Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bontang > Artikel
Merantau dan Pulang Sebagai Kewajiban
Bagus Widi Wicaksono
Kamis, 08 Oktober 2020   |   27585 kali

Bagi seorang ASN di DJKN, merantau adalah sebuah kata yang sering kita dengar dan tak asing di telinga kita. Apalagi jika disandingkan dengan kata mutasi, bercampur aduk perasaan kita saat pengumuman itu tiba.

Istilah merantau sendiri berasal dari bahasa dan budaya Minangkabau yaitu "rantau". Kata rantau pada awalnya bermakna: wilayah-wilayah yang berada di luar wilayah inti Minangkabau (tempat awal mula peradaban Minangkabau). Merantau adalah perginya atau perpindahan seseorang untuk meninggalkan tempat dimana ia berasal atau dilahirkan dan ia tumbuh besar menuju suatu wilayah lain, guna menjalani kehidupan baru maupun untuk sekedar mencari pengalaman hidup atau pekerjaan. Proses pentasbihkan seseorang sebagai manusia dewasa kadang dikaitkan dengan keberaniannya merantau jauh dari kampung halaman. Banyak faktor penyebab seseorang untuk memutuskan merantau, seperti tuntutan hidup untuk mencari nafkah, mencari ilmu, atau rasa penasaran pada suatu tempat atau keadaan.

Saat surat tugas sudah diturunkan, mental dan fisik sudah harus siap sedia walaupun merantau bukanlah perkara mudah. Banyak hal yang harus dipersiapkan juga diikhlaskan. Saat seorang perantau berada dalam diam dan kesepian, ada sebuah mimpi dan harapan untuk pulang dan mengembangkan tanah kelahiran sendiri.  Tetapi benar juga kata orang jika nusantara ini luas dan penuh kejutan, mari kita jalani, amati, serta renungkan agar kita bisa mengambil pelajaran dari semuanya.

Sebagai sebuah perjalanan karir juga karya kehidupan, maka tugas yang sudah diamanahkan harus kita lalui untuk memunculkan harapan. Percayalah bahwa akan ada berkah dari sebuah perjalanan panjang di tempat kita mengabdi dan berkarya. Setiap perjumpaan dengan orang baru, ada pengalaman hidup yang dipetik, ada nilai lebih yang dapat dibawa pulang, ada kisah-kisah indah untuk disimpan ke dalam memori. Keberhasilan dan kegagalan merupakan pengalaman penting untuk kita maknai hikmahnya. Pengalaman itulah yang akan kita jadikan sebagai guru terbesar kehidupan.

Salah satu tantangan seorang perantau adalah untuk menahan rindu akan kampung halaman. Selama perjalanan panjang di tanah rantau, ingatan akan rumah dan kampung halaman akan terus membuncah dalam pikiran, ingatan datang saat senja menyapa, menemani kita saat perjalanan pulang ke rumah singgah sementara. Tentu, kesempatan untuk pulang selalu terbuka untuk dieksekusi. Berkaca di saat sekarang (masa pandemi), saat dimana kita pernah dilarang pulang walau dengan alasan apapun, ketika mendapat kesempatan untuk pulang walau hanya sebentar, kesempatan ini jelas tidak boleh disia – siakan.

Belum lama memang saya pergi meninggalkan rumah, tetapi saya termasuk yang selalu berpikir untuk pulang. Yang pasti ini bukan perkara kerasan atau tidak, tetapi saya rasa tidak ada tempat senyaman rumah sendiri. Saya percaya, rumah selalu memiliki roh untuk memanggil penghuninya kembali merayakan cinta dan cerita di bawah atapnya. Suasana rumah seperti itulah yang membuat rindu saat harus pergi mencari nafkah ke kampung orang.

Selalu banyak alasan untuk pulang. Mungkin karena ada orang tua yang tetap ingin melihat anaknya secara langsung, bukan hanya suara ataupun gambar di layar handphone. Mungkin karena ada pasangan yang butuh teman berbincang, kontak mata dan ekspresi tubuh secara langsung yang tidak akan tergantikan dengan gadget manapun. Mungkin juga karena ada anak yang ingin bermain dan tertawa bersama, merasa terlindungi dari dunia yang terasa asing untuknya. Sejatinya, pulang adalah tugas yang harus dituntaskan oleh setiap orang, yang memberikan arti sebenarnya dari sebuah perjalanan, yang mengakhiri suatu perjalanan.

Kita merantau di sini bukan tanpa sebab, kita punya tanggung jawab yang besar sebagai abdi negara. Kita diamanahkan untuk ikut serta membangun Indonesia di berbagai pelosok nusantara. Saya yakin, kita pasti dapat melakukannya dengan baik. Kita sudah dilatih untuk itu. Pertanyaannya, bagaimana dengan tanggung jawab kita dengan yang kita tinggalkan? Yang kita ikhlaskan? Apakah kita sudah bisa memberikan kompensasi yang baik untuk itu? Apakah kita masih tetap berbakti untuk orang tua kita seperti sebelumnya? Apakah kita masih tetap romantis untuk pasangan kita seperti sebelumnya? Apakah kita masih tetap menjadi pengayom untuk anak kita seperti sebelumnya? Dengan pulang, mungkin itu bisa menjadi sebuah obat, mungkin hanya sebagai penawar sementara, untuk rindu yang seharusnya dibayar tuntas.

Saya pikir, kita merantau juga karena ada yang sedang kita perjuangkan. Apapun itu, semoga di tanah rantau inilah perjuangan itu dapat kita lakukan dengan sehebat – hebatnya, sehormat – hormatnya. Hingga tiba saatnya kita kembali dengan baik-baik saja ke rumah, sebuah harapan bagi semua orang yang telah meninggalkan rumah. Mengisi waktu sebelum pulang ke rumah dengan memberi manfaat kepada sebanyak – banyaknya orang adalah sebaik – baiknya hal yang dapat kita lakukan.

Waktu terus berjalan dan hidup di tanah rantau tak akan berhenti hingga surat keputusan baru hadir untuk menjawab apakah sudah waktunya untuk pulang, tetap menetap, atau berpetualang ke tempat baru yang menunggu untuk kita jelajahi nuansanya.

Kita merantau sebagai kewajiban untuk negara, dan kita pulang sebagai kewajiban untuk orang tersayang. Saya percaya, jika anda tetap membaca tulisan ini hingga selesai, sepertinya anda sedang ingin pulang.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini