.,(2019), Kualitas Pelayanan Publik, Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Vol. 15 No. 3 Juli 2019, 412-419.

[12] Helen Sullivan, 2017, What Public Servants Need in Today’s Crazy World: Empathy and Integrity, diakses dari https://www.smh.com.au/public-service/what-public-servants-need-in-todays-crazy-world-empathy-and-integrity-20170204-gu5lor.html

[13] Kit Collingwood, 2017, Why Civil Servants Should Become Experts in Empathy, diakses dari https://medium.com/@kcollingwood/why-civil-servants-should-become-experts-in-empathy-59c30507b3f6

[14] Jake Solomon, 2014, People, Not Data: On Disdain and Empathy in Civic Technology, diakses dari https://www.civicquarterly.com/article/people-not-data

[15] Ibid.

[16] Mariglynn Edlins, (2019) Developing a Model of Empathy for Public Administration, Administrative Theory & Praxis, 43:1, 22-41, DOI: 10.1080/10841806.2019.1700459.

[17] Helen Sullivan, 2017, loc.cit.

[18] Sofia Ranchordas, 2022, Empathy in the Digital Administrative State, 71 Duke Law Journal 1343.

[19] Mariglynn Edlins, (2019), op.cit.

[20] Kit Collingwood, 2017, loc.cit.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini