Menteri Keuangan Republik Indonesia,
Sri Mulyani Indrawati, dalam sebuah kuliah umum yang disampaikan olehnya pada
tahun 2018 berlokasi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro
(Undip) Semarang, menyatakan bahwa dalam membangun Indonesia menuju tahun 2045,
terdapat dua hal yang tidak bisa digantikan oleh teknologi, yaitu pemikiran
kritis dan rasa empati[1]. Pada kesempatan yang
lain, Menteri Keuangan menyatakan pula bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki
komponen utama yaitu kompetensi dan komponen tambahannya dalah empati[2]. Menurutnya, empati termasuk
kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan
mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif khususnya dari sumber
daya manusia organisasi yang dipimpinnya[3].
Dalam ranah internasional, kesadaran
akan arti penting empati dalam kebijakan publik juga menjadi perhatian para
pemimpin dunia. Sebagai contoh, Barack Obama, mantan Presiden Amerika Serikat,
dalam bukunya yang berjudul The Audacity of Hope menyatakan bahwa salah
satu karakter yang dia nilai atau hargai sebagai jantung dari kode moralnya,
adalah sense of empathy[4].
Selain klaim dirinya sendiri, pengkritiknya juga mengakui bahwa Obama
membincang tentang empati dengan sangat sering, seperti pada saat dirinya
menyatakan kualifikasi yang ia cari untuk nominasi sebagai hakim Mahkamah Agung
Amerika Serikat dan kebijakan-kebijakannya[5]. Bahkan, Obama telah
menyatakan betapa pentingnya rasa empati dalam kehidupan publik sebelum dirinya
terpilih sebagai Presiden dalam sebuah pidato di acara kelulusan Universitas
Northwestern[6].
Berkaca pada dua pernyataan tokoh di
atas mengenai pentingnya empati dalam ranah publik, perlu digali lebih mendalam
mengenai arti penting empati dalam konteks pelayanan publik. Tulisan ini akan
menjelaskan secara singkat mengenai arti penting empati dalam pelayanan publik
secara umum dan mendiskusikannya dalam konteks pelayanan publik yang
dilaksanakan KPKNL selaku kantor yang menyelenggarakan pelayanan publik dalam
bidang kekayaan negara dan lelang.
Empati dalam Pelayanan Publik
Kata empati, disinyalir pertama kali
muncul pada tahun 1909 dalam sebuah ceramah yang disampaikan oleh psikolog dari
Cornell University bernama Edward B. Titchener. Dalam mendefiniskan empati,
dirinya merujuk pada penjelasan dari seorang filsuf dan psikolog Cambridge
University bernama James Ward, yang memaknai empati sebagai “feeling into”
dan membedakannya dengan makna simpati[7].
Dalam mengukur sebuah layanan,
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1988) telah merumuskan adanya 5 (lima) dimensi
skala. Kelima ukuran tersebut adalah tangibles, reliability, responsiveness,
assurance, dan empathy[8].
Empati sebagai salah satu ukuran, dijelaskan dalam sebuah kalimat yang berbunyi
“Caring, individualized attention the firm provides its customers”[9]. Selanjutnya dijelaskan
pula dalam artikel tersebut, bahwa dimensi assurance dan empathy
merepresentasikan adanya 7 (tujuh) unsur, yaitu communication, credibility,
security, competence, courtesy, understanding/knowing customers, dan access[10].
Penelitian lain, mengoperasionalkan dimensi empati dalam konteks pelayanan
publik dengan merumuskan adanya 3 (tiga) indikator, yaitu melayani masyarakat
dengan sopan, pegawai melayani dengan ramah, dan sikap pegawai melayani
masyarakat yang komplain[11].
Pendapat lainnya juga mendukung bahwa
empati menjadi salah satu komposisi yang krusial untuk mencapai kesuksesan
dalam kebijakan publik[12]. Menurut pendapat ini,
pelayan publik juga hendaknya membangun dan menghargai kapasitas empati ini
sebagaimana para perumus kebijakan mengimplementasikan empati dalam merumuskan
kebijakan publik serta mengkomunikasikan kebijakan tersebut. Sejalan dengan
pendapat sebelumnya, empati dianggap merupakan sebuah unsur yang penting dalam
merumuskan kebijakan, selanjutnya kebijakan publik yang dirumuskan tersebut
akan diterapkan secara praksis oleh pelayan publik dalam rangkaian pelayanan
publik, dengan demikian pelayan publik juga harus menerapkan empati dalam
pelaksanaan tugasnya[13].
Pelayanan publik yang memanifestasikan
rasa empati didasarkan pada pemahaman terhadap kebutuhan konkrit dari
masyarakat[14].
Sehingga pelayanan publik tidak semata harus diasosiasikan dengan inovasi, big
data, transparansi, teknologi, melainkan juga berkaitan dengan masyarakat. Pelayanan
publik yang penuh dengan empati akan dapat memprioritaskan masyarakat dan apa
yang dibutuhkan oleh mayarakat itu, meskipun perubahan ke arah pelayanan publik
yang empatetik ini akan memakan waktu yang lama[15].
Edlins (2019) merangkum peran penting
empati dalam administrasi publik[16]. Pertama, empati mencegah
adanya sifat egoisme, sehingga akan mewujudkan kesetaraan. Dalam pandangan
Penulis, kesetaraan ini akan mewujudkan pula keadilan dalam memberikan
pelayanan publik dan tidak memberikan perlakuan yang berbeda diantara para
pengguna layanan. Kedua, empati adalah komponen kunci dari moral imagination,
sehingga memberi kemampuan bagi pelayan publik untuk mengatasi dilemma secara
kreatif dan membuat pelayanan publik menjadi lebih efektif. Ketiga, empati akan
mendorong perumus kebijakan untuk merumuskan kebijakan dengan mempertimbangkan
perspektif masyarakat yang memiliki pengalaman lain dari para perumus
kebijakan.
Apa Relevansinya bagi Kita?
Setelah memahami arti penting empati
dalam pelayanan publik, pertanyaan yang muncul adalah apa relevansinya bagi
kita? Tentunya pertanyaan tersebut perlu diperhatikan, mengingat bahwa KPKNL
adalah kantor pelayanan, sehingga perlu memikirkan pelajaran apa yang dapat
kita petik dari berbagai pendapat sebagaimana dikutip di atas. Bagian ini akan
menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan pertanyaan tersebut.
Pertama, Sullivan (2017) menyatakan
bahwa empati sebagai sebuah nilai kebajikan dalam ranah politik dan kebijakan
publik tidak dapat dilepaskan dari integritas dan keahlian[17]. Integritas akan
menghantarkan pada rasa empati yang tidak manipulatif, sedangkan keahlian atau
kompetensi akan dapat membawa rasa empati pada objektifitas. Kedua nilai
tersebut, tentu akan mengingatkan kita pada 2 (dua) nilai di dalam Nilai-Nilai
Kementerian Keuangan, yaitu Integritas dan Profesionalisme. Dengan telah adanya
kedua nilai ini, tentunya bagi KPKNL sebagai bagian dari Kementerian Keuangan
telah memiliki modal sebagai prakondisi dalam mewujudkan rasa empati dalam
pemberian layanan kepada publik. Para pegawai KPKNL sebagai pelayanan publik,
dapat memupuk rasa empati dan pada saat yang sama memperkuat pemahamannya
terhadap nilai Integritas dan Profesionalisme, sehingga arti penting empati
dalam pelayanan publik dapat terwujud dalam setiap pelayanan KPKNL.
Kedua, sebagaimana menjadi kegundahan
Ranchordas (2022)[18] bahwa pelayanan publik
yang dilakukan saat ini telah banyak beralih kepada pelayanan berbasis
teknologi, dengan demikian dikhawatirkan pula hal ini dapat mengikis rasa
empati dari para pelayan publik, mengingat bahwa tidak lagi terdapat komunikasi
secara langsung antara masyarakat dengan pelayan publik. Hal ini kiranya
menjadi salah satu hal yang relevan untuk dipikirkan dalam konteks pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh KPKNL. Sebagai contoh, pelayanan lelang yang saat
ini sebagian besar sudah dilaksanakan melalui aplikasi lelang.go.id atau rencana
digitalisasi penyerahan pengurusan Piutang Negara. Kedua contoh tersebut dapat
menjadi kontemplasi bagi KPKNL berkaitan dengan arti pentingnya rasa empati
dalam pelayanan publik.
Pertanyaan selanjutnya yang mungkin
muncul adalah, lalu bagaimanakah cara untuk membangun rasa empati itu bagi
peningkatan pelayanan KPKNL? Berkaitan dengan ini, Penulis akan mengutip
pendapat dari Edlins (2019) dan Collingwood (2017).
Pertama, menurut Edlins (2019)[19] model pembangunan empati
dalam sebuah entitas publik mengandung 4 (empat) komponen, yaitu opportunity,
identify, connect, dan communicate. Komponen opportunity
merupakan prasyarat untuk membangun empati bagi pelayanan publik, yaitu keadaan
atau kondisi yang secara secara eksplisit maupun implisit timbul dalam
pelaksanaan pelayanan publik yang memungkinkan pelayan publik untuk merasakan
atau mengalami emosi, pikiran dan perspektif orang lain, dalam hal ini adalah
masyarakat yang membutuhkan layanan. Komponen selanjutnya, yaitu identify,
dalam konteks ini pelayan publik diharapkan untuk mengidentifikasi emosi dari
masyarakat dari isyarat-isyarat yang dimunculkan oleh masyarakat. Kemudian,
komponen connect dipahami bahwa pelayan publik dapat menghubungkan emosi
masyarakat yang telah teridentifikasi dengan emosi atau pengalaman serupa yang
telah atau mungkin akan pelayanan publik itu rasakan sebagaimana yang sedang masyarakat
rasakan. Terakhir, pada komponen communicate, pelayan publik
mengkomunikasikan kesepahaman dirinya atas emosi masyarakat yang dapat
dinyatakan dalam ungkapan seperti,”Kami memahami bahwa dokumen administrasi ini
menyusahkan anda” dan sebagainya.
Kedua, menurut Collingwood (2017) [20]dalam ranah praktis, rasa
empati dalam pelayanan publik dapat dibangun melalui 3 (tiga) cara. Pertama,
pelayan publik perlu untuk berbicara langsung dan sesering mungkin dengan
masyarakat yang terdampak dengan pekerjaan yang dilakukannya. Kedua, pelayanan
publik perlu meyakinkan dirinya bahwa dirinya telah cukup representatif untuk
melayani masyarakat. Ketiga, perlu adanya role model dan penghargaan
terhadap sikap-sikap empatik yang dipraktikkan. Selain itu, dapat pula dilakukan
memperkuat adanya kebijakan dan desain pelayanan publik yang empatetik, membuat
bahasa-bahasa atau gesture yang lebih humanis dan emosional sebagai
sesuatu yang lazim bagi publik, dan membuat ruang bagi masyarakat untuk
membagikan pandanganya dan berkolaborasi bersama.
Penutup
Tulisan singkat ini setidaknya
menyatakan bahwa empati, sebagaimana diperkuat dengan pendapat-pendapat yang
telah dikutip, adalah salah satu unsur penting dalam pelayanan publik, meskipun
saat ini pelayanan publik telah banyak beralih pada platform elektronik. Sejalan
dengan pemahaman yang demikian, KPKNL sebagai kantor pelayanan publik
diharapkan dapat menggali pelajaran dari berbagai pandangan ahli yang
menyatakan bahwa empati memilik nilai penting dalam pelayanan publik. Dengan demikian,
diharapkan pelayanan publik yang memanifestasikan rasa empati dapat diwujudkan
oleh KPKNL dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dalam pelayanan publik di
bidang kekayaan negara dan lelang.
Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)
[1]
Diakses pada https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/menkeu-pemikiran-kritis-dan-rasa-empati-tidak-tergantikan-oleh-teknologi/.
[2]
Diakses pada https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/menkeu-kompetensi-dan-empati-diperlukan-dalam-kepemimpinan/.
[3] Ibid.
[4]
Barack Obama, 2006, The Audacity of Hope: Thoughts on Reclaiming the
American Dream, Crown Publishing: New York, hal. 66.
[5]
Gary Bauer, 2010, Obama and the Politics of Empathy, diakses dari https://www.politico.com/story/2010/04/obama-and-the-politics-of-empathy-035499.
[7]
Mark Honigsbaum, 2013, Barack Obama and the ‘Empathy Deficit’, diakses dari
https://www.theguardian.com/science/2013/jan/04/barack-obama-empathy-deficit.
[8]
A. Parasuraman, et.al., (1988), SERVQUAL: A Multiple-Item Scale for
Measuring Consumer Perceptions of Service Quality, Journal of Retailing, Januari
1988, 12-40 (23).
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11]
Selvi Rianti, et.al.,(2019), Kualitas Pelayanan Publik, Jurnal Ilmu
Administrasi Negara, Vol. 15 No. 3 Juli 2019, 412-419.
[12]
Helen Sullivan, 2017, What Public Servants Need in Today’s Crazy World:
Empathy and Integrity, diakses dari https://www.smh.com.au/public-service/what-public-servants-need-in-todays-crazy-world-empathy-and-integrity-20170204-gu5lor.html
[13]
Kit Collingwood, 2017, Why Civil Servants Should Become Experts in Empathy,
diakses dari https://medium.com/@kcollingwood/why-civil-servants-should-become-experts-in-empathy-59c30507b3f6
[14]
Jake Solomon, 2014, People, Not Data: On Disdain and Empathy in Civic
Technology, diakses dari https://www.civicquarterly.com/article/people-not-data
[15] Ibid.
[16]
Mariglynn Edlins, (2019) Developing a Model of Empathy for Public
Administration, Administrative Theory & Praxis, 43:1, 22-41, DOI:
10.1080/10841806.2019.1700459.
[17] Helen
Sullivan, 2017, loc.cit.
[18]
Sofia Ranchordas, 2022, Empathy in the Digital Administrative State, 71 Duke
Law Journal 1343.
[19] Mariglynn
Edlins, (2019), op.cit.
[20] Kit
Collingwood, 2017, loc.cit.