Agutus
menjadi bulan yang istimewa bagi bangsa Indonesia karena pada tanggal 17
Agustus diperingati sebagai hari lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tanpa mengurangi nilai penting peringatan Hari Kemerdakan itu, rasanya perlu
juga diketahui bahwa setiap tanggal 18 Agustus juga telah ditetapkan menjadi
hari penting lainnya. Sesuai Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Hari Konstitusi, hingga saat ini tanggal 18 Agustus ditetapkan sebagai Hari
Konstitusi. Merujuk pada konsiderans dari Keputusan Presiden tersebut,
penetapan tanggal 18 Agustus sebagai Hari Konstitusi tidak terlepas dari ditetapkannya
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Republik Indonesia oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.
Secara
luas, konstitusi dimaknai sebagai seperangkat prinsip-prinsip nilai dan norma
dasar yang mengatur mengenai apa dan bagaimana suatu sistem kekuasaan
dilembagakan dan dijalankan untuk mencapai tujuan bersama dalam wadah
organisasi. Dalam pengertian demikian, konstitusi dapat dipakai oleh berbagai
macam dan jenis organisasi, mulai dari organisasi negara yang berdaulat,
organisasi Internasional, sampai ke organisasi-organisasi perusahaan, dan
asosiasi-asosiasi berbadan hukum ataupun organisasi-organisasi profesi, dan
organisasi-organisasi sosial dan kemasyarakatan pada umumnya, yang semuanya
dapat memiliki dokumen yang dapat dikaitkan dengan pengertian konstitusi juga[1].
Selanjutnya,
jika dikaitkan dengan ketatanegaraan khususnya tata urutan peraturan
perundang-undangan, pengertian konstitusi adalah level paling tinggi dalam
hukum nasional[2].
Dengan demikian dalam konteks Indonesia, konstitusi Indonesia adalah
Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, terdapat pendapat yang menyatakan
bahwa pemaknaan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia adalah pengertian dalam
arti sempit. Sedangkan dalam arti luas, terdapat konstitusi yang tidak tertulis[3]. Berkaitan dengan hal ini,
dalam tulisan ini penggunaan kata konstitusi akan digunakan secara bergantian
dengan UUD 1945 untuk menunjuk pada makna yang sama.
Kedudukan
UUD 1945 yang merupakan konstitusi Indonesia amatlah penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hal ini dibuktikan dengan dikategorikannya UUD 1945
sebagai salah satu pilar berbangsa dan bernegara. Kedudukan UUD 1945 sebagai
salah satu pilar berbangsa dan bernegara juga tidak mengelami perubahan baik
sebelum maupun setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013[4].
Penjelasan
singkat di atas cukup menggambarkan bahwa konstitusi berada pada tempat yang
fundamental dalam penyelenggaraan negara. Lantas apakah pengelolaan kekayaan
negara, yang menjadi tugas dan fungsi utama Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara, memiliki keterkaitan dengan pembahasan mengenai konstitusi? Terlebih
selama ini kerap kali pembahasan kekayaan negara “hanya” berkaitan dengan
masalah-masalah teknis. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa dalam
pengelolaan kekayaan negara terdapat aspek-aspek yang bersinggungan dengan
konstitusi Negara Republik Indonesia.
Isu-isu
Konstitusional dalam Putusan Pengadilan
Salah
satu cara untuk mengidentifikasi aspek konstitusional dalam pengelolaan kekayaan
negara adalah dengan menengok kepada putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang
berkaitan dengan perkara pengujian undang-undang dalam bidang kekayaan negara.
Hakim pada Mahkamah Konstitusi tentunya sebelum sampai pada sebuah amar putusan
akan mengkonstantir berbagai fakta dan menentukan ada atau tidaknya isu konstitusional
dalam permohonan pengujian undang-undang yang diajukan kepadanya. Sehingga
dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi kita dapat menemukan isu-isu
konstitusional, yang dalam hal ini, berkaitan dengan pengelolaan kekayaan
negara.
Beberapa
Putusan Mahkamah Konstitusi yang substansinya berkaitan dengan bidang kekayaan
negara dapat menjadi contoh bahwa pengelolaan kekayaan negara memiliki aspek
konstitusional. Sebagai contoh akan dibahas beberapa Putusan Mahkamah
Konstitusi untuk menjelaskan hal tersebut.
Pertama,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VII/2009 tentang pengujian konstitusionalitas
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pada
Putusan a quo Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian ketentuan
undang-undang tersebut. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa barang milik
negara memang harus diperlakukan secara khusus tidak sebagaimana barang-barang
yang dimiliki oleh badan hukum perdata yang lain, hal tersebut mengingat fungsi
yang melekat pada barang tersebut untuk digunakan dalam pelayanan umum. Putusan
ini sekaligus bermakna bahwa ketentuan larangan penyitaan terhadap barang milik
negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU Perbendaharaan, adalah
konstitusional.
Kedua,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 143/PUU-VII/2009 tentang pengujian
konstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, Pasal 11
ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Nasional
(UU SBSN). Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Mahkamah
Konstitusi juga berpendapat bahwa pada pokoknya penggunaan BMN sebagai underlying
asset SBSN, tidak merugikan negara tetapi justru menguntungkan negara
khususnya dalam membiayai APBN, dan BMN yang dijadikan underlying asset
tetap dapat digunakan oleh instansi yang bersangkutan karena hanya hak atas
manfaat yang dijadikan underlying asset, tidak ada pemindahan hak milik
(legal title) dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga
tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah[5].
Ketiga,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 tentang pengujian
konstitusionalitas Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 12 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (UU
PUPN). Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian dan menolak untuk selain dan selebihnya. Putusan a quo
berimplikasi pada hilangnya kewenangan Panitia Urusan Piutang Negara untuk
melakukan pengurusan piutang-piutang yang diserahkan oleh “badan-badan lain”
selain instansi Pemerintah (BUMN).
Selanjutnya,
jika dihubungkan dengan isu pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
erat kaitannya dengan kekayaan negara yang dipisahkan (KND) maka akan ditemui
lebih banyak lagi putusan Mahkamah Konstitusi yang substansinya bersinggungan.
Putusan-putusan tersebut diantaranya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
14/PUU-XVI/2018, Nomor 12/PUU-XVI/2018, Nomor 62/PUU-XI/2013, dan Nomor
48/PUU-XI/2013[6].
Melihat
putusan-putusan di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pengelolaan kekayaan
negara mengandung aspek-aspek yang bersinggungan dengan konstitusi. Meskipun
berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya menjadi salah satu alat
untuk mengidentifikasi keberadaan aspek konstitusional dalam pengelolaan kekayaan
negara, namun setidaknya telah cukup memberi gambaran bahwa sejalan dengan
ruang lingkup kekayaan negara yang sangat luas maka isu-isu konstitusional juga
dapat timbul dari berbagai sisi.
UUD
1945: Basis, Rambu-rambu, dan Tujuan Pengelolaan Kekayaan Negara
Sebagai
Konstitusi Republik Indonesia dan salah satu pilar berbangsa dan bernegara
sebagaimana telah disinggung sebelumnya, UUD 1945 menjadi dasar pedoman,
rambu-rambu sekaligus memuat tujuan dari pengelolaan kekayaan negara.
Dasar-dasar dan rambu-rambu tersebut dapat kita jumpai dari norma-norma dalam
pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Sedangkan tujuan dari pengelolaan
kekayaan negara dapat dijumpai dalam Pembukaan UUD 1945.
Pasal
33 UUD 1945 menjadi salah satu norma Konstitusi yang menjadi dasar dalam
pengelolaan kekayaan negara. Dalam pasal ini pula kita dapat menemukan bahwa
tujuan pengelolaan kekayaan negara tidak lain adalah untuk “sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Tujuan tersebut sejatinya juga telah diadopsi menjadi visi
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Selengkapnya visi tersebut berbunyi,”
Menjadi Pengelola Kekayaan
Negara yang Profesional dan Akuntabel dalam rangka mendukung visi Kementerian
Keuangan: Menjadi Pengelola Keuangan Negara untuk mewujudkan Perekonomian
Indonesia yang Produktif, Kompetitif, Inklusif, dan Berkeadilan, serta untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.”[7]
Selain
Pasal 33 UUD 1945, Pasal 4 dan Pasal 5 UUD 1945 yang mengatur Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) juga menjadi landasan
konstitusional dalam pengelolaan kekayaan negara. Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara sebagai salah satu unit eselon I Kementerian Keuangan yang berada pada
ranah eksekutif tentunya melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sebagaimana
diatribusikan dalam norma konstitusi tersebut.
Selanjutnya,
norma-norma Konstitusi pada BAB VIII UUD 1945 berkaitan dengan Hal Keuangan
juga dapat menjadi dasar pengelolaan kekayaan negara. Sebagaimana diketahui
bahwa dalam hal pelaksanaan kewenangan di bidang keuangan negara tercakup pula
didalamnya pengelolaan kekayaan negara, baik yang dimiliki Pemerintah maupun
yang dikuasai Negara. Sehingga, norma-norma tersebut menjadi landasan dalam
pengelolaan kekayaan negara.
Beranjak
dari dasar pedoman, pengelolaan kekayaan negara juga harus mematuhi rambu-rambu
konstitusional sebagaimana dapat dijumpai dalam norma-norma dalam UUD 1945
maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Jika melihat pada Putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi yang disebutkan pada bagian sebelumnya kita dapat menemukan bahwa
norma-norma tentang Hak Asasi Manusia yang terdapat dalam UUD 1945 kerap
digunakan sebagai batu uji pengujian undang-undang. Berdasar fakta tersebut
tidaklah salah kiranya apabila norma-norma berkaitan dengan Hak Asasi Manusia
haruslah dianggap sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan kekayaan negara. Dengan
demikian, pengelolaan kekayaan negara yang konstitusional adalah pengelolaan
kekayaan negara yang tidak sedikitpun mengurangi keterpenuhan hak-hak asasi
manusia.
Putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi juga dapat dipandang sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan
kekayaan negara. Sesuai dengan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi juga
berkedudukan sebagai penafsir konstitusi yang putusannya mengikat secara umum.
Hal ini berarti apabila Mahkamah Konstitusi memberikan sebuah putusan, dalam
konteks ini berkaitan dengan kekayaan negara, maka putusan tersebut haruslah
dipatuhi. Terlepas dari sifat putusan tersebut yang nantinya akan bersifat
korektif ataupun memperkuat regulasi, kebijakan, dan praktik pengelolaan
kekayaan negara.
Setelah
dasar dan rambu-rambu dalam pengelolaan kekayaan negara, UUD 1945 sebagai
konstitusi Republik Indonesia juga memuat tujuan dari pengelolaan kekayaan negara.
Tujuan pengelolaan kekayaan negara ini tidak dapat dilepaskan dari tujuan
negara Republik Indonesia itu sendiri. Sebagaimana juga telah disinggung
sebelumnya, bahwa tujuan dari pengelolaan kekayaan negara adalah untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedangkan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan
tersebut disebutkan dengan frasa “kesejahteraan umum”.
Berdasar
Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal. Menurut ketentuan tersebut
maka Pembukaan UUD 1945 juga merupakan bagian dari Konstitusi Republik
Indonesia. Hamid Attamimi justru mengklasifikasikan Pembukaan UUD 1945 sebagai Staatsfundamentalnorm[8]
yang kedudukannya lebih tinggi dari pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945.
Pembukaan
UUD 1945 juga dikatakan memuat tujuan tertinggi dari negara Indonesia (supreme
goals)[9] dan pencantuman frasa
“kesejahteraan umum” sebagai salah tujuan negara menjelaskan bahwa Indonesia
menganut konsep Negara Kesejahteraan (welfare state)[10]. Menengok penjelasan
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tujuan negara yang telah ditetapkan dalam
Kontitusi Republik Indonesia adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi
seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan
umum sebagai haruslah menjadi mandat konstitusional yang harus selalu
diperhatikan dalam pengelolaan kekayaan negara.
Penutup
Pengelolaan
kekayaan negara yang selama ini mungkin lebih banyak dikaitkan dengan
permasalahan teknis pada tataran implementasi sejatinya juga mengandung
aspek-aspek konstitusional yang penting dan fundamental. Aspek-aspek
konstitusional tersebut tercakup dalam dasar-dasar, rambu-rambu, serta tujuan
konstitusional pengelolaan kekayaan negara. Aspek-aspek konstitusional tersebut
dapat diidentifikasi dengan mencermati kembali norma-norma konstitusi yang
terdapat dalam UUD 1945 maupun dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dalam
perkara-perkara di bidang kekayaan negara. Pemahamanan terhadap aspek-aspek
konstitusional pengelolaan kekayaan negara dapat menghantarkan kepada praktik
pengelolaan kekayaan negara yang sesuai dengan norma-norma konstitusi sebagai
dasar dengan penghormatan penuh terhadap hak-hak asasi manusia sebagai
rambu-rambu dan mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat sebagai tujuan.
[1]
Jiimly Asshiddiqie, t.t., Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
diunduh dari https://pusdik.mkri.id/materi/materi_24_KONSTITUSI DAN KONSTITUSIONALISME INDONESIA - Prof. Jimly.pdf,
hal. 1.
[2]
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safaát, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, hal. 111.
[3]
Jiimly Asshiddiqie, t.t., op. cit. hal. 2.
[4]
Jimly Asshiddiqie, t.t., Pancasila dan Empat Pilar Kehidupan Berbangsa, diunduh
dari http://www.jimly.com/makalah/namafile/184/PANCASILA_DAN_4_PILAR_BARU.pdf.
[5]
Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/keabsahan-penggunaan-bmn-sebagai-underlying-asset-sbsn-diperkuat-dengan-keputusan-mk/.
[6]
Diakses dari https://jdih.bumn.go.id/putusan mk.
[8]
Ahmad Redi, 2018, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Jakarta: Sinar Grafika, hal. 42.
[9]
Mei Susanto, 2021, Kedudukan dan Fungsi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945:
Pembelajaran dari Tren Global, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 18 No. 2
Juni 2021: 184-203, hal. 196.
[10]
Anonim, 2019, Hak Sosial Ekonomi dan Welfare State Kita, Editorial Majalah
Konstitusi, Nomor 152 Oktober 2019, Jakarta: Sekretariat Mahkamah
Konstitusi, hal. 3.